/1/
Culler
mengatakan, “Sastra itu sendiri merupakan eksplorasi dan perenungan yang
terus-menerus mengenai pemberian makna dalam segala bentuknya” (1981:35). Wujud
formal karya sastra adalah bahasa. Oleh sebab itu, sastra sering disebut
sebagai dunia dalam kata. Dalam karya sasta, kata disusun sedemikian rupa
hingga membangun anasir-anasir dalam karya sastra hingga membentuk sebuah
struktur. Levi Straus, menurut Ehrmann mengatakan “Struktur adalah sebuah
sistem, yang terdiri dari sejumlah anasir, yang di antaranya tidak satu pun
dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua
anasir-anasir lain” (Teeuw, 1988:140—141).
Bahasa
adalah sistem tanda (sign) yang merupakan kesatuan dua aspek yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, yakni signifiant (penanda) dan signifie (petanda)[1]. Dengan
demikian dapat dikatakan, sastra merupakan sistem tanda. Setiap tanda memiliki
dua tataran, yaitu tataran kebahasaan dan tataran mitis. Tataran kebahasaan
disebut sebagai penanda primer yang penuh, yaitu tanda yang telah penuh
dikarenakan penandanya telah memiliki acuan makna yang mantap. Sebaliknya,
tataran mitis disebut penanda sekunder. Tanda pada tataran kebahasaan itu
dituangkan ke dalam penanda kosong sehingga petanda pada tataran mitis ini
harus direbut kembali oleh penafsir. Dengan kata lain, penanda pada tataran
mitis (wilayah konotatif) dibentuk oleh tanda-tanda yang ada pada tataran
kebahasaan (wilayah denotatif)[2]. Dengan
kata lain, untuk mengetahui makna konotatifnya, harus lebih dulu diketahui
makna denotatif atau makna leksikalnya.
“MataMungil yang Menyimpan Dunia” merupakan karya Agus Noor yang terkumpul dalam
buku Potongan Cerita di Kartu Pos[3].
Judul cerpen ini seolah hendak menawarkan gagasan pengarangnya mengenai
mata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[4],
mata merupakan nomina yang memiliki
pengertian, “indra untuk melihat; indra penglihatan”. Manusia melihat dunia
dengan mata. Oleh sebab itu, mata sering dikatakan sebagai jendela dunia. Melalui mata manusia melihat dunia. Dunia
yang tertangkap mata terserap dan tersimpan dalam memori. Memalui mata pula,
dunia itu terefleksi. Gagasan itu yang hendak disampailan oleh pengarang.
Sebuah
karya dikatakan bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya yang
tercermin dalam struktur karya tersebut, seperti tema, karakter, plot, latar,
dan bahasa merupakan satu kesatuan yang padu. Kesatuan yang mencerminkan sebuah
harmonisasi (Fananie, 2002:7). Sejauh
mana makna yang terkandung dalam gagasan itu mampu membentuk kesatuan yang
koheren, dengan unsur-unsur di dalam cerpen ini sehingga menampilkan makna yang
utuh?
/2/
Diceritakan dalam cerpen itu, Gustaf terpesona
dengan mata seorang anak jalanan yang ditemuinya di lampu merah saat ia hendak
berangkat kerja. Dalam pandangan Gustaf, mata bocah itu memancarkan dunia yang
tenang bening. Saat kecil Gustaf suka main boneka hanya untuk menikmati mata
boneka. Akan tetapi, orang tuanya melarang. Gustaf juga suka memandangi mata
orang-orang dan menggambarnya. Gustaf seperti teropsesi pada mata. Puncaknya,
ketika bertemu anak jalanan itu. Gustaf ingin memiliki mata bocah itu. Ia
kemudian mengambil bola mata bocah yang menjadi buta itu dan memaangnya di
matanya. Akan tetapi, bukan dunia tenang dan bening yang dilihat orang-orang
dari mata yang kini menjadi mata Gustaf, melainkan orang-orang melihat mata itu
seperti mata iblis.
Tokoh utama cepen ini adalah Gustaf yang sejak
kecil terobsesi dengan mata. Obsesi Gustaf mengalami puncaknya ketika bersitatap
dengan seorang bocah jalanan berusia 12 tahun. Dalam pandangan Gustaf mata
bocah itu seperti menghadirkan sebuah dunia.
Memandang
mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Dunia yang
tenang bening terbentang dalam mata mungil bocah itu. Dunia yang seolah-olah
berpendaran dan perlahan membesar, hingga segala di sekeliling bocah itu
perlahan-lahan berubah. (hlm. 167)
Pertemuan Gustaf dengan bocah jalanan itu,
mengembalikan ingatan Gustaf pada masa kecilnya. Kilas balik itu menghadirkan
tokoh-tokoh lainnya, seperti Mama yang cemas karena Gustaf suka main boneka,
Oom Ridwan yang homoseksual karena sejak kecil suka main boneka, Papa yang
melarang kebiasaan Gustaf memandangi mata orang-orang, dan Oma yang memuji
gambar-gambar karya Gustaf yang semuanya berobjek mata.
Tokoh-tokoh dalam peristiwa kilas balik itu
terhadirkan untuk memberi motif pada obsesi Gustaf pada mata. Tokoh-tokoh
tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan
menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. (Fananie, 2002:86). Ide atau gagasan
cerita ini pun muncul dalam bentuk dialog tokoh Oma berikut ini:
Ia senang
ketika Oma memuji gambar-gambarnya itu. Oma seperti bisa memahami apa yang ia
rasakan. Ia ingat perkataan Oma saat ia berusia 9 tahun, “Mata itu seperti jendela
hati. Kamu bisa menjenguk perasaan seseorang lewat matanya…” (hlm. 160)
Perkataan Omanya itu yang menjadi motif Gustaf
suka memandangi mata orang lain untuk menjenguk perasaan orang-orang. Dan semua
mata yang dipandang selalu menghadirkan gambaran yang muram. “Di mana-mana
Gustaf hanya melihat mata yang keruh menanggung beban hidup. Mata yang penuh
kemarahan. Mata yang berkilat licik. Mata yang tertutup jelaga kebencian….”
(hlm. 170)
Peristiwa tersebut memunculkan konsekuensi logis
terhadap sikap Gustaf ketika melihat mata bocah jalanan yang oleh Gustaf
dikatakan, “….Rasanya, itulah mata paling indah yang pernah Gustaf tatap.
Begitu bening begitu jernih. Mata mungil tapi begitu menimpan dunia” (hlm. 170).
Maka tidak mengherankan jika kemudian Gustaf ingin memiliki mata itu. Ia ingin
memandang dunia yang selama itu muram—seperti tergambarkan dalam mata
orang-orang yang dipandangnya sebelum memandang mata bocah jalanan itu—menjadi
dunia yang bening dan jernih. Gustaf mengambil mata bocah jalanan itu untuk
mengganti matanya dengan operasi. Kehadiran tokoh orang-orang yang melihat mata
Gustaf seperti mata iblis itu merupakan sebuah keharusan.
Latar cerita di sebuah kota besar yang meski
tidak secara eksplisit dikatakan sebagai Jakarta, tetapi mengesankan kota itu,
seolah mendukung peristiwa-peristiwa dalam cerpen ini.
Dalam karya sastra, setting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting,
karena elemen tersebut menentukan situasi umum sebuah karya (Abrams dalam Fananie,
2002:97). Jacob Sumardjo mengatakan, “Setting yang berhasil haruslah
terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi atau kaitan filosofisnya”
(dalam Fananie, 2002:98). Puluhan pengemis dan mobil yang merayap di kemacetan,
memungkinkan peritiwa bersitatap Gustaf dengan bocah jalanan yang memiliki mata
terindah menjadi tampak wajar sehingga mendukung tema atau gagasan yang hendak
disampaikan oleh pengarang. Bukankah hanya di kota besar yang macet Gustaf bisa
menantap mata bocah jalanan?
Penokohan dan latar cerpen ini berjalin
membentuk totalitas yang padu dalam sebuah plot. Peristiwa-peristiwa
terhadirkan dengan tidak percuma dan memiliki kausalitas yang meyakinkan.
Peristiwa kilas balik yang dihadirkan dalam cerpen ini pun membuat cerpen ini
menjadi dinamis dan tidak membosankan.
/3/
Totalitas
dalam unsur-unsur pembentuk cerpen ini, membentuk sebuah makna. Melalui
pembacaan pada tataran mitis kita memperoleh makna mata yang hendak digagas
oleh pengarangnya. Gagasan yang mucul dalam perkataan Oma, “Mata itu seperti
jendela hati. Kamu bisa menjenguk perasaan seseorang lewat matanya…”
Gustaf
memang mampu menukar matanya dengan mata bocah jalanan itu dengan proses
operasi. Akan tetapi, ia tak mampu menukar perasaannya dengan perasaan bocah
jalanan yang masih bening jernih itu. Mata pada akhirnya hanya sebuah alat
untuk melihat dan merefleksikan perasaan. Mata bocah jalanan yang telah direbut
dengan paksa dan dipasangkan di mata Gustaf itu tak lagi menggambarkan perasaan
si bocah jalanan, tetapi perasaan Gustaf. Perasaan yang terefleksikan oleh mata
itu dilihat oleh orang-orang di lobby
perkantoran.
Begitu lift
itu tertutup, seorang perempuan yang tadi gemetaran memandangi Gustaf terlihat
menghela nafas, sambil berbicara kepada temannya.
“Kamu lihat
mata tadi?”
“Ya.”
“Persis mata
iblis!”
Daftar Pustaka
A Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya
Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs: Semiotik, Literature, Deconstruction. New
York: Vail-Ballou Press, Inc.
Fananie, Zainudin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Noor, Agus. 2006. Potongan Cerita di Kartu Pos. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini