Gerimis di Hari Lebaran

Novel Denny Prabowo & Dhinny El-Fazila
Diterbitkan oleh Mitra Bocah Muslim, 2006



“Bener Dy, kamu nggak mau Mama bikinin baju baru buat lebaran?” tanya Mama pada Ody.

“Nggak ah, Ma. Ody minta mentahnya saja.”

“Maksudnya kain yang belum di jahit?” tanya Mama Ody yang memang punya usaha garmen. Biasanya tiap tahun Ody selalu minta dibikinin baju lebaran sama Mamanya. Lebih enak dan pas kalau dibikinin Mama sendiri, kata Ody kalau teman-temannya tanya kenapa nggak beli baju di Mal saja. Tapi tahun ini Ody nggak mau dibikinin baju lebaran. Nggak heran kalau Mamanya jadi heran.

“Bukan kain yang belum dijahit, maksud Ody, Ody minta uangnya saja.”

“Kamu mau beli di toko?”

“Ada deh, pokoknya tahun ini Ody minta uangnya saja. Oke Ma?”

“Terserah kamu deh.”

***

“Boleh ya, Boleh ya, Boleh ya, Boleh ya,”

“Kenapa sih Dji? Kamu kok jadi aneh gitu? Biasanya kamu paling seneng kalau diajak ke Mal buat beli baju baru. Kenapa sekarang nggak mau?” tanya Ibu heran pada Adji.

“Nggak, pokoknya Adji mau uangnya saja! Boleh ya, Boleh ya, Boleh ya, Boleh ya,” rengek Adji. Adji sudah ngerengek paling susah dibujuk. Pokoknya yang dia mau harus didapet. Adji memang agak keras kepala. Kayak sekarang ini. Adji ngikutin ke mana Ibunya jalan.

“Boleh ya, Boleh ya,” Ibu Adji yang lagi bikin kue buat lebaran jadi repot karena Adji selalu menghalangi jalan. Ibunya nggak kerja karena lagi cuti menjelang lebaran. Lebaran tinggal empat hari lagi. Tapi aktifitas menyambut lebaran sudah kerasa banget. Apalagi di rumah Adji. Wangi kue lebaran sudah kecium biarpun dari jarak seratus meter. Ibunya yang jago masak memang paling rajin kalau sudah bikin kue untuk lebaran.

“Ya sudah, nanti Ibu bilangin Ayah.” Akhirnya Ibunya mengalah.

“Horre...!” Adji melonjak girang.

***

“Ada apa sih, Mien?” tanya Bapak heran.

“Ehm...lebaran ini, Amien nggak usah dibeliin baju baru, Pak,” kata Amien sambil duduk di sebelah Bapak yang sedang nonton TV.

“Lho? memang biasanya juga nggak, kan?”

“Eh, iya juga, sih. Tapi maksud Amien... tahun ini Amien minta uang lebaran saja.”

“Oh... bukannya tabungan kamu masih ada? Memangnya mau kamu belikan apa?”

“Eh, engg..nggak mau beli apa-apa, sih. Anu...”

“Kamu kok nggak jelas gitu sih? Tapi ya sudah, kalau kamu maunya begitu. Bapak yakin kamu nggak akan pakai uangnya untuk yang aneh-aneh. Tapi nggak bisa hari ini. Besok saja ya,”

“Bener Pak? Makasih ya!” ucap Amien dengan mata berbinar-binar. Bapaknya cuma tersenyum melihat Amien.

***

“Gimana rencana kita? Kalian sudah ngumpulin berapa?” tanya Amien pada Adji dan Ody.

“Lumayan Mien, tapi nggak terlalu banyak sih. Yah, seharga jatah baju baruku.” Kata Ody

“Yah sama, aku juga segitu.” Kata Adji sambil menenteng bungkusan kue lebaran yang baru di buat Ibunya.

“Kalau bajunya?” tanya Amien lagi.

“Ini,” Kata Adji sambil menunjuk bungkusan baju bekas layak pakai yang di bawanya.

“Kemarin aku bongkar-bongkar lemari baju. Ternyata banyak juga baju-baju yang sudah jarang aku pakai,” lanjut Adji.

Lebaran masih tiga hari lagi. Tapi suasana lebaran sudah kerasa banget. Waktu mereka lewatin pasar, tukang-tukang yang jualan bungkus ketupat yang terbuat dari janur dan dibentuk kubus sudah rame jualan.

Tukang terompet juga sudah banyak yang menjajakan dagangannya. Waktu mereka ngelewatin gang yang kecil dan becek, terlihat anak-anak kecil yang lagi pada main. Ada yang main bola biarpun gangnya sempit, ada yang cuma main tap jongkok.

Dari jauh mereka ngeliat dua orang anak melambaikan tangan ke arah mereka. Yang satu seumur mereka, yang satu lagi lima tahun lebih muda dari mereka. Kemudian anak yang lebih kecil itu berlari menghampiri mereka. Beberapa meter sebelum anak kecil itu menghampiri mereka bertiga, dia tersandung sebuah batu dan jatuh.

Ia hampir menangis kalau Amien nggak segera nyamperin dan nolongin.

“Sudah, nggak usah menangis. Anak laki-laki harus kuat. Sakit nggak?”

Anak kecil itu mengangguk sambil meringis menahan sakit.

“Ini, Kak Ody bawa kue buat Udin.”

Seketika wajahnya yang hampir menangis berubah tersenyum. Ke dua anak itu adalah adik kakak, Ahmad dan Udin. Mereka adalah dua anak yang dulu pernah mencuri sendal Adji dan Ody waktu tarawih demi mendapat uang buat nebus obat bapaknya yang lagi sakit.

Oleh Ahmad mereka dipersilahkan masuk. Rumah itu keliatan sempit banget. Ruangannya kira-kira cuma lima kali enam meter. Tapi ruangan itu multifungsi. Dipakai sebagai ruang tamu sekaligus dapur sekaligus ruang keluarga. Di dalamnya cuma ada dua kamar, kamar bapak ibunya dan kamar Ahmad dan Udin.

Tiba-tiba Ibu Ahmad dan Udin datang sambil bawa tiga gelas air putih di nampan.

“Silakan nak, diminum. Maaf cuma ada air putih.”

“Nggak apa-apa Bu, jadi ngerepotin.”

Kemudian setelah itu Amien memberikan barang-barang yang mereka bawa. Kue lebaran buatan Mama Ody, baju-baju bekas layak pakai milik Adji, barang-barang keperluan sehari-hari seperti mie instant, odol, sabun yang diambil dari warung Amien, juga uang jatah baju lebaran yang mereka bertiga kumpulkan. Ibu Ahmad dan Udin jadi terharu.

“Maaf Bu, Cuma ini yang bisa kita kasihkan. Semoga Bapak cepat sembuh,” kata Amien.

“Makasih banyak ya Nak,” ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca. Ahmad juga ikut terharu. Cuma Udin yang terlihat senang.

“Kita pulang dulu, semoga besok bapak sudah sembuh dan bisa ikut lebaran,” kata Ody.

***

Malam menjelang Lebaran, dari masjid dekat rumah Adji, Amien, dan Ody terdengar gema takbir yang bersahutan dengan takbir dari masjid di seberang jalan raya. Anak-anak di sekitar situ rame-rame naik mobil bak terbuka dan menabuh bedug yang diletakkan di atas bak mobil sambil keliling-keliling.

Magrib tadi adalah magrib terakhir di bulan Ramadhan. Waktu buka puasa tadi, Amien sempat menitikkan air mata. Kenapa baru di hari terakhir ini ia bisa benar-benar merasakan nikmatnya berpuasa di bulan ramadan, kenapa enggak dari hari pertama. Dan kini dia nggak tahu, apa masih bisa ketemu Ramadhan tahun depan atau nggak.

Ody juga sedih buka puasa tadi. Tapi ia sedih memikirkan keluarga Ahmad dan Udin yang belum tentu bisa makan seenak dirinya dan keluarganya. Mana bapak mereka sedang sakit. Jadi mereka berdua yang harus menggantikan bapaknya cari uang. Ia jadi sangat bersyukur.

Adji juga sedih. Tapi sedihnya lain. Ia sedih karena enggak jadi beli baju baru di Mal. Tapi setelah ingat uangnya bisa untuk bantu keluarga Ahmad dan Udin, dia jadi enggak sedih lagi.

Malam takbiran, mobil bak terbuka yang akan berkeliling sudah nunggu di depan masjid. Semua anak-anak, tak terkecuali Amien, Adji, dan Ody berebutan naik ke atasnya. Mereka sejenak melupakan kesedihan mereka. Mobil yang membawa mereka pun berjalan berkeliling sambil membawa irama bedug yang ditabuh anak-anak yang naik di atasnya. Mengabarkan kepada orang-orang yang lewat bahwa besok umat Islam akan berhari raya.

***

Pagi-pagi sekali, Amien sudah bangun. Walaupun ia merasa bangunnya sudah pagi, ternyata Ibu dan Kakak perempuannya, Afni, bangunnya lebih pagi lagi. Mereka sedang menyiapkan opor ayam dan ketupat. Amien mandi dan bersiap-siap. Ia memakai bajunya yang paling bagus untuk sholat Ied. Ia berangkat bersama bapaknya.

Karena sejak kemarin gerimis nggak berhenti dan baru berhenti pagi ini, ia yang biasanya sholat Ied di lapangan bola, tahun ini ia dan Bapaknya memutuskan untuk sholat Ied di masjid belakang rumah. Soalnya lapangannya pasti becek.

Adji dan Ody juga sudah janjian untuk sholat Ied di masjid belakang. Mereka akan pergi ke rumah Ahmad dan Udin bersama-sama setelah sholat Ied. Mereka akan merayakan Idul Fitri di sana.

Setelah sholat Ied, mereka ngedengerin ceramah dengan seksama. Penceramah bilang bahwa Idul Fitri adalah hari raya umat Islam, tapi bukan berarti kita harus bermewah-mewah. Justru kita harus membantu saudara-saudara kita yang hidupnya susah agar mereka sesekali dapat merasakan makan enak. Adji jadi teringat Ahmad dan Udin. Mereka pasti jarang makan enak, pikir Adji.

Beberapa ibu-ibu sudah pergi ninggalin shaf-nya. Beberapa anak perempuan juga mulai bosen ngedengerin ceramah yang panjang itu. Tapi Amien, Adji, dan Ody tetap khusyuk ngedengerin.

Setelah ceramah benar-benar usai, Adji dan Ody mencari-cari Amien yang berangkat bersama bapaknya. Tak lama kemudian Adji melihat Amien di shaf depan.

“Woi... Mien! Jadi pergi nggak?!” teriak Adji.

“Hush! Jangan teriak-teriak, ini masih di dalam masjid tau!” kata Ody sambil melotot. Adji spontan langsung membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.

Kemudian mereka bertiga berjalan ke rumah Ahmad dan Udin yang terletak di belakang pasar. Tak terlalu jauh dari rumah mereka.

Waktu mau belok ke gang kecil yang menghubungkan pasar sama rumah Ahmad, mereka melihat bendera kuning di ikatkan di papan nama jalan. Tapi mereka tak berpikir apa-apa. Tepatnya tak mau berpikir apa-apa. Cuma jantung Amien yang berdegup lebih keras. Tapi ia membuang jauh-jauh pikiran buruknya.

Ketika mereka tinggal beberapa rumah lagi dari rumah Ahmad, mereka melihat banyak orang di rumah Ahmad. Mereka mendengar suara-suara orang mengaji. Amien enggak sabar. Ia mempercepat langkah kakinya yang di susul langkah kaki Adji dan Ody.

Sampai di depan pintu, mereka melihat seseorang terbujur kaku dibungkus kain kafan. Ahmad dan Ibunya terisak-isak di sampingnya. Sedangkan Udin menangis menjerit-jerit. Amien, Adji, dan Ody tercekat. Tiba-tiba gerimis turun lagi. Mengguyur tanah pekuburan yang sudah dipesan keluarga Ahmad. Mengiringi kepergian Bapak Ahmad. Membasahi hati Ahmad dan keluarganya. Dan menyamarkan air mata Amien, Adji, dan Ody yang mengalir hangat. Hilang bayangan mereka tentang lebaran yang hangat di rumah Ahmad.[]

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini