Oleh Maman S Mahayana
Sumber: www.facebook.com/dewamahayan/posts/10202345892662893
www.facebook.com/dewamahayan |
Analogi adalah persamaan atau
persesuaian dua hal atau benda yang berlainan. Bisa juga dirumuskan lebih
longgar sebagai kesamaan sebagian ciri antara dua benda atau hal yang dapat
digunakan sebagai bahan perbandingan (lihat KBBI). Manusia, misalnya, bisa saja
dianalogikan dengan binatang atau benda yang lalu dicari kesamaan ciri atau
karakteristiknya. Majas ini bisa juga dimanfaatkan untuk melakukan pembenaran
atau tindak manipulasi. Sebutlah, misalnya, sebuah tindak korupsi atau
perampokan bank. Bisa saja si koruptor atau perampok itu menganalogikan dirinya
sebagai Robinhood atau si Pitung. Alasannya, hasil korupsi atau perampokan itu
digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dapatkah korupsi dan perampokan digunakan
untuk melakukan pembenaran? Benarkah uang itu akan dipakai untuk kesejahteraan
rakyat, dan tidak untuk kepentingan pribadi atau keluarga?
Sebuah usaha mendirikan koperasi,
misalnya, bisa saja dianalogikan dengan sebuah kereta yang hendak berangkat ke
kota tertentu. Di sana, ada tujuan yang sama, juga ada penumpang yang sama.
Bagaimanakah jika sesudah koperasi itu berdiri dan kepala koperasi melakukan
korupsi, apakah penganalogian dengan kereta api itu masih relevan? Misalnya,
kepala koperasi sebagai masinis gila dan anggota koperasi sebagai penumpang
kereta. Apakah para penumpang itu akan tetap loyal duduk manis di dalam kereta,
meski mereka tahu, masinisnya gila.
Sebuah usaha yang mulia, tentu saja
perlu dikomandani oleh seseorang yang berhati mulia dan jujur. Banyak contoh
tentang usaha atau perjuangan mulia dianalogikan dengan kapal yang hendak
melayari laut. Mengapa usaha atau perjuangan mulia kerap dianalogikan dengan
pelayaran sebuah kapal? Inilah hebatnya profesi kapten kapal. Ia terikat oleh
sumpah jabatan, bahwa penumpang akan selamat sampai tujuan. Maka jika terjadi
badai, kapten kapal adalah orang yang terakhir menyelamatkan diri. Ia punya
integritas dan jujur pada profesinya. Para penumpang, sejak menaiki tangga
kapal, percaya penuh pada integritas dan kejujuran Sang Kapten Kapal. Ia diyakini
tidak akan berbohong pada profesi dan hati nuraninya.
Mengusahakan sebuah buku antologi tentu
saja bisa juga dianalogikan dengan kapal dan kapten kapalnya. Tetapi, bagaimana
jika di sana ada penumpang gelap dan kapten kapal sejak awal sudah berniat melakukan
pembohongan? Masih relevankah analogi itu? Kapten kapal, seperti juga dokter,
misalnya, terikat oleh sumpah profesi. Apakah para penumpang atau pasien harus
tetap setia, meski tahu bahwa kapten kapal itu sesungguhnya perompak dan dokter
itu telah melacurkan profesinya?
***
Tulisan adalah representasi pribadi.
Sebuah tulisan mencerminkan diri penulisnya sebagai sosok yang berwawasan atau
tidak; jujur atau tidak; berkepribadian atau sekadar terompet seseorang.
Penulis profesional yang mengabdi pada integritas profesinya, selalu punya
kesadaran pada reputasi dan kesungguhan agar dirinya tetap menjadi penulis
terpercaya. Maka, dalam sebuah buku antologi, setiap penulis harus bebas dan
mandiri, tidak terkooptasi kepentingan pihak lain, tidak dapat diinfiltrasi
oleh pesanan-pesanan ideologi.
Bagi penulis atau sastrawan, karya yang
dihasilkannya adalah representasi dirinya dalam sikap, integritas, dan
kemandiriannya yang bebas dari pesanan atau keinginan melayani seseorang.
Dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah esainya, “Kesusastraan yang harus
melayani masyarakat tidak bedanya dengan pelayan di restoran yang harus
memuaskan langganannya... Ini adalah kesusastraan yang boleh dinikmati sambil
makan-angin: kenikmatan yang murah.” Maka, penulis sejati, tak hendak menjadi
pelayan restoran yang menulis sekadar memenuhi pesanan, transaksi atau rekayasa.
Dalam konteks itu, ketua editor atau
ketua tim, harus punya kesadaran, bahwa posisinya sebagai ketua editor atau
ketua tim, adalah kepercayaan bahwa dirinya dapat dipercaya dan menempatkan
kejujuran inheren dengan tanggung jawab. Ia berkewajiban menyuarakan kejujuran
dan kebenaran yang terjadi dalam proses penulisan. Ia tak melakukan
penghilangan atau pemanipulasian kebenaran. Para penulis dalam antologi itu sejak
awal juga berkewajiban mendasari langkahnya pada niat mulia, mandiri, dan tekad
menjunjung integritas sebagai penulis sejati. Maka, penulis sejati tak hendak
menyelusupkan pesanan, tidak melacurkan diri dan berkhianat pada profesinya,
dan menjaga kebenaran sebagai sikap profesional dan bentuk integritas pada
profesi.
Mengingat masing-masing penulis
bertanggung jawab atas apa yang ditulisnya, dan ketua tim berfungsi
administratif dan koordinatif, maka setiap penulis dalam tim itu juga
berkewajiban menjaga kejujuran dan kebenaran. Setiap penulis dalam tim itu
berkewajiban pula mengingatkan jika terjadi pemanipulasian atau pemelintiran
kebenaran oleh satu atau sejumlah penulis yang tergabung dalam tim itu, dan
tidak melakukan pembiaran. Berdiam diri melihat dan mengetahui terjadinya
kebohongan atau ketidakbenaran atau penyelewengan sama halnya dengan membiarkan
kebohongan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, atau penyelewengan berkeliaran di
depan mata.
Inilah pesan kaum romantik pada diri
para sastrawan: “Tuhan bertahta jauh dalam batinku yang megah.” Puisi (:
sastra, karya tulis) adalah suara kejujuran yang menyampaikan kebenaran. Di
sana, ada cahaya ilahi. Maka pernyataan: “Aku laksana Tuhan dalam pikiranku
yang terdalam,” atau “Tuhan bertahta jauh dalam jiwaku” bermakna sebagai aku
pencipta kebenaran menurut hati dan pikiranku yang jujur, maka suaraku
memancarkan cahaya ilahi.
Begitulah, seorang sastrawan atau
penulis sejati, berkewajiban menempatkan kejujuran dan kebenaran sebagai sikap
dan integritas pada profesi. Lantaran penulis sejati hendak menyampaikan
kebenaran, maka penulis yang melakukan kebohongan dan pemanipulasian tidak
menjalankan tugasnya sesuai hati nurani. Bukankan yang dimaksud (hati) nurani
(Arab: nuroniy) bermakna bersifat kecahayaan. Kata nurani dapat diperlakukan
sebagai metafora untuk menunjukkan, bahwa di sana ada cahaya, dan cahaya itu
representasi Tuhan. Penulis, sastrawan, atau seseorang dengan profesi apa pun
berkewajiban menjaga kejujuran dan kebenaran dalam menjalankan tugasnya sesuai
hati nurani, karena dari sanalah cahaya Tuhan memancar, dan tidak sebaliknya!
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini