Akhirnya Kita Berjumpa

Akhirnya kita berjumpa. Setelah sekian lama hanya bertemu dalam doa. Ketika malam menawarkan keheningan yang kudus. Selepas keningku menyentuh tikar sajadah. Begitulah Allah Swt mengabulkan doa setiap hamba yang memanjatkannya.

Aku datang ke taman itu bersama seorang temanku, seperti juga kamu yang datang ditemani oleh sahabatmu. Kamu tampak malu-malu. Berbicara dengan wajah tertunduk. Hanya sesekali saja menatap. Bertemu denganmu, melenyapkan keletihan setelah perjalanan panjang yang harus aku tempuh untuk sampai ke taman itu.

Selepas salat zuhur, aku meninggalkan rumah, setelah sebelumnya mencium punggung telapak tangan Mama, memohon doa agar segala urusan denganmu diberi kelancaran. Tapi hidup adalah perjuangan. Sejak semula aku berniat menggunakan kereta ekonomi. Sebelum pukul 4 aku sudah harus berada di Stasiun Senen. Tapi di tengah perjalanan, rencana berubah. Sepertinya lebih menyenangkan menggunakan bus sebab aku hanya pergi seorang diri, begitu pikirku. Aku turun di Stasiun Manggarai, melanjutkan perjalanan dengan mikrolet jurusan Terminal Pulogadung. Tapi sesampainya di sana, aku harus berhadapan dengan calo-calo terminal yang membuat harga tiket menjadi dua kali lipat lebih mahal.

Suara adzan menyelamatkan aku dari calo-calo itu. Setelah menunaikan salat Asar, aku mengambil keputusan untuk kembali pada rencana semula. Masih 30 menit tersisa, sebelum kereta jurusan satasiun Malang diberangkatkan. Tapi sepertinya aku tidak berjodoh dengan kereta itu. Bus Trans Jakarta yang kutumpangi harus terjebak macet di terowongan sebelum segitiga emas. Jarak dari halte pemberhentian pun cukup jauh dari stasiun sehingga aku harus berlari kecil mengejar kereta.

“Kereta ekonomi jurusan Malang udah berangkat, belum?”
“Sudah berangkat, Mas,” jawab pegawai stasiun, “Adanya jurusan Pasar Turi, Surabaya. Tapi itu juga udah kehabisan bangku.”
“Yah… yang kelas bisnis nggak ada?”
“Adanya eksekutif,” jalasnya, “Tapi kalo Mas mau, saya bisa mengusahakan tempat duduk. Tapi harga tiketnya jadi 55.000. gimana, Mas? Cuma nambah 8000 aja kok.”
“Oke!”
Begitulah. Petugas stasiun itu mencarikan tiket di loket pemesanan. Tak berapa lama dia kembali dengan sebuah tiket yang tidak diambil oleh pemesannya. Aku segera mencari gerbong dan tempat dudukku.

Sekitar pukul 4.15 kereta berangkat. Ini merupakan pengalaman pertamaku naik kereta ekonomi. Suara pengasong tak putus-putus sejak dari stasiun Senen, sampai tiba di stasiun Pasar Turi pukul delapan pagi. Perjalanan yang sangat melelahkan. Hampir enam belas jam lamanya aku berguncang-guncang di atas gerbong kereta.

Dari stasiun Pasar Turi, semula aku hendak menggunakan jasa bus ke Malang. Tapi aku teringat Lumpur Lapindo dan kemacetan di tol Porong. Alhamdulillah, seorang tukang becak memberitahu ada kereta ke Malang dari Stasiun Surabaya Kota. Dengan becaknya, aku diantar ke sana. Sepanjang perjalanan ke satsiun itu, aku banyak bertanya. Terutama soal harga tiket. Tukang becak itu mengatakan harga tiket kelas ekonomi ke Malang sebesar 50 ribuan. Sedang untuk kelas bisnis sampai 100 ribuan. Aku jelas terkejut. Bagaimana bisa harga tiket ke Surabaya-Malang sama dengan Jakarta-Surabaya? Niatnya mau ngirit, malah harus keluar ongkos lebih mahal!

Sampai di stasiun Surabaya Kota, loket tiket kereta ekonomi sudah ditutup. Aku sempat bingung. Sampai kemudian tukang becak itu menyarankan aku untuk membeli tiket kelas bisnis. Sedikit agak berat, menghampiri loket penjualan tiket.
“Kereta ke Malang masih ada, Pak?”
“Ada. Kelas bisnis Berangkat jam 10.10,” terang petuga loket itu, “sedang kereta ekonomi berangkat 10.30.”
“Kalau kelas bisnis berapa harga tiketnya?”
“Lima belas.”
“Seratus lima puluh ribu????”
“Lima belas ribu. Kalau ekonomi cuma lima ribu.”

Ah, rupanya tukang becak itu tidak tahu harga tiket kereta…

Aku tak perlu berpikir lebih lama. Aku ingin cepat sampai di Malang. Jadi kubeli tiket bisnis. Setelah membayar ongkos becak, aku masuk ke dalam peron. Masih cukup panjang sebelum kereta diberangkatkan. Kugunakan waktu untuk membersihkan tubuh di toilet dan sarapan pagi. Sambil menunggu batre HP-ku penuh kembali, aku membaca buku. Setelah bosan dengan buku, aku beranjak ke bangku tunggu, mendengarkan lagu-lagu yang dimainkan oleh band yang disewa untuk menghibur calon penumpang kereta di stasiun itu. Sepertinya aku masih harus lebih bersabar untuk bisa bertemu denganmu. Hampir satu jam kereta bisnis jurusan Malang itu molor. Pukul sebelas lewat baru kereta berangkat meninggalkan stasiun Surabaya Kota.

Jam dua lewat kereta masuk stasiun Kota Baru, Malang. Ah, sungguh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Apalagi aku masih harus menunggu Lubis, temanku yang akan menjemput. Hampir setengah jam menunggu, temanku itu menunggang motor. Sebelas bulan lamanya kami tak pernah bertemu, semenjak perkenalan kami di workshop CWI.

Setelah salat Asar, aku mampir dulu ke kosan Lubis. Mengganti kaos bau keringat dengan kemeja yang masih wangi. Aku tak sempat mandi, karena air di kosan Lubis sedang mati. Sebuah SMS kamu kirimkan ke ponselku. Mengabarkan tentang dirimu yang sudah tiba di taman itu. Taman berpayung flamboyan di depan kampus fakultas sastra. Akhirnya kita berjumpa. Setelah sekian lama hanya bertemu dalam doa. Ketika malam menawarkan keheningan yang kudus. Selepas keningku menyentuh tikar sajadah. Begitulah Allah Swt mengabulkan doa setiap hamba yang memanjatkannya.

Keesokan hari, kita sama-sama pergi menemui kedua orang tuamu di Jombang. Sampai aku menuliskan catatan ini, aku masih tidak percaya kalau aku bisa berjumpa denganmu. Seperti mimpi yang aku tak ingin terjaga darinya.


Catatan 15 November 2006
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini