Dimuat dalam Ella & sepatu Kaca, Lingkar Pena Publishing House, 2006
“Lili!” suara Ibu dari balik pintu, “makan dulu, Nak. Sudah jam enam lewat. Kamu mau berangkat ke sekolah jam berapa?”
“Iya, sebentar.” Lili segera melepas jilbab kuning yang membungkus kepalanya. Membenahi jilbab-jilbab yang berserakan di atas ranjang, dan menyimpannya di sebuah kotak dari kayu yang disimpannya di bawah ranjang tidurnya. Menyambar tas punggung yang tergolek di atas meja belajar, sebelum melangkah keluar kamar.
Ayah dan Ibu sudah menunggu sejak tadi di meja makan. Mereka sudah mulai sarapan sejak beberapa menit lalu. Lili mengambil gelas berisi susu. Usai meminumnya, ia bergegas mencium telapak tangan ayah dan ibunya.
“Kamu tidak sarapan dulu, Li?”
“Masih kenyang, Bu.”
“Bik Sum! Bekal makan siang buat Lili mana?”
“Gak usah deh, Bu. Biar nanti Lili makan di kantin aja.”
Bik Sum datang bersama bekal makan siang buat Lili di tangannya. Ibu mengambil bekal itu dan menenggelamkannya ke dalam tas punggung Lili.
“Makan di kantin itu tidak terjamin kebersihannya dan belum tentu bergizi. Lebih baik bawa dari rumah. Kamu kan tidak biasa makan di luar. Nanti lambung kamu sakit.”
Lili tidak membantah. Yah... itung-itung ngirit uang jajan, batinnya.
Ayah geleng-geleng kepala melihat sikap Ibu yang memperlakukan Lili tak ubahnya anak yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak.
***
Mata Lili tak lepas memandangi Ratna yang baru dua pekan berhijab, menutupi rambutnya yang indah dengan jilbab. Banyak teman-teman di sekolah yang menyayangkan keputusan Ratna itu. Tapi Lili justru merasa iri dengan Ratna yang kalau bicara mirip orang luar negeri karena tidak bisa mengucapkan huruf R dengan sempurna. Di mata Lili, gadis berkaca mata minus itu terlihat jauh lebih cantik dan anggun setelah berjilbab.
“Elo ngeliatin siapa sih, Li?” tegur Hadi, teman sekelasnya yang berwajah keren serupa model sampul majalah, tapi bau ketek itu. Tumben-tumbenan hari ini Hadi tidak menyebarkan bau cuka dari ketiaknya yang selalu basah. Mungkin karena masih pagi? Atau dia naik taksi, jadi tidak berkeringat?
“Ratna....”
“Kenapa sama Ratna.”
“Sejak berjilbab, dia keliatan makin cantik aja....”
“Jadi, elo....”
“Iya,” potong Lili, “aku iri sama Ratna.”
“Iri?”
Lili mengangguk. “Sama Ati juga.”
“Ati yang ketua Rohis sekolah kita itu?”
“He’eh.”
“Sebabnya?”
“Aku... aku ingin pakai jilbab seperti mereka.”
Tawa Hadi meledak mendengar alasan Lili yang iri pada Ratna dan Ati.
“Kenapa ketawa?”
“Udah, ah. Aku mau ke kantin. Mau ikut, gak?” ajak Hadi.
Lili menggelengkan kepala.
“Elo gak punya duit?”
“Bukan. Aku udah dibawain bekal makan siang sama Ibu.”
“Jadi elo masih suka dibawain bekal sama ibu lo?”
“Iya. Yah, itung-itung ngirit uang jajan.”
“Hahahaha....”
“Kamu kok seneng banget ngetawain aku?”
“Habis... elo kayak anak TK, sih!”
“Ayah aku juga selalu ngomong begitu, tapi ibuku ngotot. Makan di kantin gak terjamin kebersihannya. Takut lambungku jadi sakit.”
“Dasar anak mami!”
Hadi masih tertawa saat dia meninggalkan Lili ke kantin.
***
Sepulang sekolah, Lili tidak langsung pulang ke rumah. Dia mampir dulu ke sebuah butik muslimah yang tak jauh dari lokasi sekolahnya. Beberapa hari yang lalu dia melihat jilbab warna pink motif bunga-bunga dipajang di display butik. Tapi sekarang tidak lagi. Jangan-jangan sudah ada yang beli....
Lili masuk ke dalam butik.
Barangkali masih ada yang lainnya.
Seorang pengawai butik terlihat cantik dengan jilbab biru pastel, senada dengan gamis yang dikenakannya. Wanita yang sepertinya lima tahun lebih tua dari Lili itu menghampiri Lili dengan segurat senyum menghias raut keibuannya.
“Mau cari apa, Dik?”
“Saya mau cari jilbab warna pink motif bunga-bunga. Beberapa hari lalu saya lihat jilbab itu dipajang di display.”
“Wah, sayang sekali... belum lama jilbab itu dibeli oleh seseorang.”
“Yah....”
“Mm, tapi kami punya yang lain.”
“Warna pink?”
“Warna pink.”
“Motif bunga-bunga?”
“Motif bunga-bunga. Hanya saja coraknya agak berbeda, tapi bahannya sama.”
Lili mengangguk-angguk. “Saya lihat yang itu, Mbak.”
Pegawai butik itu lalu masuk ke dalam. Tak berapa lama dia kembali dengan sebuah jilbab di tangannya., jilbab pink dengan motif bunga-bunga yang coraknya agak berbeda dengan yang dilihat Lili di display beberapa hari lalu. Pegawai butik itu menyerahkan jilbab di tangannya kepada Lili.
Wajah Lili menjadi berseri-seri.
“Memangnya jilbab itu untuk siapa?”
“Buat saya.”
Pegawai butik itu mengerutkan kening.
Lili mencoba jilbab di kepalanya. Tersenyum-senyum kagum memandangi bayangannya sendiri di dalam cermin. Pegawai butik itu ikut tersenyum-senyum.
“Bagus nggak, Mbak?”
“Bagus. Bagus sekali. Cocok!”
Lili kembali bergaya di depan cermin.
Pegawai butik itu tak lagi mampu menahan gelaknya dengan mengulum senyum. Dia tertawa! Tertawa menyaksikan segala tingkah Lili di depan cermin. Dan Lili seolah tidak peduli. Dia tampak sangat berseri-seri.
***
Malam belum seberapa larut ketika Lili beranjak meninggalkan siaran televisi, masuk ke dalam kamarnya. Dia menyeret kotak kayu dari bawah ranjang tidurnya, mengambil sebuah bungkusan dari dalamnya. Sebuah jilbab. Jilbab pink motif bunga-bunga yang dibelinya siang tadi di sebuah butik pakaian muslimah dekat sekolah.
Lili menyeret kursi belajarnya, duduk di muka cermin. Dia membentangkan jilbab pink motif bunga-bunga. Lalu mengenakan di kepalanya. Lili terlihat sangat mahir mengenakan jilbab. Di samping karena sudah terbiasa mencoba secara sembunyi-sembunyi di dalam kamarnya, Lili juga memiliki buku-buku tentang variasi penggunaan jilbab yang dia sembunyikan di antara tumpukan majalah-majalahnya.
Lili takjub. Nyaris tak mengenali dirinya. Jilbab pink motif bunga-bunga membuat wajahnya jadi terlihat berbeda. Dan Lili sangat menyukainya. Dia bahkan begitu menikmatinya. Sampai-sampai dia tidak menyadari seseorang masuk ke dalam kamarnya. Lili baru menyadarinya dari pantulan di cermin, saat orang itu berdiri di belakangnya.
“Ayah?!?”
Kening Ayah berkerut-kerut. Pandangan matanya yang tajam membuat Lili tersudut. Lelaki empat puluh tahunan itu berdiri dengan kedua tangan berkacak pada pinggangnya.
“Sedang apa kamu?!” bentak Ayah dengan suara beratnya.
Lili tertunduk.
“Lepas jilbab kamu!”
“Tapi, Yah....”
“Kamu jangan macam-macam!”
“Tapi Lili suka.”
“Nggak usah bertingkah yang aneh-aneh!”
“Masa pakai jilbab aja aneh?”
“Ya, aneh. Coba lihat tampang kamu di cermin!”
Lili memandangi wajahnya di cermin. Tersenyum.
“Rasanya gak ada yang aneh, Yah... malah jadi kelihatan manis.”
Mendengar jawaban Lili, Ayah jadi kehilangan kesabaran. Dia menarik jilbab yang Lili kenakan.
“Jangan, Yah!” Lili berusaha mempertahankan diri.
Mendengar ribut-ribut, Ibu yang sedang menyaksikan siaran televisi, berlari ke kamar Lili. Sesaat dia tampak terkejut melihat penampilan Lili dengan jilbab di kepalanya. Tapi melihat pergumulan antara Lili dengan Ayah....
“Ayah!” Ibu berteriak.
Ayah tidak mendengarkan teriakan Ibu. Dia terus menarik jilbab yang dikenakan Lili. Lili masih terus bertahan, tak membiarkan Ayah melepas jilbab dari kepalanya.
“Ayah, sudah! Jangan kasar begitu!” Lagi, Ibu berteriak. Lebih keras.
Kali ini Ayah melepaskan tangannya dari kepala Lili. Lili merapikan jilbabnya yang miring ke sana ke mari.
“Lihat akibatnya kalau Ibu terlalu memanjakan Lili.”
“Lho, kok jadi Ibu yang disalahkan?”
“Ya, memang salah Ibu. Habis, setiap kali Ayah bersikap tegas sedikit pada Lili, Ibu langsung membela. Mau jadi apa nantinya anak kita? Lihat saja, sekarang tingkahnya sudah makin aneh saja!”
Ibu melihat Lili yang sibuk merapikan jilbab di kepalanya. Melihat tingkah Lili, Ibu malah tertawa-tawa.
“Kamu jadi kelihatan cantik pakai jilbab itu, Li,” puji Ibu sambil tertawa-tawa.
“Ibu kok malah tertawa-tawa? Apanya yang lucu? Bukannya prihatin melihat kelakuan Lili!”
“Ah, Ayah aja yang norak ya, Bu,” Lili menoleh ke arah ibunya. “Masa pakai jilbab aja dibilang aneh?”
Ibu tak berhenti tertawa.
“Tidak aneh, gimana,” sambar Ayah, “jilbab itu untuk anak perempuan!”
Lili hanya bisa tertunduk mendengar ucapan Ayah. Tapi belum mau melepas jilbabnya.
Rumah Cahaya, 06-07 Mei 2005
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini