(www.eswete.net) |
Puisi untuk Sumirat
SAJAK PUTIHbuat tunanganku Mirat
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
Buat mirat ku, Ratuku kubetuk dunia sendiri
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…
18 Januari 1944
***
DENGAN MIRAT
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu
1946
***
MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA
di pegunungan 1943
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati
1949
Puisi untuk Sri Ayati
HAMPAkepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar, Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba.
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
***
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Puisi untuk Ida
IDAMenembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang lengang lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
Februari 1943
Puisi untuk Karinah Moordjono
KENANGANuntuk Karinah Moordjono
Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
Membumbung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 April 1943
Puisi untuk K.
DARI DIAbuat K.
Jangan salahkan aku, kau kudekap
bukan karena setia, lalu pergi gemerincing ketawa!
Sebab perempuan susah mengatasi
keterharuan penghidupan yang ‘kan dibawakan
padanya…
Sebut namaku! ‘ku datang kembali ke kamar
Yang kautandai lampu merah, kaktus di jendela,
Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja samar
Rambutku ikal menyiram, kau senapsu dulu kuhela
Sementara biarkan ‘ku hidup yang sudah
dijalinkan dalam rahsia…
Cirebon, 1946
Puisi untuk Dien Tamaela
CERITA BUAT DIEN TAMAELABeta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kurim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
1946
Puisi untuk Tuti
TUTI ARTICAntara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan sus + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
— kita bersepeda kuantar kau pulang —
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang,
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi… Hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
Puisi untuk Ina Mia
INA MIATerbaring di rangkuman pagi
— hari baru jadi —
Ina Mia mencari
hati impi,
Teraba Ina Mia
kulit harapan belaka
Ina Mia
menarik napas panjang
di tepi jurang
napsu
yang sudah lepas terhembus,
antara daun-daunan mengelabu
kabut cinta lama, cinta hilang
Terasa gentar sejenak
Ina Mia menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
— dayang penghabisan yang mengipas —
Berpaling
kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di
tekongan.
1948
Puisi untuk Gadis Rasyid
BUAT GADIS RASYIDAntara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa berlari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyebar
Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
Angin tajam kering, tanah semata gersang
Pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
— mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
— the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.
1948
Puisi buat Nyonya N
BUAT NYONYA NSudah terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada
gaun.
Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat
kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia
sungguh tiada tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-
buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi.
Datar-lebar-tidak bertepi
1949
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini