Fragmen Senja di Bulan Mei

Oleh Denny Prabawa



“Bidadari akan datang ke cakrawala ketika matahari bersinar dengan tubuh yang setengahnya telah terbenam, mengurai mega yang arak-berarak. Di tempat itulah Ayah bertemu ibumu.” Matanya lurus memandang ke arah cakrawala. Aku menemukan kerinduan di sana. Kerinduan yang sama dengan yang aku rasakan.

“Aku ingin bertemu ibu, Ayah.”

“Kau pasti akan bertemu dengannya.”

“Kapan, Ayah?”

“Nanti,” ucap Ayah, telapak tangannya yang kekar membelai kepalaku, “kalau kau sudah cukup besar untuk kuajak mengunjungi cakrawala.”

“Kita ke sana dengan sampan, Ayah?”

“Tidak, Senja.” Ayah menoleh menatapku. Tersenyum, “Bukan dengan sampan, melainkan dengan kedua sayapmu.”

“Aku punya sayap?”

“Tentu saja,” kata Ayah, “sebab kau anak bidadari.”

“Mana, Ayah? Mana sayapku?” Aku berusaha melihat punggungku, tetapi tak kudapati sehelai sayap pun tumbuh di sana.

“Kalau kau besar nanti, kedua sayapmu akan tumbuh dan kau bisa terbang mengunjungi ibumu di cakrawala.”

“Apakah Ibu juga punya sayap?”

“Tentu saja dia punya.”

Lalu. Dengan kaki telanjang, aku berlari-lari di atas pasir pantai dengan kedua lengan terentang. Mengepak-ngepak. Serupa burung merpati yang sedang belajar terbang.

“Horeee aku punya sayap! Aku bisa terbang! Aku bisa terbang!”

Namun, mengapa wajah Ayah justru terlihat murung? Mungkin dia sedang terlalu rindu. Ah, aku tak sabar ingin segera besar.

***

Sketsa itu telah lama berlalu. Sejak ayahnya tutup usia, beberapa saat setelah menyelesaikan sebuah novel. Novel yang dia persembahkan untuk ibunya, bidadari yang telah melahirkan dirinya. Bidadari bernama Jingga.

Senja membuka laptopnya. Dari ruang kerjanya dia bisa menikmati cahaya matahari ketika petang membentang. Ia memang bukan lagi gadis kecil yang mudah percaya pada dongeng-dongeng pengantar tidur. Namun, setiap kali matahari berkemas pulang menuju cakrawala, dia tak mau melewatkannya begitu saja. Ia akan segera membuka gorden ruang kerjanya. Membiarkan cahaya matahari menerobos kaca jendela. Senja akan berdiri merapat pada jendela, membiarkan tubuhnya disirami cahaya jingga yang berkilauan. Ibu, gumamnya selalu, seperti gadis kecil yang tengah menggelendot manja di pelukan ibunya.

“Mau saya buatkan kopi lagi, Bu?” Sebuah teguran membuyarkan kekhusyukannya.

Senja menoleh. Lelaki itu tersenyum menunggu jawaban darinya.

“Belum pulang, Pak Zen?”

“Belum, Bu,” jawanya, “saya menunggu Ibu.”

Senja tersenyum. Dia tak meragukan loyalitas Pak Zen. Sudah seperempat abad dia bekerja di perusahan penerbitan ini. Dia tak akan pulang sebelum Senja pulang, meski ia memaksanya untuk pulang karena baru tengah malam ia akan meninggalkan ruang kerjanya. Kalau Senja menginap, Pak Zen juga tinggal di kantor menemaninya.

“Tidak rindu keluarga di rumah?”

“Saya hanya seorang diri saja di rumah. Istri sudah tiada. Anak perempuan saya entah berada di mana. Jadi, sama saja pulang sekarang atau nanti. Bahkan kalau saya tidak pulang pun tak akan ada yang merindukan.”

“Saya yang akan rindu kalau satu hari saja Pak Zen tidak datang ke kantor.”

“Belum pernah ada yang mengatakan itu sebelumnya,” ujarnya. Aku tersenyum.

“Sebentar lagi saya pulang. Tak perlu membuatkan kopi,” ujarku, “Pak Zen boleh pulang duluan.”

Pak Zen menjawabnya dengan anggukan sebelum memutar tubuhnya dan menghilang di balik pintu ruang kerjanya. Lelaki paruh baya itu tahu, Senja tak akan pulang ke rumahnya.

***

Tebing mengambil kameranya. Menyambar jaket kulit di sandaran kursinya. Ia baru saja menerima telepon dari Aura, sahabatnya yang bekerja di sebuah LSM kemanusiaan.

“Jakarta terbakar!”

Hanya dalam bilangan menit sejak mahasiswa Trisakti tertembus peluru aparat, Jakarta berubuh warna: merah! Sepekan sebelumnya, langit kota Medan telah lebih dulu berwarna merah. Sekam yang telah sekian lama mendekam dalam dada menyala menjilati dinding-dinding hati. Entah siapa yang menyulutnya. Tiba-tiba saja segalanya api.

Tebing meluncur deras dengan sepeda motornya ke belahan barat kota Jakarta. Sepanjang jalan orang-orang berkerumun.

“Cina!” teriak seorang lelaki berseragam sekolah, wajahnya tampak lebih tua dari yang semestinya, “Bakar! Jarah!”

Braaaannnggg! Seorang berseragam sekolah lainnya melempari sebuah ruko dengan batu sebesar dua kepal tangan orang dewasa.

“Aneh,” gumamnya. Tebing merapakatkan sepeda motornya ke tepi jalan.

Sebagai wartawan, dia terbiasa melihat hal yang tak terlihat oleh orang lain. Dia melihat dua lelaki berseragam itu mengenakan ikat kepala warna merah. Tubuh mereka kekar. Potongan rambutnya seperti satpam di kantornya. Lagipula, wajah mereka terlalu tua untuk dikatakan sebagai anak sekolah.

Tak jauh dari tempat itu, lelaki dewasa berseragam sekolah lainnya merusak rambu-rambu lalu lintas, membabati pohon, membakar ban ban bekas, merusak apa saja sambil meneriaki yel-yel. Aksi mereka tak cukup lama, sebelum orang-orang—yang semula hanya menjadi penonton saja—mulai ikut melempari ruko-ruko itu dengan batu, mereka menghilang!

“Ke mana mereka?” Tebing merasa kecolongan. Dia mengeluarkan kameranya. Mengambil beberapa gambar. Pagernya berbunyi. Ada pesan dari Aura: TOLONG AKU!

Tebing coba menghubungi semua nomor yang pernah diberikan Aura. Tak ada satu pun yang mengetahui keberadaan Aura. Sudah puluhan pesan dia kirim ke pager-nya, tak ada balasan.

Rahang Tebing mengeras. Tangannya mengepal, melayang menghantam boks telepon di depannya. Sesaat kemudian lungkrah. Air matanya jatuh. Tebing meletakkan tubuhnya di pedistri. Kepalanya ditenggelamkan di antara kedua lututnya. Ujung rambut depannya yang menggelombang tergerai menyembunyikan air matanya.

Tebing mengenal Aura sebagai aktivis LSM yang tulisan-tulisannya sering membuat telinga penguasa orde baru merah. Mereka bertemu di sebuah peluncuran buku puisi Aura. Ketika itu dia masih jadi wartawan magang di sebuah majalah ibukota. Aura Jingga, begitu dia dikenal sebagai sastrawan muda bersenjata kata-kata.

“Kata-kata itu lebih tajam dari seribu pedang para kesatria atau peluru para tentara, Tebing,” katanya. Bagi Tebing Aura lebih hebat dari semua pahlawan wanita yang pernah dicatat dalam sejarah. Ah, masih perlukah aku menjelaskan kepada pembaca yang budiman bagaimana perasaan Tebing kepada Aura Jingga?

Bayang-bayang tentang aktivis yang hilang entah ke mana, membuat hati Tebing kian rengsa. Tebing tahu, dia tak akan pernah bertemu dengan Aura Jingga lagi. Kelak, dia akan mengenang hari itu sebagai hari terakhirnya mendengar suara Aura.

Beberapa saat kemudian, Tebing mengangkat wajahnya, memandang sekitar. Massa makin tak terkendali. Ruko-ruko di sepanjang jalan protokol yang dicurigai sebagai milik orang keturunan Cina, habis dijarah. Sebagian telah dilalap api.

Tebing bangkit. Ada yang lebih penting dari perasaan kehilangan. Ia teringat dengan pria-pria berseragam sekolah dengan ikat kepala warna ungu dan merah. Siapa sesungguhnya mereka? Aku harus mencari tahu. Aku harus mencari Aura!

***

Saya membuka pintu ruang kerjanya. Matahari sudah tenggelam di balik gedung-gedung. Namun, cahayanya masih berpendaran. Gorden masih menganga. Magrib hanya tinggal beberapa jengkal saja. Ia sedang tertidur di atas sofa tamu. Meringkuk serupa bayi merindu hangat tubuh ibunya. Aku mengambil selimut dari dalam laci rak bukunya. Mungkin AC di ruang ini telah menggigilkannya.

Baru tiga bulan lebih dua minggu dia bekerja di tempat ini, entah mengapa saya merasa begitu dekat dengannya. Mungkin karena keramahan serta perhatiannya, mengingatkan saya pada Mei.

Saya merapat pada jendela kaca. Saya sering melihat dia berdiri di sini memandangi matahari yang jatuh ke tebing cakrawala. Dahulu, Mei sering duduk di muka jendela kamarnya di lantai dua ruko kami, memandangi senja yang memendar indah di cakrawala. Adakah yang lebih indah dari senja? Sayang, senja tak pernah tinggal abadi, selalu datang dan pergi... begitu Mei sering bergumam dalam buku hariannya. Buku harian yang diam-diam sering saya baca. Satu-satunya barang yang tertinggal dari kerusuhan itu, satu-satunya yang menghubungkan saya dengan Mei, bidadari yang mencintai senja.

Masih lekat dalam ingatan, ketika orang-orang kalap melempari ruko elektronik saya. Setelah rollingdoor ambrol, mereka menyerbu masuk menjarah apa saja yang ada di dalamnya. Sia-sia saya mencegah. Dua kali bogem yang menyarang di dagu saya, cukup membuat saya ambruk ke lantai. Sebelum segalanya gelap, saya masih bisa melihat beberapa orang naik ke lantai atas, kamar Mei. Untung saja Mei tak sedang ada di rumah. Pagi-pagi sekali, selepas salat Subuh, dia sudah berangkat ke sekolah.

Saya menyembunyikan tubuh ke bawah tangga. Alhamdulillah, tak ada yang melihat saya merangkak ke tempat itu. Mereka semua sibuk mengangkuti barang dagangan saya. Saya memang keturunan Cina, tapi apa yang salah dengan itu? Dahulu, nenek moyang saya singgah di Pulau Jawa bersama kapal dagang Cheng Ho untuk menyebarkan Islam. Saya dilahirkan di atas tanah negeri ini dan akan dikuburkan di dalam tanah negeri ini.

Tiba-tiba api. Berkobaran dari lantai dua. Orang-orang itu pasti kecewa tak mendapatkan apa-apa di atas sana! Saya harus menyelamatkan diri! Saya harus mencari Mei!

Begitulah. Sekarang saya duduk di dalam ruang kerja Senja, gadis muda yang mengingatkan saya pada Mei ....

***

Tebing menginjak pedal rem motornya. Bercericit. Dia berusaha menghindari minibus yang berhenti tiba-tiba di depannya. Namun, tak berhasil. Roda depannya menghantam keras bumper mobil itu. Tubuhnya terlempar ke depan menghantam pintu belakangnya, sebelum mendarat di aspal jalanan. Tebing melihat roda belakang mobil itu bergerak ke arah belakang. Ia segera bangkit dari rebah. Melompat ke samping. Ban belakang mini bus itu menggilas motornya, menyeret hingga beberapa meter sebelum menabrak mobil di belakangnya. Dari arah depan orang-orang kalap mengejar sambil berteriak-teriak, “Cina!”

“Bakar!”

“Hancurkan!”

Tebing segera mengambil kameranya. Blitz menyala. Sebuah wajah pindah ke dalam roll filmnya. Wajah penuh api dari pria berseragam sekolah dengan ikat kepala warna ungu. Dapat! Tebing terus mengarahkan lensa kameranya ke arah massa yang mengerubungi minibus itu.

Mereka menyeret pengemudi minibus itu.

“Lo orang Cina kan?”

“Bukan, bukan ... saya Indonesia ....” Sia-sia. Mereka tak akan percaya. Perawakan pengemudi minibus itu sudah cukup bagi mereka menuduhnya Cina, tak peduli meski nenek moyangnya telah menikah dengan orang asli Indonesia dan sejak ratusan tahun telah mendiami tanah Jawa. Mereka memukulinya!

“Sial!” gumam Tebing membalikkan tubuh, kakinya dia ayun selekas mungkin. Dia tak lagi memedulikan motornya yang rebah di aspal jalan. Dua orang pria berseragam sekolah berjalan ke arahnya dengan sorot mata api. Dua pria yang tubuhnya kekar-kekar itu tinggal beberapa langkah saja dari dirinya.

“Hei, tunggu!” tegur mengguntur salah seorang dari mereka.

Tebing makin mempercepat langkahnya. Percuma. Mereka berhasil meraih pundak Tebing. Mencengkeramnya keras. Tebing tahu, sebentar lagi dia akan jadi sansak tinju, dia bisa mengendus amis darah dari tubuhnya.

***

Tebing membuka matanya. Entah sudah berapa lama dia terkapar di atas trotoar di kolong jembatan layang itu. Tubuhnya penuh luka memar. Pelipisnya mengalirkan darah. Ia memeriksa celana dalamnya. Roll filmnya masih ada di sana. Tebing bukan wartawan kemerin sore. Sebelum mereka merebut kameranya, dia telah lebih dahulu menukar roll filmnya. Tebing tersenyum, getir.

Tiba-tiba orang-orang berkerumun di tepi jalan. Entah apa yang mereka gumamkan. Telinga Tebing tak mampu menangkap suara-suara. Ia merasakan telinganya berdenging, seperti radio yang tak mendapatkan gelombang. Ia hanya melihat orang-orang itu menuding-nudingkan telunjuknya ke angkasa. Dia segera menjadi bagian dari kerumunan itu.

Perempuan itu!

Di bawah siraman cahaya matahari senja, seorang perempuan dengan busana yang tak lagi bisa dikatakan lengkap, berdiri di gigir jembatan layang. Matanya memandang ke bawah. Angin sore mengurai helai-helai rambutnya yang panjang.

Tebing mengambil kamera saku dari balik jaketnya. Bukankah sudah kukatakan bahwa Tebing bukanlah seorang wartawan kemarin sore? Dia sudah terlalu biasa berhadapan dengan tukang pukul ketika mencari berita. Sudah dua kali Tebing harus menginap di rumah sakit sebab berita yang ditulisnya dianggap membahayakan kedudukan seseorang atau sekelompok orang. Bukan baru sekali dua kameranya direbut dan filmnya diawut-awut, sebelum kamera itu dibanting—kalau sedang beruntung dikembalikan—setalah mereka memastikan film di dalamnya tak akan tersebar sebagai gambar di halaman-halaman surat kabar. Dan Tebing selalu siap dengan kamera cadangan.

Tebing mulai membidik perempuan di atas jembatan layang itu. Matahari senja yang bersinar dari arah belakangnya, membuat ia sulit untuk sekadar menduga seperti apakah wajahnya. Namun, cukup jelas tertangkap lensa kamera gerak tubuh yang ragu-ragu. Tiba-tiba wajah Aura mengelebat. Bukankah dia keturunan Tionghoa? Ah ... Tebing tak mampu membayangkan apa yang saat ini mungkin terjadi pada perempuan yang telah menanam benih cinta di taman hatinya itu.

Mata Tebing terus mengawasi perempuan di gigir jembatan layang itu dari balik lensa kamera sakunya. Ia tak mendengar pekik orang-orang di sekitarnya, ketika perlahan tapi pasti, perempuan itu melompat. Mata tebing terus mengawasi tubuh perempuan itu meluncur ke bawah dari balik lensa kamera. Mata Tebing terus mengawasi dari balik lensa, ketika hanya beberapa hasta dari tanah, dari punggung wanita itu tumbuh helai-helai sayap! Ya, benar-benar sayap! Tebing menurunkan kameranya.

Ia menyaksikan perempuan itu mengepak-ngepakkan sayap, melayang-layang, kemudian terbang ke langit. Dan entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja langit senja itu telah dipenuhi oleh perempuan-perempuan bersayap! Mereka terbang ke cakrawala.

Dan senja kian memerah.

***

Matahari tak lagi meninggalkan jejak senja di awan-awan. Malam bergegas menggantikan petang. Magrib telah beranjak meninggalkan selasar-selasar masjid. Pak Zen bangkit dari kursinya. Dia menarik tali gorden sangat perlahan, takut membangunkan Senja yang masih tertidur pulas. Ah, mungkin ia tengah bermimpi terbang dengan kedua sayapnya menuju cakrawala, bertemu dengan ayah dan ibunya di sana. Lalu mereka saling bercanda.

Di tempat lain, di tepi sebuah pantai, seorang perempuan duduk memeluk sebuah novel yang ditulis Tebing Cakrawala. Ah, akhirnya kau jadikan juga penamu sebagai senjata.... perempuan itu menghapus airmata yang menganak sungai di kedua belah pipinya. Ia teringat hari-hari penuh cinta yang dahulu pernah dilewatinya bersama Tebing. Ia teringat pada bayi yang dahulu pernah dia tinggalkan di beranda rumah kontrakan Tebing sebelum menghilang entah ke mana. Bayi yang ia temukan sedang menangis di dalam pelukan seorang wanita yang baru saja menutup mata setelah ramai-ramai diperkosa.


Gunug Sahari, 14 Maret 2008


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini