Waktu Tidur Malam Itu



Aku tidak sedang berada di sebuah stasiun, tapi seperti di stasiun. Seorang wanita yang menurutku cantik memohon kepadaku. Ia hendak membeli tiket kereta api. Aku membantu membelikannya, lalu pergi setelah menyerahkan tiket yang kubeli kepada wanita itu.

Aku berjalan ke sebuah perempatan tak jauh dari rumahku, seperti orang yang mau berangkat kerja. Sebelum sampai di perempatan, wanita yang tadi minta dibelikan tiket kereta api berjalan mendahuluiku bersama seorang lelaki. Mereka tampak tergesa-gesa menyetop sebuah angkot lalu naik ke atasnya sambil sesekali melihat ke arah belakangku.

Saat angkot yang membawa wanita dan teman lelakinya itu menghilanng, aku mendengar keributan di belakang. Ada siswi SMA menjadi korban kecelakaan. Sepertinya tertabrak sebuah mobil. Orang-orang berusaha menolongnya. Entah mengapa aku teringat kepada wanita yang naik angkot tergesa-gesa bersama teman lelakinya. Apakah ada kaitannya antara kecelakaan dengan wanita itu? Aku tidak tahu dan tak sempat mencari tahu.

Di perempatan yang tak jauh dari rumahku itu, aku bertemu dengan bosku di kantor penerbitan. Namanya Intan Savitri. Aku juga bertemu dengan seorang teman editor yang bekerja di sebuah penerbitan buku, namanya Noor H. Dee. Padahal kami bertiga tidak janjian bertemu di perempatan itu. Padahal tempat tinggal bosku jauh dari rumahku.

Kemudian kami bertiga berjalan masuk sebuah gang sambil berbincang-bincang. Aku lupa apa yang kami bincangkan. Barangkali soal penerbitan. Apalagi yang mungkin dibicarakan oleh tiga orang penulis yang bekerja di sebuah penerbitan? Namun, aku ingat betul gang itu. Dahulu aku pernah tinggal di sana. Cukup lama juga. Kalau tak salah sampai usiaku dua puluh dua.

Kami bertiga berhenti di sebuah rumah. Aku kenal betul dengan rumah itu. Rumah itu berada persis di muka rumah lamaku. Rumah lamaku itu menghadap sisi kiri rumah itu. Rupanya, rumah itu kini digunakan sebagai sebuah kantor penerbitan.

Di teras rumah itu, aku bertemu Ratno Fadillah. Kami sempat berbincang-bincang tak terlalu lama. Perbincangan kami terputus karena Andy Birulaut mengajak aku masuk ke dalam rumah yang kini menjadi kantor penerbitan itu. Ia memperkenalkan aku dengan pemilik penerbitan itu seperti memperkenalkan seorang pegawai baru di kantor itu, sebelum ia mengantarkan aku ke meja kerjaku. Apakah aku pernah melamar kerja di tempat itu? Aku tidak ingat sama sekali pernah melakukannya.

Hei, kemana bos dan teman editorku? Sejak tiba di rumah itu, mengapa aku tidak melihat mereka lagi? Apakah mereka bekerja di tempat itu juga? Tapi mengapa aku tak menemukan mereka di dalam rumah yang sekarang jadi kantor penerbitan itu?

Aku menghidupkan komputer yang ada di meja kerjaku. Memulai menyunting sebuah naskah. Sampai tiba waktu istirahat. Aku meninggalkan mejaku, berjalan keluar ruangan. Pergi ke rumah lamaku. Rupanya ada ibuku di rumah itu! Sejak kapan ia menempati rumah itu lagi? Dan mengapa aku tidak menngetahuinya?

Aku menyantap hidangan makan siang masakan ibuku di rumah yang dahulu aku tinggali hingga usiaku dua puluh dua. Rumah lama yang entah sejak kapan kembali didiami oleh ibuku. Saat waktu istirahat hampir habis. Aku harus kembali ke tempat kerjaku. Ibuku membawakan aku sebuah makanan. Lumayan, bisa dibagikan kepada teman-teman kerjaku. Namun, sebelum aku meninggalkan rumah ibuku, aku sudah lebih dulu terbangun dari tidurku.

Depok. 29/12/2012
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini