Jilbab Tami

Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Majalah Muslimah Edisi 41 tahun 6 syawal 1426 Desember 2005 dan kumcer Ella dan Sepatu Kaca, Lingkar Pena Publishing ouse, 2006

Kantin Sekolah – Pagi menjelang siang (jam istirahat)

“Din, Din!”

“Emangnya aku klakson?!”

“Duh, gitu aja…”

“Apaan, sih? Gangguin kenikmatan orang lagi makan aja!”

“Liat deh, liat deh!”

“Mana?”

“Itu tuh, si Fadil ketua rohis sekolah kita lagi sama anak kelas satu yang baru masuk.”

“Fifi?”

“What ever lah!”

“Ada apa sama mereka?”

“Mesra amat, seh!”

“Yee… bolehnya cembokur.”

“Ih, siapa yang cemburu? Heran aja. N’tu anak biasanya kan dingin banget sama cewek…”

“Kulkas kali…”

“Eh, Din, Din…”

“Uh, Tami… kalo manggil nama aku sekali aja, dong! Gak usah diulang-ulang. Jadi kayak klakson kendaraan tau!”

“I-iya, deh…”

“Kenapa lagi?”

“Apa cewek kelas satu itu nggak risih duduk berduaan sama cowok? Mana rapeeet banget. Padahal dia kan…”

“Pake jilbab?”

“Iya. Harusnya dia malu dong sama jilbabnya! Masa’ akh… akh… apa namanya, Din?”

“Akhwat.”

“Iya. Akhwat. Masa’ kelakuannya gawat gitu. Mana di tempat umum lagi… apa dia gak malu diliatin sama anak-anak lain?”

“Tapi, Tam…”

“Ih, mending lepas aja jilbabnya!”

“Lho, kok?”

“Buat apa pakai jilbab kalo kelakuannya gak isalami gitu?!”

“Tapi si Fifi…”

“Ah, siapa pun namanya, ketika seorang wanita telah memutuskan berjilbab, seharusnya dia bisa menyesuaikan kelakuan dengan pakaian yang dikenakannya. Tapi anak kelas satu itu…”

“Fifi.”

“Iya, iya… Fifi. Kamu sendiri sebagai seorang akh… akh…”

“Akhwat.”

“Iya. Itu. Apa kamu nggak risih melihat mereka dua-duaan gitu? Aku aja yang belum pake jilbab gak gitu-gitu amat kalo sama cowok…”

“Hahaha… kamu pasti cemburu sama Fifi, kan?”

“Idiiiih… siapa yang cemburu?!”

“Gak cemburu tapi mukanya merah…”

“Masak sih, Din?”

“Liat aja sendiri di kaca!”

***

Ruang Kelas 2 IPA 2 – 15 menit sebelum bel masuk berbunyi.

“Din, Din!”

“Tamiiiiii…!”

“I… I-iya… s-sori…. Abis udah kebiasaan sih, Din.”

“Kali ini apa lagi? Cepetan kalo mau cerita. Aku lagi sibuk ngerjain PR kimia!”

“Masih soal si Fadil sama anak kelas satu itu.”

“Kenapa lagi Fadil sama Fifi?”

“Kemarin aku lihat mereka jalan berdua di mal!”

“Terus kenapa?”

“Mereka benar-benar udah jadian, ya?”

“Jadian?”

“Iya. Pacaran!”

“Tami, mereka itu…”

“Pacaran, kan? Uh, sebel banget deh ngliat mereka jalan berduaan…”

“Hayo! Kamu naksir kan sama ketua rohis sekolah kita itu?”

“Naksir? Aku? Sama Fadil?”

“Iya. Kalo gak naksir, kenapa harus sebel melihat mereka jalan beduaan?”

“Oh, eh, i… i-itu…”

“Ngaku aja, deh! Naksir juga nggak apa-apa.”

“Ngg… anu… hehe… iya sih, Din…”

“Huh, ngomong gitu aja kok susah amat…”

“Hehehe…”

“Udah ah, lagi sibuk, nih. Masih banyak soal yang belum aku kerjakan.”

“Eh, Din… terus gimana, dong?”

“Gimana apanya?”

“Gimana caranya supaya Fadil suka sama aku?”

“Lho, bukannya selama ini Fadil emang suka sama kamu?”

“Masa sih, Din? Kamu tau dari mana?”

“Yang aku liat begitu, Tam. Fadil itu suka sama kamu.”

“Yang bener, Din?”

“Iya. Suka… nyuekin kamu! Huahaha…”

“Diniiiiiiii…!”

“Adawww! Kok ngejitak?!”

“Biarin!”

“Uugghh…!”

“Aduh! Kok nyubit sih?! Sakit tau!”

“Sukurin!”

“Huahaha…”

***

Teras Depan Rumah Dini – Pagi hari

“Tami..???”

“Ih, ngeliatinnya biasa aja, dong. Gak usah napsu gitu.”

“K-kamu…”

“Kenapa? Aku jadi kelihatan aneh ya, Din?”

“Banget!”

“Masa sih, Din? Aku nggak pantes pakai jilbab, ya?”

“Ya, pantas-pantas aja, sih…”

“Terus, di mana letak anehnya?”

“Kamu kok tiba-tiba make jilbab, Tam?”

“Emangnya nggak boleh?”

“Bukannya gak boleh. Cuma heran aja. Jangan-jangan…”

“Hihihi…”

“Fadil?”

“He’eh…”

“Jadi karena Fadil?!”

“Iya.”

“Tami, Tami…”

“Usaha kan boleh, Din. Siapa tau aja, setelah aku pakai jilbab, Fadil jadi suka sama aku…”

“Kamu naif banget, sih!”

“Idih… siapa yang suka Naif? Aku sukanya sama Sheila On 7!”

“Maksud aku tuh…”

“Iya, iya, aku ngarti maksud kamu. Kenapa sih, kamu sepertinya gak mendukung aku pakai jilbab gitu?”

“Masalahnya, niat kamu pake jilbab itu gak bener, Tam!”

“Gak benar gimana?”

“Ya… gak bener! Alias… salah! Masa pakai jilbab karena cowok, sih? Lagipula, apa kamu yakin kalo Fadil bakalan naksir kamu setelah kamu pakai jilbab?”

“Ya…”

“Belum tentu, kan?”

“Tapi, buktinya si Fadil suka sama Fifi… padahal, sebelumnya dia nggak pernah suka sama cewek manapun.”

“Darimana kamu tau kalo Fadil gak pernah suka sama cewek manapun?”

“Aku gak pernah ngeliat dia jalan sama cewek kecuali sama si Fifi.”

“Itu karena si Fifi…”

“Pakai jilbab, kan? Makanya si Fadil suka sama dia. Fadil suka sama cewek berjilbab!”

“Tau, ah!”

“Kok…?”

“Udah yuk, kita berangkat. Ntar terlambat!”

***

Ruang Kamar Tami – Malam hari.

“Uh, sebel deh! Kenapa ya, Fadil belum juga menaruh perhatian ke aku? Padahal, aku kan udah pakai jilbab seperti si Fifi? Heran. Kenapa Fadil suka sekali sama anak itu? Emang sih, Fifi itu anaknya imut. Manis.Tampangnya gak bosen dipandangin. Kalem. Dan dengar-dengar otaknya juga encer.Tapi, dari semua kelebihannya yang aku sebutin barusan, rasanya gak satu pun yang nggak aku miliki…”

“Hmmm…”

“Kok cuma hmmm? Emang menurut kamu aku gak seimut, semanis, sekalem, dan sepintar Fifi ya, Din?”

“Hmmm…”

“Din, jawab, dong!”

“Iya, iya… kamu seimut, semanis, sekalem, dan sepintar Fifi!”

“Kamu kok ngomongnya kayak gak ikhlas gitu, sih?”

“Terus mau kamu apa?”

“Fadil! Kenapa ya, dia lebih milih Fifi daripada aku?”

“Jelas aja Fadil lebih milih Fifi daripada kamu. Fifi itu, kan…”

“Pakai jilbab? Aku juga udah pakai jilbab! Yah, mungkin pengetahuan agamaku belum sebaik Fifi apalagi kamu… tapi, kelakuan aku jelas lebih baik dari Fifi yang meski berjilbab dan mungkin pintar agamanya, tapi masih suka jalan mesra-mesraan sama cowok!”

“Sama Fadil!”

“Iya, sama Fadil.”

“Cuma sama Fadil, kan?”

“Iya, cuma sama Fadil.”

“Sama yang lain gak pernah, kan?”

“Ehm…”

“Gak pernah, kan?”

“Iya, gak pernah! Tapi apa bedanya?”

“Jelas beda.”

“Maksud kamu, Fadil itu bukan cowok sejati ya, Din?”

“Bukan cowok sejati gimana?”

“Gay.”

“HAH? Siapa yang bilang?!”

“Tadi kamu bilang, Fadil beda sama cowok-cowok lain…”

“Bukan itu maksudku.”

“Maksud kamu gimana, sih?”

“Duuuuhhhh… susah ya ngomong sama kamu! Udah ah, aku ngantuk!”

“Yah, jangan tidur dulu dong, Din!”

“Aku ngantuk!”

“Tapi kamu belum jelasin bedanya Fadil sama cowok-cowok yang lain…”

“Bodo, ah!”

“Din!”

“Bodo!”

“Din, Din!”

“Bodo, bodo!”

“Din, Din, Din!”

“Bodo, bodo, bodoooooo…!”

“Ups… mati lampu…”

“Bodo!”

***

Teras Depan Rumah Dini – Siang mejelang sore.

“Gawat, Din! Gawat, Din!”

“Apanya yang gawat?”

“Aku lihat Fadil boncengin Fifi pakai motor!”

“Emangnya Fadil punya?”

“Punya apa?”

“Motor!”

“Minjem punya temannya kali…”

“Mereka kecelakaan?!”

“Nggak. Mereka baik-baik aja.”

“Terus, di mana letak gawatnya?”

“Si Fifi duduknya rapeeeetttt banget. Pake meluk pinggangnya Fadil segala!”

“Biarin aja!”

“Lho?”

“Lho kenapa?”

“Kamu aja nggak pernah mau diboncengin sama si Veejay. Padahal si Veejay itu kan keren banget, Din.”

“Keren apaan? Bau ketek begitu!”

“Jadi, kalo Veejay nggak bau ketek, kamu mau diboncengin sama dia?”

“Ya, jelas nggak, dong!”

“Tapi si Fifi yang pake jilbab itu mau diboncengin!”

“Dibonceng sama Veejay?!”

“Sama Fadil!”

“Ya, beda, dong.”

“Beda gimana, sih?”

“Fadil kan…”

“Gak bau ketek?”

“Jangan potong dulu omongan aku!”

“Aduh! Kamu kok ngejitak kepala aku?!”

“Habis… kebiasaan! Nggak sopan tau!”

“I-ya, deh… tadi kamu mau ngomong apaan, Din?”

“Fifi itu mahram-nya si Fadil!”

“Mahram apaan sih, Din?”

“Wanita yang nggak boleh dinikahi sama si Fadil!”

“Jadi mereka nggak boleh nikah ya, Din?”

“Jelas nggak boleh. Mereka kan saudara kandung!”

“HAH…?!?”

“Iya!”

“Jadi… bukannya karena Fadil suka sama cewek yang pake jilbab?”

“Wah, kalo itu mana aku tau…”

“Uh, udah dibela-belain pake jilbab sampe kepala aku rasanya gatel banget, lagi…”

“Ada kutunya kali?”

“Enak aja!”

“Terus, kamu mau lepas jlbab kamu?”

“Yah, ehm… gimana ya…”

“Kamu gak malu lepas jilbab? Bla bla bla… Sok selebritis banget sih! Bla bla bla… Jilbab itu bukan buat main-mainan! Bla bla bla… Kalo sampe kamu lepas jilbab kita nggak temenan lagi! Bla bla bla… bla bla bla… bla bla bla… dan bla bla bla…”

“Iya, iya…”

“Iya, iya, apa?”

“Aku gak lepas jilbabku.”

“Nah, gitu dong!”

“Tapi… aku masih boleh ngecengin Fadil kan, Din?”

“TAAAMMMMMIIIII…!!!!”

“Ups!”***

Depok, April 2005


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini