Menikah Diam-diam dengan Gadis Bogor
Marah Rusli belajar di sekolah dokter hewan di Bogor. Saat itulah, ia berkenalan dengan seorang perempuan kelahiran kota hujan itu. Rupanya, mereka jatuh cinta. Tahun 1911, ia menikahi gadis Sunda itu, tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya.
Menolak Dijodohkan
Selesai studinya di sekolah dokter hewan Bogor, orang tuanya menyuruh Marah Rusli pulang ke kampung halamannya. Ia pulang ke Padang tanpa istri dan anak-anaknya. Sesampai di sana, rupanya ayahnya sudah meminangkan seorang gadis sekampungnya untuknya. Tentu saja Marah Rusli menolak. Namun, semua alasannya enggak diterima sama ayahnya, termasuk alasannya sudah punya istri dan anak-anak di Bogor.
Marah Rusli menerima perjodohan itu. Namun, ia mengajukan satu syarat. Setelah selesai upacara pernikahan, Marah Rusli akan menjatuhkan talak tiga kepada istri yang baru dinikahinya itu.
Sutan Abu Bakar jelas menolak syaratnya itu. Ia marah besar! Ia mengatakan kepada anaknya bahwa bangsawan bergelar Marah adalah orang jemputan dan kawin 2 atau 3 kali merupakan kebanggaan. Melihat sikap ayahnya itu, Marah Rusli memutuskan untuk kembali ke Bogor tanpa pamit.
Batal Belajar ke Negeri Belanda
Waktu Marah Rusli sekolah di Rofdenchool (sekolah raja) di Bukittinggi, ia termasuk siswa yang berprestasi. Hornsman, salah seorang gurunya menganjurkannya untuk belajar ke negeri Belanda. Namun, orangtuanya enggak mengizinkan karena ia anak tunggal. Akhirnya, tempatnya digantikan oleh Tan Malaka.
Tanda Terima Kasih untuk Masyarakat Sumbawa
Setamat dari sekolah dokter hewan, Marah Rusli diangkat menjadi ajunct dokter hewan di Sumbawa Besar. Selama tinggal di sana, ia sangat terkesan dengan Sumbawa dan masyarakatnya yang banyak membantunya. Sebagai tanda terima kasihnya kepada masyarakat Sumbawa, ia menulis novel La Hami. Novel itu mengambil latar Sumbawa.
Menjadi Pengurus PSSI
Tahun 1950, Marah Rusli bertugas di Semarang. Di tempat itu, ia mendirikan voetbalbond (perkumpulan sepak bola). Ia sempat menjabat sebagai komisaris Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) di Semarang.
Suka Mendengar Kaba
Ketika kecil, Marah Rusli senang mendengar cerita-cerita dari tukang kaba. Selain itu, ia juga gemar membaca buku-buku roman. Hal itulah yang menimbulkan kecintaanya kepada sastra.
Tanggapan Ayahnya Atas Novel Sitti Nurbaya
Marah Rusli penulis novel Sitti Nurbaya selama 2 tahun di Bogor. Balai Pustaka menerbitkan novel itu tahun 1922, dua tahun setelah terbitnya Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Setelah terbitnya novel itu, ayah Marah Rusli mengirimkan surat kepada dirinya. Ia menyesali perbuatan anaknya yang dianggap mengkritik adatnya. Namun, kaum muda justru memberi dukungan kepadanya.
Mendapat Penghargaan dari Pemerintah
Marah Rusli mendapat penghargaan tahunan dalam bidang sastra dari pemerintah Republik Indonesia tahun 1996 berkat novelnya Sitti Nurbaya.
Sitti Nurbaya di Uni Sovyet
Novel Sitti Nurbaya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Novel itu dimuat di suatu majalah yang terbit di Uni Sovyet tahun 1962.
Mewariskan Dua Novel
Sebelum wafat, Marah Rusli sempat menyelesaikan 2 novel. Namun, ia berwasiat kepada anak-anaknya, agar novel itu diterbitkan setelah kematiannya. Novel pertama berjudul Memang Jodoh diterbitkan oleh penerbit Qanita, grup Mizan, tahun 2013, 50 tahun setelah kematiannya. Novel kedua, Tesna Zahra belum diterbitkan hingga hari ini.
*Tulisan ini pernah dipublikasi di spoila.net
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini