Yeah, lihat saja gedung-gedung tinggi itu menertawai rumah-rumah beratap seng tanpa jendela di bantaran kali. Atau lihat saja mal-mal yang tumbuh bak cendawan di musim hujan mencibir pada lapak-lapak kakilama yang selalu bersiaga dengan razia satpol pp. Coba saja dengarkan gumaman restoran siap saji itu tentang betapa joroknya warteg dan tenda-tenda nasi uduk.
Apa boleh buat… kita memang hidup di dalam dunia yang sinis. Dunia yang akan terbahak-bahak menertawai apapun yang bernama kekalahan. Kekalahan menjadi hantu paling misteri yang harus dicarikan dukun paling canggih untuk membasminya. Ah, betapa.
Orang-orang akan melakukan apapun demi tidak menjadi bagian dari kekalahan. Mereka pergi ke mal-mal tidak untuk membeli apa-apa, sekedar cuci mata, agar tampak menjadi bagian dari kesuksesan. Sambil membayangkan mengenakan pakaian-pakaian bermerek dan menyemprotkan tubuhnya dengan parfum paling wangi yang membuat siapapun yang memakainya nampak seperti bagian dari keberhasilan.
Ketika ditanya apa merek jeans yang dikenakannya, orang-orang akan dengan bangga menjawab, “Levis, dong!” atau “Lea, dong!”, meski mereka membelinya di pedagang kakilima. Begitulah Jingga… Levis dan Lea telah menjadi ikon dari kesuksesan.
Kesuksesan menjadi berhala yang membuat dunia kita menjadi sedemikian sinisnya. Yeah, bebuah dunia yang membangun peradaban palsu di tenah kota Jakarta yang katanya cosmopolitan itu. Dan mereka memuja-mujanya seolah itu merupakan semacam pertanda dari sebuah keberhasilan. Lalu siapa yang sebenarnya kalah?
Menjadi bagian dari kekalahan bukanlah sebuah dosa yang tak termaafkan. Kalah hanya sebuah konsekuensi dari sebuah pertandingan. Sama halnya dengan kemenangan. Lalu, pertandingan apakah yang sekarang tengah kita mainkan, sehingga kita patut merasa menang atau kalah?
Ah, dunia kita memang dunia yang sinis. Dunia yang dibangun atas nama kemenangan. Dan aku hanya orang sinis yang memandang sinis pada kesinisan dunia ini.
Gunungsahari, 25 Februari 2008
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini