Pemuda Bernama Bagas

Oleh Donald Ducky


Semuanya berawal dari kesalahan. Ning menerima SMS dari nomer tak dikenal. Kemudian dia balas mengirimkan SMS ke nomer tak dikenal itu, memberitahukan kalau SMS yang dikirim ke nomer HP-nya salah. Hanya beberapa saat dia menerima laporan SMS-nya terkirim, dia mendapat telepon dari nomer tersebut. Namanya Bagas, begitu pemilik nomer itu memperkenalkan namanya kepada Ning. Dari suaranya sih, Ning membayangkan kalau rupa pemilik nama itu nggak kalah keren dengan Primus Yustisio. Sexy banget!

Dan sejak saat itu dia jadi sering SMS-an sama Bagas. Bagas teman yang sangat menyenangkan. Selalu ada saja joke-joke segar yang dia kirim ke HP-nya Ning. Perkenalannya dengan Bagas merupakan obat baginya yang baru saja diputusin pacarnya. Alasannya sih klise banget. Jarak yang membentang antara Jakarta-Yogyakarta menjadi penyebab kalau hubungan mereka sudah nggak mungkin lagi dilanjutkan. Sudah tak ada saling ketidakpercayaan. Ning sebenarnya nggak terlalu terkejut kalau akhirnya cowoknya memutuskan hubungan dengannya. Sudah hampir satu bulan hubungan mereka menggantung. Jadi udah nggak kaget lagi.

Tatitutitatitut….tatitutitatitut….

Ponsel Ning berbunyi. Nama Bagas muncul di layar LCD ponselnya. Sejak tadi dia memang menuggu-nunggu telepon dari Bagas. Dari tadi Ning coba menghubungi ponsel Bagas, selalu mailbox.

“Halo! Ke mana aja? Kok dari tadi HP-nya nggak aktif sih?”

“Sori. Semalam tidurnya telat. Banyak tugas dari dosen. Jadi siang begini baru bangun deh… kamu lagi ngapain?”

“Masih di sekolah. Kangen mau dengar suara kamu. Kapan main ke Jakarta?”

“Maunya sih sekarang…,” Bagas tertawa, “Tapi kuliah belum bisa ditinggalin nih. Padahal udah pengen banget ketemu sama kamu.”

“Apa iya?”

“Lha iya! Emangnya kamu nggak?”

“Apalagi aku!”

“Gimana kalo kamu yang main ke Bandung?”

“Ya… aku kan masih sekolah. Lagian, Ning nggak tau daerah sana.”

“Ya udah deh… minggu depan aku main ke Jakarta!”

“Yang betul?”

“Betul. Sekalian aku mau main ke tempat kost kakakku di Depok.”

“Kakakmu ada yang tinggal di Depok?”

“Iya. Dia kuliah di UI.”

“Aku kan tinggal nggak jauh dari Depok.”

“Oya?”

“Iya. Ya udah, aku tunggu kedatangan kamu ya!”

“See you!”

^^^
Seminggu kemudian Bagas benar-benar datang ke tempat kakaknya di Depok. Mereka janjian mau ketemuan di Kafe Buku yang ada di jalan Margonda. Sebagai tanda pengenal, Bagas akan datang dengan pakaian hitam-hitam serta mambawa setangkai mawar merah.

Ning bolak-balik di depan cermin. Sudah hampir satu jam dia di depan cermin, tapi belum juga yakin dengan penampilannya. Baju biru andalannya sedang dicuci. Padahal, dia berjanji pada Bagas akan memakai atasan warna biru. Mana mawar putihnya belum dapat lagi… Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Ning bagaimana kalau ternyata rupa Bagas tidak sesuai dengan yang selama ini diangankannya? Dia jadi menyesal, mengapa kemarin-kemarin nggak minta fotonya Bagas.

Ning gelisah di dalam kamarnya. Dia jadi ragu dengan dirinya.

“Aha!” Ning menjentikkan jarinya. Dia baru saja dapat ide. Gadis bermata bulat itu tersenyum. Kemudian melangkah pasti meninggalkan kamarnya yang acak-acakan oleh pakaian-pakaian yang tadi dicoba-coba olehnya.

^^^

Sore yang cerah menjadi sia-sia karena lalu-lintas yang padat. Ditambah lagi sopir-sopir mikrolet dan bus yang gemar menaik-turunkan penumpang sembarangan, seolah jalanan milik bapak moyangnya sendiri. Bikin keki! Mana bus yang dinaikinya padat oleh penumpang yang pulang kerja.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttt…

Brrrraaaaaakkkkkkkkk…!

Persis di depan Kober, sebuah motor yang keluar dari gang Sawo dihantam bus Patas dari arah Depok. Motor yang dikendarai seorang pemuda terseret hingga beberapa meter, sebelum patas yang melaju dengan kencang itu menghentikan lajunya.

Massa yang melihat kejadian segera berhamburan ke tempat kejadian. Darah menoda di aspal jalanan. Pengendara motor itu tak lagi bergerak. Sopir patas bermaksud melarikan diri, sebelum tertangkap oleh massa dan dihakimi beramai-ramai. Jalanan menjadi macet.

Untung saja polisi yang berada tak jauh dari tempat kejadian, cepat mengamankan sopir patas dan keneknya. Sehingga proses peradilan brutal oleh massa, tak sampai pada vonis mati. Nyawa sopir dan keneknya bisa diselamatkan.

Dada Ning berdegup kencang. Pasalnya, di melihat dengan jelas tubuh si pengendara motor yang masuk ke kolong patas dan terseret hingga beberapa meter!

^^^

Setelah memesan minuman dan meminjam buku, Ning mengambil tempat di meja yang disediakan di luar kafe. Jadi kalau ternyata Bagas tak sesuai dengan yang dibayangkannya, dia bisa lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dan melupakan Bagas. Itu juga sebabnya Ning nggak memakai pakaian seperti yang dia katakan kepada Bagas. Dia memakai atasan warna hitam yang dilapis jeket levi’s. Dia juga tidak membawa setangkai mawar putih seperti yang dijanjikannya. Jadi, Bagas tidak akan mengenali dirinya.

Cukup lama juga Ning menunggu, belum ada seorang pun yang datang ke tempat itu dengan pakaian serba hitam dan membawa setangkai mawar merah. Ning hampir saja memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu, saat sebuah Jupiter warna biru metalik membelok ke arah kafe, dan memarkirkan motornya tepat di depan meja Ning. Pengendara motor itu membuka helm dan jaket yang dikenakannya.

Hitam-hitam! Batin Ning. Bagas? Ah, nggak mungkin…

Pemuda yang mengenakan pakaian hitam-hitam itu masuk ke dalam Kafe Buku. Memesan minuman dan mengambil tempat duduk di belakang jendela, sehingga dia bisa melihat dengan jelas ke luar kafe. Meja Ning ada di luar jendela itu. Ning berharap kalau pemuda itu bukanlah Bagas yang sedang dinantinya.

Tapi harapannya segera pupus waktu dia melihat pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket yang di sampirkannya di punggung kursi yang didudukinya.

Mawar merah! Ah, nggak salah lagi, pasti dia Bagas! Tapi… Apa yang Ning bayangkan selama ini, nggak sesuai dengan kenyataan di hadapannya. Pemuda bernama Bagas itu ternyata seperti langit dan bumi dengan Primus Yustisio. Sudah kurus, pendek, hitam pula! Rasanya nggak nyangka kalau dia memiliki suara se-sexy Primus. Tapi Ning masih belum yakin dengan pikirannya. Tapi wajahnya… Ning serasa mengenali wajah itu. Tapi di mana?

Ning mengeluarkan ponselnya. Dia lalu menghubungi nomer Bagas. Hati-hati Ning melirik ke belakang, melihat ke arah pemuda yang duduk di balik jendela, di dalam kafe. Benar saja, pemuda itu mengeluarkan HP dari saku celananya. “Halo! Ning?” terdengar suara di speaker ponsel Ning. Ning lekas-lekas memutuskan sambungan teleponnya.

Ning berusaha tenang. Dia merapikan buku-buku milik kafe yang dia pinjam. Untungnya Ning member di tempat itu. Makanya dia diperbolehkan membawa pulang buku-buku yang dipinjamnya.

Tapi belum lagi Ning melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, ponselnya berbunyi. Bagas! Ning melirik ke arah pemuda yang duduk di balik jendela di dalam kafe. Pemuda itu sedang menelpon sesorang dengan ponselnya. Nggak salah lagi… Pasti dia Bagas! Tapi saat Ning melirik ke arah pemuda itu, tiba-tiba saja pemuda itu menoleh ke arah Ning. Buru-buru Ning membuang muka. Ponsel di saku jaketnya masih saja terus berdering. Cepat-cepat Ning meninggalkan tempat itu.

^^^

Malam itu. Ning merebahkan tubuhnya di atas kasur. Entah mengapa, dia merasa malam menjadi berjalan sedemikan lambannya. Sejak tadi dia berusaha memejamkan mata, tapi mata bulatnya tak mau juga terpejam. Bayang-bayang wajah Bagas terus saja membayang di matanya. Malam itu Ning benar-benar tidak bisa tidur. Tiba-tiba saja ada perasaan bersalah menelisik kalbunya.

Pagi sekali Ning sudah terjaga dari tidurnya. Semalaman bayang-bayang Bagas mengusik tidurnya. Membuatnya jadi tambah merasa bersalah. Di dalam mimpinya, dia melihat Bagas memandangi dirinya dengan wajah kecewa. Dia tidak berkata-kata. Hanya memandangi dirinya saja. Dan itu membuat Ning menjadi sangat tersiksa. Hanya karena penampilan Bagas tidak sesuai dengan gambaran sempurna hasil kreasi imajenasinya selama ini, ia lantas menjauhi pemuda itu. Tanpa disadari olehnya, dia telah melecehkan makhluk ciptaan Tuhan. Tentunya bukan Bagas yang menentukan seperti apa wajahnya ketika dia dilahirkan ke dunia. Tapi Allah. Allah Swt yang yang telah menciptakannya. Lagipula, derajat manusia di mata Allah sama. Hanya amal ibadahnya saja yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya!

Tiba-tiba Ning merasa rindu mendengar suara Bagas di telepon. Biasanya, pagi begini Bagas suka meneleponnya. Dia rindu dengan joke-joke Bagas yang selalu mampu membuatnya tertawa.

Ning memencet keyped ponselnya. Dia memutuskan untuk menghubungi Bagas, dan meminta maaf kepadanya.

“Halo, Bagas?” sapa Ning waktu teleponnya tersambung.

“Bukan,” kata suara lelaki diseberang. Suaranya memang berbeda dengan suara Bagas.

“Lho, ini nomer HP-nya Bagas kan?”

“Oh, iya. Betul. Ini memang nomer HP-nya Bagas. Saya kakaknya yang kuliah di UI.”

“Bisa saya bicara dengan Bagasnya?”

“Bis… eh, aduh… gimana ya…”

“Kenapa, Mas? Apa Bagasnya nggak mau terima telepon dari saya?”

“Bu… bukan. Tapi…”

“Tapi kenapa, Mas?”

“Bagas…”

“Bagas kenapa, Mas?”

“Bagas…,” suara lelaki di seberang melemah, bergetar. Seperti memeram kesedihan.

“Bagas kenapa?” Ning menjadi cemas.

“Bagas mengalami kecelakaan!”

“APA??? Bagaimana keadaannya, Mas?”

“Kemarin, waktu dia mau menemui kamu, motornya dihantam bus patas di depan gang Sawo! Bagas… Bagas meninggal dunia di tempat.”

Ponsel di genggaman Ning terjatuh. Dia teringat dengan peristiwa tabrakan yang dilihatnya kemarin. Pantas saja dia merasa mengenal wajahnya… Ning terisak. Dia benar-benar merasa kehilangan.

Jadi siapa pemuda kurus berpakaian hitam-hitam yang membawa setangkai mawar merah yang dilihatnya di Kafe Buku kemarin? Jangan-jangan itu…

Tatitutitatitut….tatitutitatitut….

Ponsel Ning yang tergeletak di lantai berbunyi. Sukit segera memungutnya. Dia melihat monitor HP-nya. Bagas?!

“H-halo…,” sapa Ning ragu-ragu. “Bagas?”

“Iya. Ini aku. Aku kangen sama kamu…” Ning hapal betul dengan suara itu.

‘Tidaaaakkkk!!!!”


Depok 22/10/04 16:05:25
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini