Santap Siang

cerpen Denny Prabowo


Sayur asem, sambal terasi, dimakannya bersama ikan asin. Wuiiiihhh… siapa yang tidak meretas liur dari mulutnya, melihat hidangan itu di atas meja makan? Beruntung sekali aku memiliki seorang ibu yang pandai memasak.

Si Andi, anak ketua yayasan pemilik sekolah tempat aku menimba ilmu, boleh saja menyombongkan diri menyantap pizza beserta lasagna dengan ayam lada hitam untuk makan siangnya. Atau si Joni, anak petinggi TNI yang jadi ketua Osis di sekolahku, boleh bangga karena dengan menu hamburger atau hot dog untuk mengisi perutnya yang gembul setiap pagi sebelum pergi ke sekolah. Tapi siapa berani menyangkal kalau masakan yang terlahir dari tangan-tangan terampil seorang ibu—meski hanya sayur asem, sambal terasi dan ikan asin—mampu menghadirkan kelezatan melebihi produk-produk budaya Eropa dan Amerika, seperti yang selalu dikunyah si Andi dan si Joni?

Kalau nggak percaya, datang saja ke rumahku. Akan kubuat ketagihan dengan sayur asem, sambal terasi dan ikan asin buatan ibuku! Aku saja kalau sudah menghadap masakan itu di meja makan, tak akan bergeming meski ratusan rudal dijatuhkan pesawat-pasawat Amerika di atap rumahku! “Berlebihan!” begitu kata Dodi teman sekelasku, sebelum dia kuajak ke rumah pada suatu siang sepulang sekolah, untuk menikmati sayur asem, sambal terasi dan ikan asin buatan ibuku.

Teng… teng… teng…

Bel pulang berbunyi.

Dodi yang duduk dua bangku di belakangku, segera mengampiri mejaku.

“Gue boleh ikutan makan siang di rumah lo lagi ya?”

See! Aku nggak perlu jelasin lagi kan, betapa masakan ibuku itu mampu membuat orang jadi kecanduan?

Aku mengangguk.

Yeah, lumayanlah. Semenjak Dodi sering mampir ke rumahku selepas sekolah, hanya untuk sekedar menikmati makan siang di rumahku, aku nggak perlu lagi keluar uang untuk membayar ongkos angkot. Aku bisa nebeng di jok belakang Honda NSR-nya si Dodi yang papinya seorang manager keuangan di sebuah perusaan swasta milik Amerika, dan ibunya sibuk mengelola sebuah butik. Jarak dari rumahku ke sekolah lumayan sangat jauh. Dua kali ganti angkot. Padahal, ongkos anak sekolah dengan penumpang biasa dihitung sama. Dan aku masih harus menumpang ojeg dari jalan raya untuk sampai ke rumahku. Kalau dihitung-hitung, masih lebih murah menyuguhi makan siang si Dodi, ketimbang bayar ongkos kendaraan dari sekolah sampai ke rumah. Maklumlah… Namanya juga anak orang nggak punya. Aku dan Ibu hidup dari usaha warung dan uang pensiun almarhum Ayah.

Sempat heran juga sih, kenapa anak orang kaya seperti si Dodi, rela mengantarkan aku setiap hari hanya demi sebuah santap siang dengan sayur asem, sambal terasi dan ikan asin yang bisa didapatkannya di rumah makan manapun? Padahal, rumah kami berlainan arah. Lagipula, dia kan bisa minta dibikinkan hidangan yang sama di rumahnya?

“Mami gue mana sempat masakin gue. Dia lebih mentingin butiknya daripada gue, anaknya…”

“Pembokat lo?”

“Ah… mana bisa mereka buat masakan seenak buatan ibu lo!”

“Jadi, selama ini siapa yang masakin elo di rumah?”

“Ya, pembokat gue. Tapi gue lebih sering makan di restoran. Gue nggak suka masakan pembokat gue. Nggak enak!”

“Tapi… uang jajan lo kan banyak. Pasti nggak masalah kalo elo harus makan di restoran setiap hari.”

“Bukan soal uang.”

“Habis soal apa?”

“Gue bosen makan di restoran. Gue kangen sama masakan rumah. Sebelumnya gue nggak suka sayur asem, apalagi ikan asin. Tapi setelah nyobain masakan ibu lo, gue jadi ketagihan! Lebih dari itu, gue menemukan suasana kekeluargaan di rumah elo yang sederhana,” jelas Dodi. “Eh, elo beruntung ya, punya ibu yang jago masak dan mau masakin elo setiap hari…”

Mendengar pengakuan Dodi, aku jadi merenung. Selama ini aku sering iri dengan anak-anak seperti si Dodi yang hidupnya serbah wah dan mewah. Eee… siapa sangka, kalau si Dodi malah menganggap aku beruntung, hanya karena ibuku jago masak dan mau memasaki aku setiap hari? Ah, terkadang yang tampak indah itu belum tentu membahagiakan ya.

Dodi menghentikan Honda NSR-nya di depan rumahku. Dari luar pagar rumah, aroma ikan asin yang sedang berkubang minyak panas di dalam penggorengan, menelusup lubang penciuman kami. Benar-benar merangsang selera!

Aku tersenyum melihat Dodi yang masih nangkring di atas jok motornya, memejamkan mata, mengendusi udara. Sungguh-sungguh meresapinya!

“Hoi!” tegurku, mengembalikan kesadaran pemuda yang tengah terhipnotis aroma ikan asin yang berasal dari dalam rumahku itu.

“A-apa?”

“Ikut masuk nggak?”

Dodi segera menambatkan kuda besinya di pekarangan rumahku, dan bergegas menyusul langkahku yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.

Di ruang makan tampak ibu sedang menata hidangan di atas meja makan. Sepanci sayur asem, secobek sambal terasi, dan…

“Ikan asinnya mana, Bu?”

“Masih di penggorengan. Zuhur dulu, gih! Selesai salat, pasti ikan asinnya sudah siap,” kata Ibu, meretas senyum di wajahnya yang masih tampak ayu.

Aku dan Dodi langsung pergi ke sumur di belakang rumahku membersihkan tubuh dan mengambil air wudhu. Lalu beranjak ke kamarku untuk menunaikan Zuhur berjamaah.

Beberapa saat setelah berucap salam, kami dikejutkan suara ribut-ribut di luar kamarku.

“Aduuuuhhh..,” keluh Ibu, di tangannya tergenggam sapu, “habis deh semua ikan asinnya digondol kucing!”

Meja makan tampak berantakan. Seekor kucing melompat keluar dari jendela ruang tamu. Aku dan Dodi sempat mengejarnya sebelum kucing itu menghilang di balik semak-semak.

Siang itu kami semua terpaksa menikmati santap siang tanpa ikan asin terhidang di meja makan.

***

Semenjak pencurian pertamanya yang menuai sukses besar, kucing betina yang berwarna abu-abu dengan belang-belang hitam di tubuhnya itu, jadi sering menyelinap masuk ke rumahku. Dia tidak hanya mencuri ikan asin yang telah terhidang di atas meja makan. Tapi kucing itu juga sudah berani membuka lemari makan dan menguras ikan asin yang Ibu simpan di dalam lemari itu! Dan kami jadi semakin sering menikmati santap siang dengan sayur asem dengan sambal terasi, tanpa ikan asin. Kucing itu sungguh membuat kami geram!

“Kita harus berhasil menjebak kucing sialan itu!” tekadku.

“Setuju!” dukung Dodi.

“Gara-gara kucing itu, kenikmatan makan siang kita jadi terganggu.”

“Betul!” timpal Dodi lagi, “Apa enaknya makan sayur asem dengan sambal terasi tanpa ikan asin?!”

Dan rencana pun disusun.

Sepiring ikan asin kami biarkan tergolek pasrah di atas meja, siap menjadi umpan. Aku dan Dodi mengendap mengawasi di bawah kolong meja makan. Taplaknya yang terjuntai hingga menyentuh lantai melindungi kami dari pandangan siapa pun, termasuk kucing sialan itu.

Detik-detik merambati dinding-dinding waktu.

Hingga senja siap melindap ke balik tebing cakrawala, kucing itu tak kunjung tiba memangsa umpan yang kami sediakan. Aku dan Dodi sampai tertidur di kolong meja makan saking lelahnya, sampai Ibu membangunkan kami untuk salat Magrib.

Berhari-hari kucing itu tak pernah kembali. Tapi kami tak lelah menjalankan strategi yang sama setiap hari. Kami percaya kalau suatu ketika kucing itu apsti akan datang dan menyantap umpan yang kami sediakan.

Dan.

“Ssssttttt…!”

Aku menangkap langkah ringan melompat dari jendela, berjalan mendekat menghampiri meja makan.

“Itu pasti dia!” Dodi berbisik.

Aku segera menyibak sedikit ujung taplak meja yang menyentuh lantai. Benar saja. Kucing itu sedang mengampiri umpan yang kami sediakan.

“Tunggu dulu!” cegahku, waktu melihat Dodi siap menyergap dengan mistar kayu di tangannya.

“Kenapa?”

“Sampai dia naik ke atas meja makan dan memangsa umpannya.”

Dodi mengangguk mengeri.

Kami segera memasang telinga.

Hup! Kucing itu melompat ke atas meja makan.

“Sekarang?”

“Tahan,” kataku, “tunggu sampai hitungan ketiga.”

“Baik.”

“Aku mulai menghitung. “Satu… dua… ti…”

“Serbu!!!”

Aku dan Dodi keluar dari kolong meja dengan senjata di tangan, siap menghukum terdakwa—si kucing betina—yang telah kami jatuhi vonis bersalah karena telah mencuri ikan asin selama ini.

Kucing betina itu terpaku di atas meja. Sepotong ikan asin digigitnya, sebelum dia siap melompat dari meja. Tapi Dodi berhasil menghalaunya. Kucing itu mencoba berbalik arah. Tapi dia tak bisa ke mana-mana. Aku menghadanganya dengan gagang sapu ditanganku. Kami telah mengepungnya. Kucing itu menjatuhkan ikan asin di mulutnya. Sorot mata mengiba terpancar jelas dari matanya yang indah. Bergantian memandang aku dan Dodi, seolah sedang mengajukan grasi.

“Tak ada ampun!”

“Ya! Tak ada ampun!!!”

Kucing itu masih membeku di atas meja dengan raut mukanya yang ketakutan. Bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Gagang sapu dan mistar kayu di tangan aku dan Dodi terangkat ke udara, siap diayunkan ke tubuh kucing betina itu.

“Sekarang!!!”

“Miau…”

“Miau…”

Dua ekor kucing kecil tiba-tiba saja sudah berada di antara kakiku dan kaki Dodi. Dengan wajah polosnya, dia menggelosot-gelosotkan tubuhnya ke kaki kami.

Aku dan Dodi saling berpandangan dalam kebekuan. Seketika itu gagang sapu dan mistar kayu di tangan kami masih terangkat ke udara.

“Miau!” si kucing betina melompat dari atas meja menghampiri kedua kucing itu, dan menjilatinya.

Seketika itu pula gagang sapu dan mistar kayu terjatuh dari tangan kami.

Aku dan Dodi memungut kedua kucing itu dan menggendongnya.

“Miau!” Si Kucing betina menggelosot-gelosotkan tubuhnya bergantian di kaki aku dan Dodi.

Ibu keluar dari dapur membawa sepiring ikan asin yang baru diangkatnya dari penggorengan.

Sejak hari itu, Ibu selalu menggoreng ikan asin lebih banyak dari waktu-waktu sebelumnya sebab ada kucing betina dan kedua anaknya bergabung menikmati santap siang bersama aku, Dodi, dan Ibu.

Ah… adakah yang lebih indah dari itu?
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini