Sayur Asem

Oleh Denny Prabowo
Dimuat di Majalah Sabili



Ctak!

Hafi menyalakan kompor gas. Api biru menjilati udara. Ia menaikan panci berdiameter 30 centi berisi air dan irisan daging sapi ke atas kompor. Api biru menijlati pantat panci.

“Hari ini aku akan masak untuk Ibu.”

Subuh baru saja beranjak, jingga belum memudar dari cakrawala, ketika Hafi meninggalkan rumah pagi tadi. Ia pergi ke pasar untuk membeli sayuran. Rencananya Hafi ingin masak sayur asem. Dahulu Ibu sering sekali membuatkannya sayur asem. Hafi gemar sekali makan sayur asem dengan sambel terasi. Apalagi kalau ada ikan asinnya. Terbayang olehnya wajah Ibu yang berleleran keringat, karena panas uap sayur, waktu ia menyendok kuah sayur dengan centong, dan mencicip kuah sayur dengan ujung bibirnya. Biasanya hafi tak mau ketinggalan ikut mencicip sayur asem yang tengah dimasak ibunya.

“Enak?” tanya Ibu. Hafi tak segera menjawab. Dia malah mengerutkan kening, berlaga seperti kepala chef restoran saat mencicip masakan anak buahnya. Ibu tersenyum. Menunggu dengan sabar komentar dari anak semata wayangnya.

“Ehm…” Hafi melirik Ibu dengan ekor matanya.

“Ada yang kurang?”

“Kurang…”

“Kurang apa?” Ibu mulai tidak sabar.

“Kurang banyak nyicipnya!” Hafi tertawa lebar. Ibu tersenyum mencium keningnya. Hafi merasa Ibu terlihat sangat cantik jika sedang memasak di dapur.

Hari ini hari ulang tahun ibunya. Hafi ingin memberi kejutan. Dia ingin membuat sayur asem untuk Ibu. Lengkap dengan sambal terasi dan ikan asin. Selama satu bulan sebelum hari ini, Hafi rajin berlatih. Dia ingin menghidangankan sayur asem ternikmat untuk ibunya.

Sambil menunggu air dalam panci setengah mendidih, Hafi menyiangi sayuran asem. Pertama-tama ia mengupas kulit papaya muda, labu siyam, dan nangka muda. Ia terlihat cukup piawai menggunakan pisau. Dahulu, kalau Ibu sedang masak sayur asem, Hafi yang bantu menyiangi sayurannya. Setelah papaya muda, labu siyam, dan nangka muda bersih dari kulit, Hafi memotongnya seperti dadu. Baru mengambil kacang panjang untuk dipetiki seukuran 3 centian. Setelah selesai giliran kangkungnya dipotesi, lalu memotong jagung jadi tiga bagian.

Hafi mencuci semua sayuran yang telah disiangi. Air dalam panci mulai terlihat berbintik-bintik. Ia segera memasukkan jagung, melinjo, serta nangka muda. Lalu menutup panci. Sambil menunggu air mendidih sepenuhnya, Hafi menyiapkan bumbu-bumbu yang akan dihaluskan.

***

“Kenapa sih Ibu suka sekali masak sayur asem?” tanya Hafi suatu ketika, saat dia tengah membantu ibunya menyiangi sayuran asem yang khusus dimasak ibunya untuk ayahnya.

“Dulu nenekmu selalu memasak sayur asem untuk kakek. Kakek memang suka sekali makan sayur asem dengan sambal terasi dan ikan asin. Ibu suka membantu nenekmu kalau sedang masak sayur asem. Dan nenekmu selalu meminta Ibu mencicipi masakannya. Sebenarnya Ibu tidak terlalu suka makan sayur asem. Tapi karena sering dimintai tolong mencicipi sayur asem masakan nenek, lama kelamaan jadi ketagihan. Ternyata makan sayur asem dengan sambal terasi dan ikan asin memang nikmat sekali.”

“Sejak kapan Ibu mulai memasak sayur asem?”

“Sejak nenekmu tiada.” Saat mengucapkan itu, kabut berpendar di bola matanya. “Setiap kali Ibu rindu dengan nenekmu, Ibu masak sayur asem. Alhamdulillah, Ibu dipertemukan dengan lelaki yang suka sekali makan sayur asem seperti kakekmu.”

“Ayah?”

“Iya.”

Hari itu merupakan hari ulang tahun pernikahan orang tua Hafi. Hari yang sangat spesial. Dan di hari yang special itu, ibunya bermaksud membuat sayur asem spesial untuk suaminya. Setelah satu bulan lamanya meliput berita di daerah konflik, Aceh, hari itu ayah hafi akan pulang ke rumah merayakan hari jadi pernikahannya.

Tapi belum lagi sayur asem itu matang sepenuhnya, mereka dikejutkan oleh suara telepon di ruang keluarga. Ibu beranjak mengangkatnya. Tak berapa lama, ia kembali ke dapur. Wajahnya awan hitam pertanda datang hujan. Benar saja. Tak berapa lama kemudian, tubuh Ibu bergetar. Matanya yang sebening telaga mengeluarkan air mata terderasnya. Ia mendekap tubuh Hafi, erat.

Ketika itu Hafi tidak mengerti. Baru setelah televisi ramai menayangkan berita tentang seorang wartawan yang ditawan anggota GAM, Hafi mengerti arti air mata ibunya. Berbulan-bulan mereka tidak mendapat kepastian nasib Ayah. Dan hampir setiap hari selama berbulan-bulan itu, Ibu memasak sayur asem kesukaan Ayah.

***

Air di dalam panci mendidih sepenuhnya. Hafi membuka tutup panci. Uap panas membumbung ke udara. Hafi segera mencemplungkan papaya muda, labu siyam, bersamaan dengan kacang panjang, daun melinjo, dan sayuran kangkung. Dia juga tidak lupa memasukkan beberapa buah belimbing wuluh ke dalam air yang bergejolak. Sayur asem resep ibunya memang tidak menggunakan asam jawa untuk memberikan rasa asamnya. Tapi menggunakan belimbing wuluh. Inilah yang membuat sayur asem Ibu jadi terasa lebih nikmat.

Sambil menunggu seluruh bahan yang dimasukan barusan melunak, Hafi menghaluskan cabai, bawang merah, ketumbar, dan sedikit terasi medan dengan ulegkan. Sambil menguleg, Hafi membayangkan wajah ibunya ketika mencicip sayur asem spesial buatannya. Pasti Ibu akan senang sekali.

Hafi sudah lupa kapan terakhir kali Ibu memasak sayur asem untuk dirinya. Sejak ayahnya dinyatakan meninggal dunia dalam tawanan pasukan GAM, ketika TNI melakukan penyergapan, Ibu harus bekerja. Uang santunan dari stasiun televisi tempat suaminya bekerja ditabung untuk biaya sekolah anaknya.

Ibu bekerja di sebuah tabloid wanita terkemuka. Kebetulan pemrednya adik kelasnya waktu kuliah jurnalistik dulu. Sejak itu Ibu tak lagi punya waktu untuk masak sayur asem. Kalau Hafi ingin sekali makan sayur asem, dia harus beli di warteg atau rumah makan khas sunda. Tapi tidak ada yang rasanya senikmat sayur asem buatan Ibu. Mendekati pun, tidak!

“Hafi kangen sayur asem buatan Ibu,” keluh Hafi suatu ketika, saat ibunya pulang dari kantor, membawa nasi Padang untuk makan malam Hafi.

“Ibu ingin sekali. Tapi Hafi kan tahu, setiap hari Ibu dikejar-kejar deadline. Sabtu dan minggu pun kadang harus digunakan untuk liputan ke luar kota. Kalau Ibu tidak bekerja, siapa yang nanti membiayai kita? Hafi kan sudah besar. Sudah duduk di bangku SMA. Ibu mohon pengertiannya ya?”

Hafi memperhatikan wajah ibunya. Tampak letih. Ia mencoba untuk mengerti. Terbayang olehnya wajah Ibu yang berleleran keringat, karena panas uap sayur, waktu ia menyendok kuah sayur dengan centong, dan mencicip kuah sayur dengan ujung bibirnya. Hafi merindukan wajah itu.

***

Hafi membuka tutup panci. Memasukan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Menambahkan sedikit garam. Serta gula merah. Hafi tidak suka menggunakan penyedap rasa. Perpaduan garam dengan gula merah sudah cukup membuat masakannya menjadi gurih. Hafi menutup panci. Lalu mencuci cobek yang tadi digunakan untuk menguleg bumbu.

Ctak!

Hafi menghidupkan tungku kompor gas yang satunya lagi. Sebuah wajan berukuran sedang ditangkringkan di atasnya. Hafi menuang minyak ke dalam wajan. Sambil menunggu minyak panas, ia meniriskan ikan asin yang sudah direndamnya dalam air sejak tadi. Ibu yang mengajarkan Hafi. Biar ikan asinnya tidak terlalu asin ketika disantap.

Sreng!

Hafi memasukkan ikan asin ke dalam wajan berisi minyak yang telah panas. Menunggu beberapa saat. Minyak di dalam wajan membuih, merendam ikan asin hingga perlahan menjadi mekar. Ia mengangkat ikan asin yang telah mekar dengan saringan. Kemudian mencemplungkan kembali ikan asin yang belum digoreng ke dalam wajan. Setelah selesai seluruh ikan asin digoreng, Hafi menempatklan ikan-ikan asin itu dalam piring lebar. Ia lalu membuka tutup panci, melihat sayur asemnya. Seluruh sayuran di dalam panci tampak sudah melunak. Hafi mengambil centong. Menyendok kuah sayur asem. Mencicipnya. Hmm… gadis yang mewarisi mata telaga ibunya itu tersenyum.

“Senikmat sayur asem buatan Ibu!” Hafi jadi tidak sabar menunggu Ibu kembali dari tempat kerjanya.

Sebelum Hafi menata meja makan, ia lebih dulu menguleg sambal terasi. Tak akan lengkap menyantap sayur asem dengan ikan asin tanpa sambal terasi!

***

Sejak lepas pukul lima sore tadi, Hafi sudah duduk manis di depan meja makan. Semua hidangan telah disiapkan. Ibu pasti akan terkejut. Ah, Hafi tak sabar melihat binar bahagia terpendar dari mata telaga milik ibunya. Ia merindu bisa berenang-renang di dalam telaga mata Ibu. Menikmati tiap kasih yang tercurah dari tatapan matanya.

Waktu bergulir seperti roda pedati. Matahari telah menenggelamkan seluruh tubuhnya ke balik tebing cakrawala. Hafi masih duduk di depan meja makan. Ia mulai merasa mengantuk. Karena seharian menyiapkan kejutan untuk ibunya. Hari ini ulang tahun ibunya. Hafi ingin sekali mengulang saat-saat ketika ia dan ibunya duduk di meja makan, menikmati sayur asem dengan ikan asin serta sambal terasi. Momentum yang kini serupa barang antik.

Jarum jam telah menunjuk angka sepuluh. Dua jam lagi hari berganti. Hafi terjaga dari tidurnya. Rupanya ia ketiduran hingga beberapa jam lamanya karena letih menanti. Ibu belum juga kembali dari tempat kerja. Hafi memeriksa inbox Hp-nya. Takut kalau-kalau ibu mengirimkan pesan untuknya. Tapi tak ada pesan baru.

Hafi baru saja akan mengirimkan SMS ke nomer ponsel ibunya, ketika medengar suara pintu rumahnya diketuk tiga kali. Wajahnya berbinar seketika. Ia tak sabar ingin segera menyambut Ibu dengan senyuman. Ia nampak begitu bahagia, ketika tangannya meraih gagang pintu. Ia belum sampai membuka pintu, dan menemukan dua orang petugas polantas berdiri di depan pintu rumah, membawa kabar tentang ibunya.[]



Rumah Cahaya Depok, 30.09.2006



Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini