Honor Terbesar dalam Hidupku


Ingin menghasilkan materi dengan menggunakan otak bukan dengan otot merupakan mula mengapa aku menekuni dunia menulis. Dan aku harus menunggu sampai dua tahun, sebelum sebuah cerpenku dimuat di sebuah majalah remaja terbitan ibukota.
Pertama kali menerima uang sebesar 75.000,- dari majalah untuk pembayaran honor cerpen pertamaku, sempat terbersit keinginan untuk tidak melanjutkan cinta-cita menjadi seorang penulis. Karena honor yang aku dapatkan jauh dari yang aku bayangkan. Satu tahun, sebelum akhirnya aku merasa tak ada lagi pilihan profesi, aku kembali menggoreskan pena, menuangkan imaji yang bermain di kepala menjadi sebuah cerita. Mungkin memang segitu rezeki yang Allah beri untukku, begitu pikirku waktu itu.
Dan cerpen demi cerpenku pun semakin sering muncul di majalah yang sama yang memuat cerpen pertamaku. Dalam satu bulan, dua sampai empat cerpenku muncul di majalah itu. Bahkan tak jarang, dua cerpenku dimuat sekaligus dalam satu edisi majalah itu.
Lalu, seorang teman menyodoriku sebuah majalah remaja islami, Annida. Awalnya aku merasa tak cukup pantas menulis cerita-cerita islami, sebab keseharianku masih jauh dari nilai-nilai islami. Tapi apa salahnya dicoba? Dan sebuah cerpenku yang berjudul Masjid-masjid yang Kudirikan dimuat di majalahAnnida, setelah dua cerpen sebelumnya yang kukirim ke majalah itu tidak dianggap layak untuk dimuat.
Setelah cerpen islamiku dimuat di majalah Annida, ada semacam desakan hebat dalam diriku, untuk tidak berperilaku yang berlawanan dengan apa yang aku tulis dalam cerita-cerita islamiku. Dan aku mengalami sebuah titik balik. Menapaktilasi kembali masa kanak-kanak ketika aku menjadi murid di sebuah madrasah diniyah. Tiba-tiba saja, kerinduanku pada-Nya kian menggebu-gebu. Bunga-bunga cinta bermekaran di taman hati. Dan aku jatuh cinta kepada-Nya. Aku ingin mencintai dan dicintai oleh-Nya.

Kemudian, sebuah novel serial pertamaku diterbitkan. Aku semakin mantap menapaki dunia kepenulisan. Apalagi ketika e-mail demi e-mail aku terima dari pembaca novelku yang merasa puas dengan cerita yang aku suguhkan dalam novel itu.
Dan motivasi itu pun berganti. Aku tak lagi menempatkan materi pada urutan terdepan. Tapi aku mengharapkan karya-karya yang aku buat bisa memberi manfaat bagi orang-orang yang sudah mau meluangkan waktunya untuk membaca. Cukup bagiku kalau pembaca karyaku bisa tersenyum puas setelah membaca karyaku. Dan itu menjadi honor yang tak terhingga buatku.
Namun anehnya, setelah aku tak lagi menjadikan materi sebagai alasan utama aku menulis, semakin banyak cerpen-cerpenku yang dimuat di berbagai majalah. Bahkan sudah beberapa bulan ini, tak lagi dua atau empat cerpen, tapi bisa sampai delapan cerpenku yang dimuat di berbagai majalah, dalam kurun waktu satu bulan saja!
Tapi bukan itu yang paling membuatku bersuka.
Beberapa waktu lalu, dua buah surat datang kepadaku. Surat dari pembaca cerpenku yang dimuat di sebuah majalah islami. Cerpen berjudul Melukis Senja, yang berkisah tentang seorang pelukis yang harus kehilangan sebelah tangan yang kerap digunakannya untuk melukis, dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas. Seorang pelukis yang sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri! Sampai dia dipertemukan oleh adiknya dengan seorang pelukis cilik. Seorang pelukis cilik yang tidak memiliki dua lengan karena penyakit kangker tulang yang menyerang kedua lengannya membuat keduanya harus diamputasi, yang sangat piawai memindahkan keindahan senja ketika matahari mengakhiri kembara harinya, padahal dia seorang penderita rabun senja!
Lalu mengapa kedatangan kedua surat itu membuatku sangat bersuka?
Salah satu surat yang aku terima itu, dikirimkan oleh seorang perempuan, yang mengaku termotivasi setelah membaca cerpen aku itu. Dia bahkan melampirkan sebuah cerpen karyanya, yang menurut pengakuannya merupakan kisah hidupnya. Ada keharuan yang aku rasakan seusai membaca cerpen yang ditulisnya di atas dua helai kertas folio bergaris dengan tangan. Aku tak mampu membendung air mata, setelah tau dari cerpen yang ditulisnya itu, kalau perempuan itu menderita kelumpuhan pada kedua kakinya karena penyakit Polio yang dideritanya!
Subhanallah... adakah honor yang lebih besar dari itu?

Rumah Cahaya, 08/07/05 17:27:30 WIB
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini