Pencuri Sandal

Novel Denny Prabowo & Dhinny El-Fazilah
Diterbitkan oleh Mitra Bocah Muslim



Imam menuntaskan doanya. Para jama’ah salat tarawih berdiri. Sebagian langsung menghambur ke luar. Sebagian lagi bersalawat sambil bersalam-salaman. Adji, Amien dan Ody keluar dari dalam masjid. Ody celingukan. Dia nggak nemuin sandalnya. Dia yakin betul kalau tadi meletakkan sandalnya di belakang pintu masjid sisi sebelah kanan.

“Kenapa, Dy?” tegur Amien melihat temannya kebingungan.

“Sandal hilang!” jawab Ody panik.

“Taruhnya di mana?” tanya Adji.

“Di belakang pintu.”

“Nggak kelupaan?”

“Nggak. Aku yakin banget, kok.”

“Mungkin ketuker sama orang lain?” ujar Amien.

“Sudah, ambil saja yang ada!” kata Adji mengusulkan.

Ah, betul juga ya, pikir Ody. Dia mulai memilih-milih sandal yang ada di tempat itu.

“Itu sih sama saja nyolong, Dy!” Amien menasehati.

Ody mengurungkan niatnya.

“Terus gimana, dong? Masa’ harus pulang ke rumah nyeker?” tanya Ody.

“Tunggu saja sampai seluruh jama’ah meninggalkan masjid. Kalau ada sandal yang tersisa, kamu bisa pake sandal itu.”

“Kalau nungguin sisaan sih, nanti dapat sandal yang butut. Mumpung masih banyak pilihan, ambil saja satu yang kira-kira harganya setara dengan sandal milik kamu.”

“Terus apa bedanya kamu sama maling yang ngambil sandal kamu?” Amien mengingatkan.

Ody jadi bingung. Tapi setelah dipikir-pikir, omongan Amien ada juga benarnya. Akhirnya dia memilih untuk nunggu sampai seluruh jama’ah ninggalin masjid.

Tapi sampai semua orang meninggalkan masjid, ternyata nggak satu sandal pun yang tersisa. Dengan berat hati, Ody pulang ke rumah dengan bertelanjang kaki, alias nyeker, sambil meratapi sandal carvil yang dibeliin mamanya waktu kenaikan kelas kemarin.

Keesokan harinya, giliran Adji yang kehilangan sandal gunungnya. Padahal, sandal itu merupakan hadiah dari pamannya yang tinggal di Amerika. Jelas saja dia jadi uring-uringan nggak karuan.

“Pasti maling itu sudah ngincer. Padahal, aku naronya di tempat tersembunyi!” kata Adji geram, “Liat saja kalau sampai ketangkep…”

“Sabar, Dji,” Amien menenangkan.

“Kamu sih enak, Mien. Kamu nggak merasa kehilangan seperti aku sama Ody. Coba kalau kamu yang kehilangan…”

“Jadi kamu nyumpahin, nih?”

“Ya nggak…”

“Lagipula, siapa yang mau ngambil sandal jepit butut punyaku?” Amien memerkan sandal butut yang dikenakannya.

“Pokoknya, kita harus berhasil menangkap maling sandal itu!” tekad Adji.

“Tapi gimana caranya?”

“Kita omongin nanti di rumahku.”

Sepulang dari masjid, mereka langsung berkumpul di rumahnya Adji. Adji, Amien dan Ody lagi ngerencanain cara buat ngejebak maling sandal yang sudah sangat meresahkan itu. Pasalnya, ternyata bukan hanya sandal Ody sama Adji saja yang hilang. Banyak jama’ah salat tarawih di masjid Al Kautsar yang kehilangan sandalnya!

“Kita harus buat perangkap untuk menangkap maling itu!” tegas Adji. “Ada yang punya ide?” sambungnya lagi.

Amien berdiri dari kursinya. Tangannya disilangkan di belakang. Wajahnya tertunduk. Serius. Dia berjalan mondar-mandir persis setrikaan panas. Lagaknya sudah kayak detektip partikelir gitu deh.

Ody yang sedari tadi sibuk ngebersihin kaca matanya yang buram juga sok-sok ikutan berpikir keras.

“Aku ada ide!” seru Adji membuat kedua sahabatnya melompat terkejut.

Amien kembali ke kursinya.

Ody mengambil lap, dan melanjutkan membersihkan kaca matanya yang sudah mengkilap. Kalau soal beginian, otaknya memang sulit diajak berpikir. Tapi coba tanya soal program komputer terbaru, dia pasti lagsung lancar ngejawabnya.

Melihat reaksi kawan-kawannya yang datar-datar saja seolah gak mau ambil pusing, anak tentara berpangkat sersan itu jadi sewot.

“Kalian pada dengerin aku ngomong nggak sih?!” suara Adji lantang sambil menggebrak meja. Gayanya mirip aparat yang sedang melakukan interogasi.

Saking terkejutnya, Ody si pakar komputer sampai terlonjak dari kursinya. Hampir saja kacamatanya terjatuh. Untung saja dia sigap menangkap kembali.

“Jangan ngagetin, dong!” Ody mengelus-elus dadanya yang turun-naik. Dia memang paling kagetan.

“Habis… kalian nggak mendengarkan sih.”

“Iya deh, kita dengerin,” kata Amien, “Sekarang coba kamu jelasin ide kamu itu.”

Kemudian Adji menjelaskan rencananya untuk menjebak maling sandal itu. Amien dan Ody keliatan setuju-setuju saja dengan ide Adji itu. Bukannya karena mereka menganggap ide Adji itu cukup bagus, tapi karena keduanya sudah kelaparan. Buka puasa tadi mereka belum sempat makan. Hanya minuh air hangat dan kolak pisang. Beda sama si Adji yang begitu dengar bedug, langsung makan nasi.

“Bagaimana?” kata Adji selesai memaparkan rencananya, “Kalian ngerti yang aku omongin kan?”

“Ngerti!”

“Coba sekarang kalian ulangi.”

Amien dan Ody saling berpandangan. Keduanya hanya garuk-garuk kepala.

“Ya ampun! Dari tadi aku ngomong kalian ke mana saja?!”

“Habis kita lapar sih, Dji…” kata Amien.

“Iya. Kamu sih enak, sudah makan,” timpal Ody.

Akhirnya, demi kelancaran proses diskusi, Adji mengalah. Dia mengajak kedua sahabatnya makan. Selesai mengisi perut, baru dia kembali ngejelasin tentang rencananya buat mnangkep maling sandal itu. Kali ini Amien dan Ody sudah bisa konsentrasi mendengarkan. Mereka sudah nggak merasa kelaparan lagi.

***

Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, tarawih malam itu, Amien hanya berangkat berdua dengan Ody. Adji diam-diam mengikuti di belakang. Malam itu, Amien dan Ody sengaja pake sandal yang paling bagus milik mereka, dan meletakkannya di tempat yang terbuka. Maksudnya untuk memancing agar si pencuri tergiur mengambil sandal mereka. Sehingga, Adji yang mengintai dari tempat tersembunyi, bisa nangkep basah si pencuri itu.

Tapi sampai salat terawih selesai, sandal Amien dan Ody masih ada di tempatnya. Aneh! Mungkin maling itu sudah tau kalau itu hanya sebuah jebakan saja.

“Kayaknya kita harus ubah strategi, deh?” usul Amien.

“Kamu punya ide?” tanya Adji yang kecewa rencana jitunya nggak berhasil.

“Begini…” Amien mendekatkan mulutnya ke telinga Adji dan Ody. Lalu menjelaskan idenya.

“Wah, oke juga, tuh!”

“Kali ini pasti berhasil!”

“Eh, kalian ngeliat sandal gue nggak?” seorang anak lelaki lebih tua sekitar tiga tahun dari mereka kehilangan sandalnya.

Adji, Amien dan Ody saling berpandangan. Kemudian kompakkan mereka menggelengkan kepalanya.

Benar dugaan mereka, maling sandal itu sudah tau kalau sandal Amien dan Ody hanya sebagai umpan buat ngejebak doang. Jadi dia lebih memilih mangsa yang lainnya.

***

Keesokkan malamnya.

Adzan isya menggema di udara. Adji, Amien dan Ody menyimpan sandalnya di tempat biasa mereka menyimpan. Tempat yang cukup tersembunyi.

Lalu ketiganya masuk ke dalam masjid. Tapi mereka gak ikutan salat isya berjama’ah. Mereka keluar dari sisi sebelah kanan majid. Lalu berjalan memutar kembali ke sebelah kiri masjid. Dengan begitu, si maling sandal nggak bakalan tau kalau ketiganya mengintai dari tempat yang cukup tersembunyi. Maling itu bakalan nyangka kalau ketiganya sedang mengerjakan salat isya di dalam.

Dan benar saja!

Dua orang bocah lelaki, yang satu seusia mereka, yang satunya lagi lebih muda sekitar lima tahun dari mereka. Kedua bocah itu keluar dari dalam masjid, mengambil sandal Amien dan Ody, mengenakannya, lalu melangkah pergi meninggalkan masjid. Mereka melakukannya dengan penuh ketenangan. Seolah-olah sandal itu memang punya mereka. Kayaknya sih kedua bocah itu sudah terbiasa nyolong sandal.

“Gimana nih, kita gerebek sekarang?” Adji sudah gatal mau menangkap basah kedua maling sandal itu.

“Tunggu dulu!” cegah Amien, “Sebaiknya kita ikutin mereka.’

“Untuk apa?” Ody bingung.

“Cari tahu di mana tempat tinggal mereka.”

“Kalau sudah tau, terus mau apa? Kenalan?” tanya Adji yang kurang setuju dengan usulan Amien. “Kenapa sih nggak langsung kita pukulin saja? Sudah ketahuan mereka maling!”

“Jangan main pukul dulu. Kita cari tahu dulu alasan mereka mencuri sandal.”

“Namanya pencuri ya tetap pencuri. Harus diadilin!”

“Iya. Tapi bukan kita yang berhak mengadili.”

“Lalu siapa?”

“Pak Hakim!”

“Hei, liat tuh!” sela Ody, “Maling itu pergi!”

Kedua bocah lelaki yang sepertinya kakak beradik itu ke luar dari pekarangan masjid.

Amien, Adji dan Ody langsung menguntit mereka dari jarak yang cukup aman.

Kedua pencuri sandal itu masuk ke gang perumnas tempat Amien, Adji dan Ody tinggal. Lalu masuk ke sebuah perkampungan yang berada di belakangnya. Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah di belakang pasar yang terbuat dari triplek-triplek bekas beratap seng.

“Kalian mencuri sandal lagi ya?” tanya seorang wanita yang nggak lain adalah ibu mereka. Nggak jauh dari tempat si ibu berdiri, seorang pria kurus berbaring lemas di atas dipan kayu. Sesekali terdengar suara batuk dari mulutnya yang pucat.

Kedua bocah pencuri itu tertunduk.

“Untuk nebus obat Bapak, Mak.” Yang lebih tua membuka suara.

Mendengar itu, si ibu menangis tersedu. Dipeluknya kedua bocah itu.

Tanpa sepengetahuan mereka, Adji, Amien dan Ody mendengarkan dari luar rumah. Ketiganya ikut terharu mendengar alasan mereka mencuri sandal. Ketiganya bahkan sampai menitikan air mata.

“Masih mau mukulin mereka?” sindir Amien pada Adji. Yang disindir hanya menggelengkan kepala.

“Kita harus berbuat sesuatu untuk mereka!” usul Adji kemudian.

“Aku setuju!” dukung Ody.

Amien mengangguk.

Amien, Adji dan Ody melangkah menjauh meninggalkan rumah kumuh itu dengan perasaan haru. Anak-anak itu nggak sabar ingin berbuat sesuatu untuk membantu mereka.[]



Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini