Jika
Anda pernah membaca sajak-sajak Chairil Anwar, Anda barangkali pernah membaca
sajaknya yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”. Di bawah judul sajak yang
biasanya selalu ditulis tebal itu, ada nama seorang perempuan, Sri Ayati. Perempuan
itu telah wafat pada 30 Desember 2009 dalam usia 90 tahun. Namun, pada tahun
2007, Alwi Sahab sempat mewawancarainya dan seseorang mengunggah wawancara
dengan Sri Ayati di youtube.
Meski
usianya sudah sepuh, masih tersisa raut cantik di wajah perempuan yang lahir di
Tegal tahun 1919 itu. Dalam wawancara itu, ia mengenakan pakaian warna biru.
Meski ketika itu usianya telah menginjak 88 tahun, ia tidak terlihat seperti
lansia pada umumnya. “Alhamdulillah, memori saya
masih baik dan tidak pikun. Hanya mata saya tidak dapat melihat lagi, karena
penyakit glukoma,” kata Sri Ayati. Sudah empat bulan ia berada di Jakarta.
Putra bungsunya dan menantunya yang memboyongnya untuk berobat.
Sri Ayati baru mengenal baik Chairil ketika ia menjadi
penyiar radio Jepang Jakarta Hoso Kyokam. Radio itu menggantikan NIROM, radio
milik Belanda yang ditutup. Radio yang kini bernama RRI itu berada di Jl
Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Perempuan yang pernah menjadi pengajar di Institut Kesenian
Jakarta ini menggambarkan Chairil Anwar sebagai orang yang kurang mengurus
dirinya sendiri. ”Rambutnya acak-acakan. Matanya merah, karena kurang tidur. Di
tangan kiri dan kanannya penuh buku-buku. Memang Chairil dikenal sebagai kutu
buku,” katanya.
Chairil merupakan seniman yang jujur di mata Sri Ayati.
Chairil tidak tahan melihat hal-hal yang dianggapnya kurang baik dan kurang
benar. Ia pasti akan menyampaiakan pendapatnya mengenahi hal tersebut.
Menurutnya, kalau Chairil hidup di zaman Orde Baru, ia pasti akan ditahan oleh
rezim Soeharto.
Ketika ditanya prihal puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”, Sri
Ayati menuturkan “Saya tahu kalau Chairil membuat sajak untuk saya dari
almarhumah Mimiek, putri angkat mantan PM Sutan Syahril. Mimiek datang ke rumah
saya di Serang. Waktu itu saya sudah bersuami dokter RH Soeparno, dan memiliki
seorang anak. Kami kemudian bermukim di Magelang, karena suami saya ditugaskan
di sebuah rumah sakit militer di sana. Padahal ketika itu saya lama tidak
ketemu Chairil,” kata perempuan yang pernah sekolah di MULO, Jakarta, sebelum
ke Fakultas sastra Universitas Indonesia.
Sri Ayati sendiri mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak
untuknya. Ketika itu ada sejumlah teman wanitanya yang lain, seperti Gadis
Rasyid, Nursamsu, dan Zus Ratulangi. Chairil tidak pernah menyatakan cintanya
kepada Sri Ayati. Namun, ia pernah berkunjung ke rumah Sri Ayati. Ia duduk di
kursi rotan, sementara Chairil duduk di lantai sebelah kanannya. “Ia bercerita
baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri
memakai baju daster. Ia bercerita sambil memegang daster yang saya pakai.
Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster
yang saya pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang
dimaksud Chairil gadis bernama Sri itu,” kenangnya.
H.B. Jassin menilai puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” berisi
kerawanan hati, suatu kesedihan mendalam yang tak terucapkan. Boleh jadi,
melalui puisi tersebut, Chairil bermaksud mengabarkan perasaannya kepada Sri
Ayati yang telah bertunangan dokter R.H. Soeparno. Sang penyair yang dikenal karena
vitalitasnya dan gaya hidup bohemiannya, ternyata hanya mampu memendam perasaan
cintanya kepada Sri Ayati.
Tonton videonya di bawah ini:
Inspiratif mas :)
BalasPadamthx Bai Ruindra
PadamUlasan ini telah dialihkan keluar oleh pengarang.
Padamcinta tak selamanya harus saling memiliki
BalasPadamtapi jadi abadi karena ditulis jadi puisi ya.
PadamMungkin begitulah cara penyair ungkapkan cinta. selalu samar.
BalasPadamkalau wanita, lebih suka dikasih ungkapan secara samar begitu atau secara jelas?
PadamUlasan ini telah dialihkan keluar oleh pengarang.
Padam