Oleh Denny Prabowo
Maman S. Mahayan (2005) mengatakan bahwa sastra dan sejarah memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama merekam peristiwa. Sastra sering disebut sebagai dunia dalam kata. Dunia yang dibangun berdasarkan tiruan atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation or reality). Dalam pandangan Historisisme Baru, sastra dan sejarah merupakan dua teks yang saling berkaitan dan saling mengisi. Karya sastra memang tidak mencerminkan sejarah, tetapi ia merupakan pemain sejarah yang ikut membentuk dan memengaruhi sejarah.
Masalah penting yang juga diusung oleh Historisisme Baru adalah intertekstualitas atau hubungan antarteks. Karya sastra tidak mungkin lepas dari pengaruh teks lain yang lahir atau terbit sebelumnya, baik itu teks sastra maupun teks nonsastra. Hubungan antarteks itu bisa kita temukan dalam roman Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar.
Hulubalang Raja merupakan roman sejarah yang terjadi di pesisir Minangkabau antara tahun 1665–1668, berdasarkan penelitian H. Kroeskamp yang terhimpun dalam buku De Westkunst en Minangkabau (1965–1968) sebagai “academisch proefschrift”, yang dicetak oleh Drukkerij Fa. Schottanus & Jens di Utrecht, tahun 1931. Fakta sejarah yang terjadi pada tahun 1665–1668 adalah konflik antara Minangkabau dengan Aceh yang kemudian melibatkan pasukan Belanda. Konflik itulah yang diangkat sebagai setting cerita dalam novel Hulubalang Raja.
Namun, sejauh mana fakta itu dihadirkan dalam novel ini? Nur Sutan sendiri mengatakan dalam Sepatah Kata pada cetakan kedua (1948) dan cetakan-cetakan setelahnya bahwa ia telah menyesuaikan isinya dengan perasaan yang tersembunyi atau disembunyikan adanya. Sejauh manakah Nur Sutan Iskandar melakukan penyesuaian?
Meskipun sastra dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan sejarah, karya sastra tak bisa dijadikan sebagai dokumen sejarah. Hal ini disebabkan oleh realitas yang hadir dalam sastra merupakan hasil pengamatan, perenungan, serta penghayatan pengarangnya. Realitas yang telah mengalami pengolahan imajinatif dan dihadirkan sebagai rekaman gagasan pengarangnya. Itu sebabnya, realitas di dalam sastra tak bisa dianggap sebagai realitas faktual. Meskipun karya itu ditulis berdasarkan fakta sejarah. Realitas di dalam sastra harus diperlakukan sebagai realitas fiksional.
Namun begitu, pendekatan ilmu sejarah dalam menganalisis novel Hulubalang Rajabisa mengurai fakta sejarah dan mengungkap sikap serta amanat pengarangnya. Menurut Maman S. Mahayana (2008), “Nur Sutan Iskandar yang menulis novelnya dari sumber disertasi Kroeskamp, ternyata cenderung menekankan akibat-akibat konflik etnik yang kerap dimanfaatkan Belanda. Konflik antarsuku itu jelas merugikan perjuangan bangsa sendiri. Dalam hal itu, pengarang tampak hendak mengisyaratkan pentingnya arti persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana yang dapat kita tangkap dari akhir cerita novel itu. Permusuhan Hulubalang Raja dan Raja Adil, akhirnya diselesaikan lewat perjanjian damai. Setelah itu, Minangkabau hidup dalam kedamaian.”
Demikianlah realitas fiksional yang disampaikan Nur Sutan Iskandar melalui novelHulubalang Raja. Prof. Dr. A. Teeuw (1978) mengatakan, “Hulubalang Raja oleh Nur Sutan Iskandar merupakan roman sejarah yang jauh lebih menarik ditinjau dari segi sastra.” Meski begitu, unsur sejarah di dalam novel ini sedikit banyak dapat menjadi pintu masuk pembacaan peristiwa yang terjadi di pesisir Minangkabau di masa lalu dalam salah satu roman penting yang dihasilkan oleh pengarang paling produktif di zamannya, Nur St. Iskandar.
DATA BUKU
Judul Buku : Hulubalang Raja
Penulis : Nur St. Iskandar
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : Ke-24, 2010
Tebal : xii + 260 hlm.
ISBN : 979-407-309-1
Penulis : Nur St. Iskandar
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : Ke-24, 2010
Tebal : xii + 260 hlm.
ISBN : 979-407-309-1
Kelemahannya dn kekurangn ny ap
BalasPadamTolong dong kasi tau kelebihan dan kekurangan dari cerita itu
BalasPadam