Senja si Kelabang Nyebrang

Oleh Denny Prabawa

ilustrasi (fajar.co.id)


Bertahun-tahun kemudian, ketika menghadapi dua jagoan karate dan sumo dari Jepang, Sabeni mencoba mengenang suatu senja di pelabuhan bersama seorang kembang desa bernama Khadijah. Mereka melangkah, menyusuri pelabuhan, menikmati detik demi detik perubahan warna senja di cakrawala.  Kapal-kapal layar berjajar bagaikan serdadu berbaris di bawah bentangan langit. Jingga yang mulai menua menyemburat di antara mega yang arak berarak.
Senja dan Khadijah bagaikan sebuah lukisan alam yang sempurna. Adakah yang lebih membahagiakan daripada memandang senja dan Khadijah? Namun, kenyataan bahwa Khadijah anak seorang jagoan maen pukul yang tersohor, membuat ia urung menikmati kebahagiaan itu. Sejak mulai belajar mengeja nama-nama, Sabeni sudah akrab dengan nama besar si Macan Kemayoran, Murtado.
Cerita mengenai Murtado bagaikan sebuah dongeng yang disampaikan dari mulut ke mulut. Sabeni menyimpan dongeng itu dalam kepalanya dan mengingatnya melebihi ingatannya pada kenangan masa kecilnya.
Sabeni masih ingat ketika babe-nya menceritakan sebuah peristiwa saat panen raya. Waktu Mandor Bacan menarik tubuh seorang gadis di sawah dan menempelkan goloknya di pipi gadis itu, Murtado tiba-tiba datang menepisnya. Mandor Bacan lintang pukang selepas merasai jurus-jurus maen pukul Murtado. Mandor bengis yang gila perempuan itu mengadu kepada Bek Lihun.
Bek Lihun naik darah. Di sebuah perempatan, Bek Lihun menghadang Murtado. Namun, Bek Lihun bukan lawan Murtado. Meski permainan goloknya terlihat sangat piawai. Ia memutar-mutar goloknya sehingga senjata itu bagaikan baling-baling kapal. Ia serang Murtado dengan goloknya itu. Betapapun banyaknya sabetan yang diarahkan kepada Murtado, tapi tak sesayat luka pun mampu ia tinggalkan di tubuh lawannya itu. Dengan mudah, Muratado berkelit ke kanan dan ke kiri sebelum ia mengambil tangan Bek Lihun, lalu menguncinya. Saat golok Bek Lihun terjatuh, Murtado mendorongnya untuk kemudian mengirimkan tendangan berputar ke dada Bek Lihun. Bek Lihun terjerembab dan tersungkur dalam selokan.
Bek Lihun kepalang malu. Ia mendatangkan tukang kepruk dari Tanjung Priok. Bersama orang bayarannya itu, ia menculik gadis yang pernah diselamatkan Murtado. Namun, usahanya itu hanyalah serangkaian kesia-siaan. Kepiawaian Murtado menjadi buah bibir. Si Macan Kemayoran menjadi legenda yang kisahnya dituturkan dari mulut ke mulut.
Sabeni mengenang kejadian yang tergambarkan dalam kepalanya melalui lisan babe-nya itu sebagai momentum paling romantis dari kehidupan seorang jagoan maen pukul. Betapa tidak, gadis yang diselamatkan oleh Murtado itu, kelak akan melahirkan seorang kembang desa yang kini menjadi pujaan hatinya, Siti Khadijah.
Senja mulai keunguan. Sebentar lagi malam akan dibentangkan. Sudah waktunya mengantar Khadijah pulang. Selama perjalanan pulang, pikiran Sabeni rusuh. Di dalam kepalanya, palang pintu yang tangguh melintang, siap menghadang niatnya utnuk menikahi Khadijah.
“Jadi, aye kudu ngadepin babe elu?” tanya Sabeni sambil mengembuskan napas berat.
“Abang pan tahu, pegimane aturanye,” kata Khadijah. “Abang pasti bisa ngadepin palang pintu rumah aye.”
Sabeni hanya tersenyum saat mendengar keyakinan kekasihnya itu. Ia tidak menyangka, bertahun-tahun kemudian setelah mendengar dongeng-dongeng mengenai Macan Kemayoran, ia harus berhadapan dengan protagonis dalam dongeng itu, Murtado. Sabeni bagaikan dipaksa untuk memakan buah simalakama: dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Apa boleh buat, barangkali kematian di tangan jago maen pukul legendaris lebih terhormat daripada mati karena memendam cintanya kepada Khadijah.
Senja itu, di sebuah kebun milik Murtado, dua jagoan maen pukul dari generasi yang berbeda itu saling berhadapan. Meski Sabeni harus memandang Murtado sebagai lawannya, tetapi matanya tak mampu menyembunyikan cahaya kekaguman kepada si Macan Kemayoran itu. Cahaya kekaguman yang telah ia pelihara semenjak pertama kali mendengar cerita Murtado yang memecundangi Mandor Bacan dan Bek Lihun.
Senja itu, perasaan Sabeni dilingkupi kebingungan. Ia mencoba mengacak-acak perbendaharaan kata miliknya, tetapi tak satu pun yang mampu menggambarkan perasaannya. Ada kontradiksi dalam dirinya. Siapa yang tidak gentar menghadapi nama besar si Macan Kemayoran? Namun, perasaan itu bersenyawa dengan kebahagiaan karena bisa berhadapan dengan tokoh dongeng yang dikaguminya.
“Jadi elu yang namenye sabeni dari Tenabang?”
Bener, Be, aye.”
Elu beneran pengen nikahin anak gue?”
“Kalo Babe kagak keberatan.”
“Jangan mentang-mentang elu demenan anak gue,” kata Murtado mulai memasang kuda-kuda, “gue bakal kasih ati sama elu! Elu kudu nunjukin ke gue, sejauh mane elu pantes jadi bakal suami Khadijah.”
Sabeni bergeming. Ia seperti tengah mendengar suara babe-nya berkisah. Bahkan, ketika Murtado mulai melayangkan pukulan ke wajahnya, Sabeni tidak berusaha berkelit. Dia seperti tersirap kharisma sang protagonis dalam dongeng kegemarannya. Dia mengira tengah berada di dalam dunia dongeng. Sampai tubuhnya terjerembab dan dia terasakan nyeri di rahangnya, ia baru tersadarkan. Kepalanya terasa pusing, bagaikan ada gemintang yang berputar-putar di atasnya.
Busyet!” kata Murtado, “Elu mau bengkelai ape bengong-bengong aje?”
Sabeni segera bangkit dan pasang kuda-kuda. Murtado tersenyum. Macan Kemayoran itu bisa melihat api di mata Sabeni. Kelak, api itu yang akan membakar semua kesewenang-wenangan di tanah Betawi. Murtado percaya itu. Ia memasang kuda-kuda. Siap menyerang atawa diserang. Kedua jago maen pukul itu bersitatap. Mereka saling menjajaki sambil menunggu peluang untuk menyerang. Kedua tangan dan kaki mereka bagaikan menari-nari, memutari lawan di hadapan.
Murtado melihat kesempatan. Ia memutar tubuhnya sambil menyepakkan kaki untuk menghancurkan kuda-kuda Sabeni. Jagoan Tenabang itu melompat untuk menghindari sepakan. Namun, Murtado mencekal salah satu kakinya, lalu melemparkannya hingga Sabeni menjungkal ke tanah. Sabeni belum sempat bangkit ketika Murtado mencekik lehernya dan siap melayangkan pukulan, tapi urung ia lakukan. Si Macan Kemayoran melepaskan cengekramannya dari leher Sabeni.
“Bangun lu!” perintah Murtado, “Lu temuin gue lagi kalo lu bener-bener udah siap adu maen pukul ame gue!”
Sabeni tidak berkata-kata. Ia pergi begitu saja. Ia memunggungi Murtado dan melangkah kian menjauh. Apakah simalakama telah membunuh rasa percaya dirinya? Atau ia akan segera mati merindui Khadijah karena tak mampu menyingkirkan palang pintu kembang desa itu? Tak ada yang tahu apa yang tengah bermain di kepalanya ketika itu.
Sampai di sebuah pekarangan rumah entah siapa, ia menyaksikan sebuah pertarungan tidak seimbang antara seekor ayam dengan kelabang. Dunia Sabeni bagaikan berhenti berputar. Ia terpesona saat melihat gerakan kelabang itu, meliuk-liuk sambil sesekali menangkis patukan sang ayam yang kelaparan. Kelabang itu berusaha berlari sampai ia terdesak di seakar pohon. Saat ayam itu melancarkan patuknya, kelabang itu melompat menerjang mata sang ayam.
Walau pada akhirnya kelabang itu mati, tetapi ada yang diam-diam meresap ke dalam kesadaran Sabeni. Ya, kelabang itu! Kelabang itu! Tanpa disadarinya, Sabeni mulai bergerak-gerak mengikuti gerakan kelabang itu. Kakinya bergantian menyepak dengan gerakan yang meliuk-liuk bagaikan kelabang sedang berlari. Tangannya bergerak cepat bersamaan dengan sepakan kakinya yang bersaling-silang.
Malam membentangkan kegelapan di atap langit. Kesunyian mulai terjaga dan siap bersekutu dengan kegelapan. Barangkali, matahari tengah kelelahan sehingga bulan yang betapapun usahanya memantulkan cahaya mentari, tetap tak mampu memberi warna kepada malam.
Semua orang mulai menutup pintu, naik ke atas dipan untuk kemudian memejamkan mata. Hanya Sabeni yang masih terjaga. Ssejak lepas isya, ia belum juga berhenti mengulang-ulang gerekannya. Bayangan Murtado menjelma mimpi buruk yang segera menyergapnya ketika matanya mulai menutup. Gerakan Murtado yang bagaikan bayangan ketika kilat mencengkeramkan jemarinya di leher Sabeni, memaksa ia untuk terjaga.
Begitulah. Sabeni melewati malam itu tanpa memejamkan mata. Ia membuat seluruh tubuhnya terus bergerak, mengikuti liuk-liku sang kelabang. Gue kudu ngerubuin  palang pintu itu! Gue kudu ngalahin si Macan Kemayoran! Gue kudu nikain Khadijah! Entah harga diri, entah cinta yang membuat Sabeni bagaikan kelabang yang tak mampu berlari ke mana-mana selain berupaya mengalahkan lawannya. Sambil terus menggumamkan kalimat-kalimat itu, Sabeni terus mengulang dan mengulang gerakannya bagaikan tiada hari esok baginya untuk berlatih.
totokan kelabang nyebrang (www.flickriver.com)

Sejak malam itu, Sabeni terserang insomnia. Ia tak pernah mampu memejamkan mata. Hanya kekalahan Murtado agaknya yang dapat menyembuhkan insomnianya. Ketika tubuhnya telah sangat kelelahan, matanya pun terpejam dengan sendirinya. Namun, apakah bisa dikatakan sebuah tidur jika sepanjang memejamkan mata itu tangannya terus bergerak: kadang menyilang seperti melindungi dadanya, kemudian keduanya secara bergantian bergerak bagaikan melancarkan pukulan dengan sendi jari telunjuk atau jari tengahnya. Hampir sepekan Sabeni menjalani kehidupan dengan bayangan pertempuran.
Senja itu, Sabeni kembali berhadapan dengan Macan Kemayoran di tengah hutan di kawasan Kebon Kosong. Kali ini, Sabeni tidak datang dengan kekaguman masa kanak-kanak. Ia seorang lelaki yang tengah memperjuangkan cintanya. Hanya dengan merobohkan palang pintu Khadijah, ia bisa menikahi kembang desa itu.
Murtado mulai pasang kuda-kuda. Sabeni menunggu serangan si Macan Kemayoran sebagai kelabang yang tak lagi dapat menghindar dari pertarungan. Murtado memulai serangannya dengan sepakan dan pukulan yang mengarah ke leher Sabeni. Jago dari Tenabang itu menurunkan bahu kananya, lalu mengirimkan tinju siku jari tengahnya ke perut Murtado seraya kaki kirinya menyepak kaki Murtado.
Ugh!” pekik Murtado, ia tak menyangka dapat serangan balik secepat sambaran kilat dari Sabeni. Murtado terjatuh.
Murtado segera berdiri. Ia memutar tubuhnya, siap melancarkan tendangan berputarnya. Namun, belum sempat kakinya dilayangkan, Sabeni telah lebih dulu merapatkan tubuhnya ke Macan Kemayoran, menciptakan nirjarak sehingga serangan Murtado hanya menemui angin. Ketika itulah, Sabeni melancarkan sepakan yang dibarengi sikutan. Jurus itu membuat Murtado harus mencium tanah untuk kedua kali. Gerakan tangan dan sepakan kaki Sabeni yang dilancarkan hampir secara bersamaan, membuat konsentrasi Murtado menjadi pecah.
Agaknya, Murtado mulai membaca hakikat jurus-jurus Sabeni. Ia berusaha menciptakan jarak sambil mengintip kelemahan lawannya. Sementara itu, Sabeni hanya menunggu sergapan sang Macan Kemayoran. Begitulah. Pertarungan jago maen pukul dari Kemayoran dan Tenabang itu bagaikan pertempuran dua bayang-bayang. Mereka berkelelebat saling tukar pukul, saling tukar tendang, saling adu kuncian, saling adu bantingan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata seorang awam.
Upaya Murtado menjaga jarak tempurnya sedikit membuat Sabeni kewalahan. Ia terdesak di sebatang pohon sedang Murtado yang berhasil mengunci Sabeni dalam jarak tempurnya siap melepaskan jurusnya. Sabeni bagaikan kelabang yang tiada mungkin lagi menghindari serangan. Ia teringat pada sebuah pertempuran tak simbang antara ayam dengan kelabang. Barangkali, inilah saatnya. Di malam terakhir ketika ia terserang insomnia, ia bermimpi sementara matanya tiada memejam sedikit jua. Ia seolah berada dalam kesadaran penuh, padahal sesungguhnya tengah bermimpi. Ia bermimpi menjadi kelabang yang mampu menumbangkan seekor ayam jantan.
Demikianlah, Murtado yang menyangka riwayat Sabeni akan segera tamat, bergegas melayangkan tendangan berputarnya. Saat itulah, Sabeni mulai meliuk-liuk, meniru gerakan kelabang sambil kakinya menyapak secara bergantian dengan tangannya terus memukul. Murtado kehilangan jarak tempurnya. Sebuah sepakan kaki dari Sabeni membuat tubuhnya limbung, apalagi setelah totokan Sabeni menyasar di leher Macan Kemayoran itu. Murtado ambruk tak sadarkan diri. Sabeni mengucap istigfar. Ia segera membantu Murtado yang terkapar di tanah dengan membuka totokannya. Jika sedikit saja terlambat, tentu aliran darah di tubuh Murtado akan berhenti mengirimkan oksigen ke otakya. Maut berjarak sehelai kain tipis dari Murtado.
Kemenangan Sabeni dari Macan Kemayoran tersiar ke seantero Betawi. Kelak, orang-orang akan mengenang senja itu sebagai sebuah dongeng dua jago maen pukul. Kali ini, Sabeni menjadi protagonis dongeng itu. Senja itu, untuk pertama kalinya, jurus kelabang nyerebang yang diciptakan Sabeni memakan korbannya.
Bertahun-tahun kemudian, di saat usianya telah menginjak angka delapan puluh tiga, Sabeni berhadapan dengan dua jagoan yang didatangkan dari Jepang. Seorang anaknya yang desersi dari Heiho di Surabaya, membuat penguasa kolonial Jepang mengambil siasat itu. Mereka menangkap Sabeni untuk memancing anaknya keluar dari persembuyiannya. Barangkali, kematian Sabeni di tangan karateka dan pesumo itu akan membuat anaknya keluar untuk membalas dendam.
Begitulah. Untuk kesekian kali, Sabeni bagaikan kelabang terdesak yang tak memiliki kemungkinan untuk melarikan diri. Musuh jangan dicari, tapi kalau datang, pantang lari! Lelaki tua itu memandang ke langit untuk yang terakhir kali sebelum ia maju ke arena.

Elu jual, gue beli!” 

Catatan: jurus kelabang nyebrang bisa dilihat di video berikut ini.


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini