10 Fakta Masa Kecil Sapardi Djoko Damono



Kalau kamu penyuka puisi, agaknya keterlaluan sekali kalau tidak pernah dengar nama Sapardi Djoko Damono. Penyair yang lahir 20 Maret 1940 itu sangat terkenal. Puisinya “Aku Ingin” sering dikutip untuk undangan pernikahan, Pernah juga, puisi itu disangka karya Khalil Gibran. Kami mengumpulkan beberapa fakta tentang masa kecil Sapardi. Selamat membaca!

Hidup Sengsara di Zaman Jepang dan Kemerdekaan


Pada zaman Jepang, kehidupan keluarga Sapardi Djoko Damono sangat kekurangan. Setelah masa kemerdekaan, kehidupan keluarganya tidak juga membaik. Saking susahnya, Sapardi kecil harus makan bubur setiap hari 2 kali: pagi dan sore. Ibunya, Sapariah, sampai harus menjual buku-buku untuk membeli minyak tanah. Ayahnya?

Ayahnya Mengungsi ke Luar Kota untuk Menghindari Penangkapan Belanda


Belanda sempat masuk lagi ke Indonesia pada zaman kemerdekaan. Pada saat itu, Belanda jadi gila gara-gara ulah gerilyawan yang bergerak pada malam hari untuk memasang bom dan membakar rumah orang-orang yang pro-Belanda. Setiap laki-laki pasti diciduk Belanda karena dicurigai sebagai tentara gerilya. Untuk menghindari penangkapan Belanda itu, Sadyoko, ayah Sapardi, mengungsi keluar kota.

Menikmati Perang dalam Ketakutan


Anak-anak kalau lihat pesawat terbang pasti girang. Tidak terkecuali dengan Sapardi. Pada masa kecilnya, Sapardi sering melihat pesawat-pesawat terbang menjatuhkan bom sehingga rumah-rumah terbakar. Di satu sisi ia senang menyaksikan pesawat-pesawat itu, di sisi lain tentu saja ia ketakutan.

Lahir di Rumah Kakek dari Ayahnya yang Pandai Membuat Wayang


Sapardi lahir di rumah kakeknya, di kampung Baturono, tidak jauh dari Alun-alun Selatan kota Solo. Kakeknya seorang abdi dalem Kraton Kasunanan yang pandai membuat wayang. Ia pernah mendapatkan seperangkat wayang kulit buatan kakeknya itu. Jangan heran kalau sedikit-sedikit, sapardi bisa memainkan wayang kulit. Saat usianya 3 tahun, ayah dan ibunya menyewa rumah di kampung Dhawung, Sapardi pindah ke sana.

Ibunya Hampir jadi Korban Perekrutan Pasukan Jepang


Saat masa penjajahan Jepang, tentara Jepang melakukan perekrutan besar-besaran. Tidak terkecuali perempuan. Mereka mengumpulkan perempuan-perempuan untuk dijadikan prajurit. Untungnya, saat perekrutan itu terjadi, ibunya, Sapariah, lagi hamil anak keduanya. Karena lagi hamil, tentara Jepang tidak jadi membawanya.

Tinggal di Rumah Kakek dari Pihak Ibu


Tahun 1945, Sapardi pindah ke rumah kakeknya dari pihak Ibu. Rumah kakeknya itu sangat luas, tapi banyak keluarganya yang juga tinggal di sana. Namun, tanpa sepengetahuan anak-anaknya, kakeknya itu menggadaikan rumahnya. Ia tak sanggup membayar hingga meninggal dunia. Akhirnya, rumah itu dilelang. Hasilnya dibagi tiga, untuk ibunya, Sapariah, dan kedua paman Sapardi. Mereka pindah ke kampung Komplang, sebelah utara Solo.

Belajar Gamelan dan Tari Jawa di Sekolah Rakyat Kasatrian


Sapardi menempuh pendidikanya di sekolah rakyat untuk kalangan kraton. Sekolah khusus anak lelaki itu disebut Kesatrian, sementara untuk perempuan disebut Parmadi Putri. Bedanya dengan sekolah rakyat lainnya, di Kasatrian Sapardi dilatih menabuh gamelan dan menari Jawa.

Keluyuran di Sekolah Minggu


Waktu kecil, Sapardi suka keluyuran. Salah satu bentuk keluyurannya, ia suka ikut Sekolah Minggu. John Glynn, kritikus dari Australia mengira Sapardi pernah belajar di sekolah dasar Katolik, meski dia seorang anak Muslim. Padahal, saat SD, ia sekolah di Kasatrian.

Ceritanya Ditolak Majalah Anak Berbahasa Jawa, Taman Putra


Waktu SMP, Sapardi pernah mengirimkan ceritanya ke majalah berbahasa Jawa, Taman Putra, suplemen majalah Penyebar Semangat. Namun, karyanya ditolak oleh redakturnya, Subagio Imam Notodidjojo (SIN). Alasannya, cerita Sapardi dianggap tidak masuk akal. Dalam ceritanya itu, Sapardi menulis tentang ibunya yang melepas ia dan adiknya saat dijemput ayahnya untuk tinggal beberapa hari di rumah ibu tiri mereka. Menurut Pak SIN, cerita itu tidak masuk akal. Padahal, Sapardi menuliskan cerita itu sebagaimana peristiwa sebenarnya, tanpa melebih-lebihkan sedikit pun. Sapardi kemudian berpikir, “barangkali dunia nyata boleh tidak masuk akal, tetapi dunia rekaan harus masuk akal.

Memandang Langit di Pelataran Luas Milik Neneknya


Sehabis main galasin dengan teman-temannya, Sapardi duduk di pelataran rumah neneknya yang luas. Saat itu, ia menengadah dan bertanya dalam hati, apa gerangan yang ada di luar langit, dan apa yang berada di luar-luar langit.

Begitulah kisah masa kecil Sapardi yang kami himpun dari buku Sapardi Djoko Damono: karya dan Dunianya (Grasindo, 2007) karangan Bakdi Soemanto. Kamu masih merasa kurang? Tenang saja, masih ada beberapa kisah dalam buku itu yang kami simpan untuk lain tulisan. Tunggu saja tanggal mainnya.







Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

2 ulasan:

  1. https://ingsunwokas.blogspot.co.id/

    ingin tumbuh dan berkembang, semoga dapat mengikuti jejaknya. dahsyaat.

    BalasPadam
  2. Informatif...

    BalasPadam

Tinggalkan jejak sobat di sini