Diterbitkan oleh Balai Pustaka, 2011
Miripu mendengar suara dua orang gadis bercakap-cakap. Ia menoleh, memandangi kedua wanita itu. Sepertinya kedua gadis itu baru kembali dari mencari kayu bakar.
Miripu yang baru pertama kali pergi ke daerah pantai, ingin berkenalan dengan gadis dari daerah itu. Ia mengambil buah jatiri yang banyak tumbuh di rawa-rawa.
Dipetiknya sebuah jatiri, lalu digigitnya. “Hmm… enak juga buah ini!”
Kemudian Miripu melempar buah yang telah digigitnya ke arah kedua gadis itu.
“Eh, apa ini?” kata salah seorang dari mereka yang terkena buah itu, “Siapa yang melempari kita dengan buat jatiri?”
Gadis yang lainnya memungut buah itu. Ia mengamati buah itu. Ada bekas gigitan baru pada buah itu. Ia kemudian memandangi sekitar. Dilihatnya Miripu yang tengah berdiri di tepi rawa.
Miripu tersenyum ke arah dua gadis itu. Ia menghampiri kedua gadis Kipya itu. Kedua gadis itu rupanya tidak marah dengan kejahilan Miripu. Mereka pun berkenalan.
“Bagaimana kalau kita rayakan perkenalan kita?” usul kedua gadis itu sambil menurunkan kayu bakarnya dari pundak mereka.
“Wah, senang sekali!” jawan Miripu.
“Ayo kita duduk di tepi rawa itu!” kata gadis yang tubuhnya gemuk. Ketiganya pun pergi ke tempat yang dimaksud.
Gadis yang tubuhnya kurus mengeluarkan ti atau lem yang telah dikeringkan dari dalam tasnya. Ia kemudian membakar lem itu. Setelah itu, memberikannya kepada Miripu.
Miripu tidak langsung menyantap makanan asing itu. Ia mengamat-amati makanan itu. Sesekali mengendus-endusnya.
“Makan saja!” kata gadis bertubuh gemuk, “Rasanya lumayan.”
“Sayang tidak ada ikan bakar,” kata gadis bertubuh kurus, “kalau ada, pasti akan bertambah enak.”
Miripu mencicipi makanan itu. Ia menggigitnya, lalu mengunyahnya. Makanan itu cukup kenyal di lidahnya.
“Bukankah ini getah pohon?” Tanya Miripu.
“Ya, benar,” kata gadis bertubuh kurus, “itu memang dibuat dari getah pohon.”
“Mengapa kalian makan getah pohon?” Tanya Miripu, “Tidak adakah makanan lain selain getah pohon ini?”
“Orang-orang kami sudah biasa makan getah pohon itu,” terang gadis bertubuh gemuk, “hanya makanan inilah yang kami tahu. Kami biasa memakannya dengan ikan panggang.”
“Wah, bagaimana kalau kuberi makanan yang lebih enak dari ini?” tawar Miripu, “Apakah kalian mau mencobanya?”
Kedua gadis itu saling berpandangan. Kemudian keduanya mengangguk setuju.
Miripu mengambil sepotong sagu dari dalam tasnya. Ia membagi sagu itu menjadi tiga bagian. “Ini untukmu,” kata Miripu menyerahkan potongan sagu pada gadis bertubuh gemuk. “Dan ini untukmu,” kata Miripu menyerahkan potongan sagu pada gadis bertubuh gemuk.
Kedua gadis itu memandangi sagu di tangannya masing-masing. Baru pertama kali mereka melihat makanan jenis itu.
“Potongan sagu itu berasal dari pohon sagu,” terang Miripu, melihat kedua kawan barunya kebingungan.
“Bagaimana cara memakannya?” tanya gadis bertubuh gemuk.
“Apakah harus dibakar dahulu?” tanya gadis bertubuh kurus.
“Tidak perlu,” kata Miripu, “langsung makan saja.”
Miripu memakan sagu yang ada di tangannya. Melihat hal itu, kedua gadis juga memakan sagu miliknya. Mereka mengunyahnya perlahan. Baru kali ini mereka merasakan ada makanan selezat itu.
“Masih ada lagi?” tanya gadis bertubuh gemuk.
“Tenang saja, masih ada satu potong lagi untuk kita bagi bertiga,” jawab Miripu, “Apakah kalian menyukainya?”
“Yokooko! Yokooko!” seru kedua gadis itu, “Enak sekali! Enak sekali!”
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini