Kalau Tak Berani Maka Tak Untung

Oleh Denny Prabowo


Kalau Tak Untung diterbitkan Balai Pustaka pertama kali tahun 1933. Novel ini mengantarkan Selasih atau Sariamin Ismail menjadi seorang pujangga wanita Indonesia pertama. Sastrawan Pujangga Baru ini memiliki banyak nama pena. Selugari adalah nama pena yang digunakannya ketika ia menulis puisi.

Secara tematik Kalau Tak Untung masih belum beranjak dari persoalan kasih tak sampai. Namun, roman pertama karya seorang guru sekolah ini, tak lagi mempertentangkan kaum muda dengan kaum tua atau adat lama dengan adat baru seperti dalam novel-novel angkatan Balai Pustaka.

Novel ini mengisahkan percintaan antara Masrul dengan Rasmani yang telah bersahabat karib sejak kecil. Rasmani anak orang tak punya, sedangkan Masrul anak orang berada. Namun, perbedaan status sosial itu tak menjadi penghalang bagi persahabatan mereka. Persahabatan yang telah terbina sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar itu, menumbuhkan rasa cinta di hati Rasmani. Ia diam-diam mencintai Masrul, pemuda yang begitu menyayangi dan memanjakannya itu.

 Ketika Masrul diangkat sebagai juru tulis di Painan, ia diminta berjanji kepada orang tuanya agar setelah dua tahun mau menikahi Aminah, calon istri pilihan ibunya, anak mamak-nya Masrul. Oleh karena merasa didesak, Masrul menerima perjanjian itu. Namun, Masrul meminta supaya Aminah diajara baca tulis, agar kelak setelah menikah tidak memalukan dirinya. Ibunya menyanggupi permintaan Masrul itu. Masrul kemudian berkunjung ke rumah Rasmini untuk berpamitan dengan sahabatnya yang telah diangkat menjadi guru di desanya itu. Rasmini dengan berat hati melepaskan Masrul.

Surat pertama yang diterima Rasmini dari Masrul, setelah beberapa hari keberangkatan Masrul ke Painan, membuat Rasmini tak percaya. Semula ia mengira akan memperoleh berita menggembirakan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Masrul menulis dalam suratnya, dia harus menikah dengan Aminah, anak mamak-nya, dua tahun selepas ia bekerja di Painan. Dalam suratnya juga, Masrul meminta Rasmini mengajari Aminah baca tulis. Berat rasa hati Rasmini mengajari wanita yang telah merebut cinta Masrul. Namun, demi kemurnian cintanya pada Masrul, Rasmini memenuhi permohonan Masrul tersebut. Ia mengajari Amina baca tulis hingga gadis itu pandai baca tulis.

Di perantauan, Masrul tinggal di rumah Mak Sawiah dan Engku Jaksa. Ia berkenalan dengan Engku Guru Gedang. Engku Guru itu menawarkan kepada Masrul untuk menikah dengan anaknya, Muslina. Semula Masrul menolak, karena ingatannya terus mengawang mengingat-ingat Rasmini. Namun, anak Engku Guru yang bagus rupanya dan berpendidikan. Apalagi, kata orang itu, asal mau tak perlu merusuhkan belanja dan keperluan rumah tangga. Semuanya sudah ditanggung oleh bekal mertuanya itu. (hlm. 72)

Masrul meminta pendapat Rasmani melalui surat. Rasmani menasihati agar memilih calon istri karena budi yang baik dan tertib sopan santun. (hlm. 74). Lagi pula kekayaan istri tak akan menjadi bahagia untuk rumah tangga, kalau istri tak cukup mencintai dan menghargai suaminya. (hlm. 75)

Namun, kepandaian Engku Guru dan istrinya dalam menjerat hati Masrul dengan harta miliknya, membuat Masrul yang semula tetap pendirian pada Rasmini, kembali goyah.  Ia pun menyetujui menikah dengan Muslina. “Bodoh benar aku tak menghargakan kurnia Tuhan, tak memungut durian runtuh,” pikir Masrul dalam hatinya. (hlm. 79)

Keputusan Masrul tentu membuat kaum kerabatnya menjadi kecewa. Terlebih dengan Rasmini yang sudah sejak lama mencintai Masrul. Dan ketika dipikirkannya dalam-dalam … terasalah oleh Rasmini bahwa bukanlah cintanya tak berbalas, melainkan rupanya yang tak bagus dan kemiskinannya yang menjadi sebab (hlm. 88).

Kehidupan Masrul dengan Muslina yang telah membuahkan seorang anak, ternyata tidak membahagiakan. Mereka sering terlibat pertengkaran. Kehidupan keluarga mereka yang ditopang oleh orang tua Muslina, membuat istri Masrul itu tidak menghargai suaminya. Akibatnya, Masrul sering tak pulang ke rumah. Ia habiskan waktunya dengan mabuk-mabukan. Bahtera rumah tangganya yang tak ada tanda-tanda dapat diselamatkan itu, membuat Masrul berpikir untuk menceraikan Muslina. Ia kembali meminta pendapat Rasmani. Namun, jawaban Rasmani tak memuskan dirinya sehingga ia memilih untuk menceraikan Muslina.

Susah payah Rasmani melupakan Masrul. Setelah Rasmani lupa pada Masrul, hilanglah kemauannya untuk bersuami.  Sampai ia menerima surat Masrul mengatakan ia tak beruntung dan menunjukan cintanya. Api yang telah hampir padam itu, mulailah kembali memperlihatkan cahayanya (hlm. 125). Ketika mereka bertemu setelah perceraian Masrul dengan Istrinya, Masrul menceritakan semua penderitaan selama berumah tangga dengan Muslina. Namun, Rasmini merasa heran karena Masrul tak sedikit pun membicarakan mengenai perasaan cintanya.

Beberapa waktu kemudian, Masrul meminta Rasmani menjadi pendamping hidupnya. Tentu saja Rasmani merasa bahagia. Namun, sebelum Masrul menikahinya, ia memohon izin untuk mencari pekerjaan di Medan. Berbulan-bulan Masrul belum juga mendapat pekerjaan. Sesudah enam bulan Masrul di Medan didapatinya sepucuk surat mengatakan ia senang saja dan telah dapat pekerjaan (hlm 141). Surat Masrul yang semula penuh kehangatan cinta, lama kelamaan kian dingin. Hal itu mengecewakan Rasmani sehingga dia jadi sakit-sakitan. Pengaharapan Rasmani yang makin  lama makin tipi situ hilanglah sama sekali, sesudah ia menerima surat dari Masrul. Dalam suratnya itu Masrul mengatakan, “Rupanya tak ada untung kita …. Kalau ada orang meminta engkau, engkau terimalah, mudah-mudahan bahagia hidupmu” (hlm. 143). Keputusan Masrul itu membuat sakit Rasmani kian parah. Rasmini putus asa.

Kehadiran Dalipah, kakaknya, menghibur-hibur Rasmani, membuat kesehatannya membaik. Namun, surat Masrul kemudian yang mengatakan ia telah mendapat pekerjaan yang baik dan berharap dapat menikah dengan Rasmini, sangat mengejutkan dirinya. Surat yang membawa kabar baik itu rupanya lebih mengejutkan Rasmani dan lebih merusakkan jantungnya yang telah luka itu, dari surat yang dahulu (hlm. 173). Rasmani akhirnya meninggal dunia tanpa disaksikan Masrul yang terlambat datang menjumpainya.

***

Tokoh Masrul dan Rasmani dalam novel ini mirip dengan Aminuddin dan Mariamin dalam Azab dan Sengsara. Mereka sama-sama telah berkarib sejak kecil sehingga ketika besar mereka saling jatuh cinta. Penokohan Masrul yang digambarkan sebagai anak orang kaya sama dengan Aminu’ddin. Sedangkan kemiskinan Rasmani serupa benar dengan Mariamin, keduanya telah ditinggal mati oleh ayahnya. Persamaan lain antara Masrul dengan Amunui’ddin adalah keduanya sama-sama harus meninggalkan sahabat yang juga kekasih mereka untuk bekerja ke lain kota.

Jika dalam percintaan Aminu’ddin dengan Mariamin terganjal oleh ayah Aminu’ddin, Baginda Diatas, percintaan Masrul dengan Rasmani terhalang oleh ibu Masrul yang memilih Aminah untuk calon istrinya.

Namun, ada perbedaan antara Baginda Diatas dengan ibu Masrul. Ayah Aminu’ddin itu menjadikan harta dan kehormatan sebagai alasan ia enggan menikahkan anaknya dengan Mariami yang bersepupu dengan Aminu’ddin, tapi berlainan marga. Padahal, menurut adat, Aminu’ddin harus dinikahkan dengan Mariamin. Pernikahan semacam ini disebut manyonduti atau kembali ke pangkal keluarga. Sedang sikap ibu Masrul menjodohkan anaknya dengan Aminah yang merupakan anak mamak-nya, sesuai dengan adat ketika itu yang terbiasa menikahkan anak dengan kemenakan.

Novel ini secara tematik menunjukan kecendrungan yang sama dengan novel-novel yang terbit sebelumnya. Selain mengangkat persoalan kasih tak sampai, penokohan Masrul dalam novel ini stereotipe dengan tokoh-tokoh lelaki dalam novel sebelumnya yang selalu digambarkan lemah: tokoh Samsulbahri dalamSitti Nurbaya memutuskan bunuh diri karena patah hati ditinggal mati kekasihnya, tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan sakit jiwa dan akhirnya meninggal dunia, sedang tokoh Aminu’ddin dalam Azab dan Sengsara tak mampu menolak kehendak ayahnya.

Bahkan konflik utama yang menggerakan seluruh peristiwa dalam novel ini karya Selasih ini berpangkal pada kelemahan tokoh Masrul. Ketidakberdayaan Masrul menolak Aminah, jodoh yang diberikan ibunya, membuat Rasmani patah hati. Masrul kembali menunjukan kelemahannya sebagai lelaki ketika akhirnya dia menerima Muslina, meski dalam hatinya dia menginginkan Rasmani. Kelemahan Masrul kembali terlihat ketika ia tak mampu menghadapi Muslina yang selalu merendahkan dirinya, ia hanya bisa mabuk-mabukan untuk menghilangkan kekesalannya. Hal itulah yang membuatnya memutuskan untuk bercerai dengan Muslina.

Setelah bercerai dengan Muslina, dan Aminah pun tak lagi menjadi halangan karena telah menikah, Masrul tetap tak berani menikahi Rasmani meski ia telah berjanji. Alasanya, ia belum memiliki pekerjaan yang mapan, ia bahkan mempersilakan Rasmini untuk mencari peruntungan dengan laki-laki lain. Sikapnya itu yang menyebabkan Rasmina jatuh sakit. Kelemahan Masrul menjadi penyebab ketidakberuntungan dirinya serta wanita yang dicintainya. Tokoh Masrul dalam novel ini, kian mempertegas potret laki-laki Minangkabaudalam novel-novel sebelum perang yang selalu digambarkan lemah.



DATA BUKU
Judul Buku: Kalau Tak Untung
Penulis: Selasih
Penerbit: Balai Pustaka
Cetakan: 9, 1987
Tebal: 156 
 
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini