Diterbitkan oleh Aditera, 2011
Argi menemukan sekuntum bunga mawar merah terkapar di meja
beranda depan rumahnya, ketika dia baru saja pulang dari sekolah. Mata lentik
gadis itu berkeliling, mencari-cari sosok yang bisa ditudingnya meletakkan
bunga mawar itu. Tapi tak sesosok manusia pun yang terangkap oleh mata Argi.
Argi segera menghubungi Dini.
“Mawar lagi?”
“Iya.”
“Jangan-jangan si Bayu, lagi?” duga Dini, “setelah gagal
dapetin Fifi, terus dia ngejar-ngejar elo!”
“Ah, asal banget lo! Mana mungkin Bayu. Tau rumah gue aja
kagak!”
“Segala kemungkinan bisa aja terjadi.”
“Tapi untuk yang satu itu mustahil terjadi.”
“Lo punya tertuduh?”
“Belum.”
“Dava gimana?”
“Emangnya dia tau rumah gue?”
“Kali aja...”
“Kokok petok… kokok petok…” suara
Delon, ayam piaraannya Argi.
“Sebentar ya, Din. Tar gue telepon
lagi deh.”
“Kenapa?”
“Si Delon jejeritan di depan.”
“Ayam lo?”
“Iya. Pasti kerjaannya tukang
majalah langganan gue. Kalo nganterin majalah suka asal ngelempar aja.
Paling-paling kepalanya Delon jadi sasaran lempar majalahnya!”
Argi beranjak ke teras depan rumah.
Benar saja dugaannya. Sebuah majalah berbaring manis di atas rumput gajah
halaman rumahnya. Tapi Delon gak kelihatan. Ke
mana tuh ayam jago? Gak berapa lama mata Argi menemukan Delon sedang
nangkring di atas pagar pembatas rumahnya dengan rumah tetangga sebelah,
bersama Joy, ayam betina piaraan tetangga sebelah rumah.
Argi kembali ke ruang tengah.
Mengangkat gagang telepon, kembali menghubungi Dini. Tapi, belum sampai
terdengar nada sambung, Argi kembali meletakkan gagang teleponnya. Dia tertarik
dengan rubrik zodiac di majalah Komo Girl
Begini bunyi ramalan bintangnya minggu ini:
GEMINI 22 Mei – 21 Jun
Cinta :
Bayangan itu semakin nampak jelas. Seorang
pangeran tampan
dengan kuda putih datang
membawakanmu seikat
bunga tanda cinta
Kehidupan : Sebuah episode
bahagia dalam kehidapanmu siap
menanti di depan
Surprise : Bersiaplah
untuk sebuah peristiwa manis yang
takkan pernah kamu lupakan seumur
hidupmu.
Angka keberuntungan: 8
Warna keberuntungan: Hijau
Pengeran putih membawakan seikat bunga? Bisiknya dalam
hati. Angannya segera melambung tinggi. Namun, belum lagi dia mendapati sosok
pangerannya dalam alam imaji, telepon berdering. Argi segera mengangkat gagang
telepon.
“Katanya mau telepon lagi?!” gugat Dini.
“Hehe… sori, Din. Gue lagi baca ramalan bintang di majalah Komo Girl”
“Bacain dong!” pinta Dini, “Gue belom beli majalahnya.”
Argi membacakan ramalan bintang
sesuai dengan yang tertuang di majalah Komo
Girl
“Kayaknya cocok banget deh sama
elo!”
“Cocok gimana?”
“Elo kan baru aja dapet bunga mawar
dari seseorang.”
“Tapi cuma sekuntum, gak ada
seikat!”
“Yah, ramalan kan gak musti sama
persis.”
“Pengeran dengan
kuda putih? Hmm… hari gini mana ada cowok yang naek kuda?”
“Kali aja maksudnya tunggangan yang seperti kuda!”
“Tunggangan apa yang seperti kuda? Komidi puter?”
“Bodoh amat sih lo!” Dini keki, “Bisa aja kan motor!”
“Motor? Hmm… berarti…”
“Yang pasti bukan Dava! Dia kan bawa mobil!”
“Eh, menurut ramalan, apa warna keberuntungan lo?”
“Hijau.”
“Hijau?!”
“Iya. Hijau!” ulang Argi, “tapi biasa aja dong ngomongnya,
gak usaha pake tereak-tereak! Budeg nih telinga gue!”
“Ah, cocok! Cocok!”
“Apanya yang cocok?”
“Bagas!”
“Bagas?”
“Motor warna hijau!”
“Pasti dia pangeran tampan yang dimaksud dalam ramalan
itu!”
“Berarti dia yang meletakkan bunga mawar di meja beranda
depan rumah gue…”
Arga masuk ke ruang tengah, melempar tasnya ke atas lantai,
sebelum mendaratkan tubuhnya di sofa. Mengambil remot DVD. Menyetel musik
keras-keras.
“Arga, bisa kecilin gak suaranya?”
“Hah?” Arga belaga budeg.
“Arga!!!”
“Hehehe…”
Bik Sumi muncul ke ruang tengah membawakan segelas minuman
dingin pesanan Argi. Arga langsung menyambar gelas minuman itu, menandaskan
isinya ke dalam kerongkongannya yang dahaga. Bersendawa.
“Makasih ya, Bik!”
Bik Sumi hanya bisa melongo. Untungnya Argi lagi sibuk
teleponan sama Dini, kalo kagak… pasti jidatnya Arga bakalan benjol karena udah
seenaknya menyikan minuman miliknya. Terpaksa Bik Sumi membuatkan minuman lagi
buat Argi.
Arga membaca halaman majalah milik Argi yang tebuka.
Ramalan bintang. Kening Arga mengerut.
“Lo percaya banget sih sama beginian!” Arga membentangkan
halaman majalah itu di muka Argi.
“Biarin aja!”
“Musyrik tau!”
“Elo tuh syirik!”
“Yee… dibilanginnya.”
“Bodo ah! Gue lagi sibuk nih! Males berdebat! Nyingkir gih
sono!”
“Ramalan beginian elo percaya!”
Argi cuek saja. Tidak menggubris ucapan Arga. Membuang
muka, membelakangi Arga. Asyik ngobrol dengan Dini di telepon. Arga jadi keki
diantepin begitu.
“Gi…”
“Ehm…”
“Argi!”
“Apaan sih?!” Argi geram dia menolehkan kepalanya bersamaan
dengan…
DUUUTTTT…!!!
“Arga kurang ajar!!! Kentut lo bau bangke!!!”
“Huahahaha…” Arga segera melarikan diri.
***
Lagi. Sebuah mawar merah. Semakin
sering saja Argi menemukan mawar merah terkapar di meja beranda depan rumahnya.
Entah siapa yang memberi. Adakah hubungannya degan puisi-puisi cinta yang
dikirim oleh Lelaki Terindah selama ini?
Argi baru menyadari, sudah cukup
lama juga dia gak menerima pesan-pesan cinta dari cowok misterius yang mengaku
sebagai Lelaki Terindah itu. Adakah mawar-mawar itu sebagai penggantinya? Atau…
Argi baru saja hendak melangkahkan
kaki keluar pagar rumahnya, ketika Bagas menuntun motornya keluar dari rumahnya.
“Berangkat sekolah, Gi?” sapa Bagas,
membuat dada Argi berdebar-debar.
“I-iya…”
“Bareng, yuk!” ajak Bagas.
Well…
inikah pangeran dengan kuda putih yang datang memberikan seikat bunga
kepadanya? Setelah harapannya akan Dava kandas, Argi memang menyandarkan
harapan seutuhnya pada cowok bertampang italiano itu.
Bagas gak perlu memintanya dua kali,
Argi langsung nemplok di boncengan Kawasaki
Tinja-nya Bagas. Bagas memainkan gas. Melapas kopling. Motor melaju
menyusur aspal jalanan.
“Gi, tar malam elo ada acara gak?”
tanya Bagas, di depan gerbang sekolah Argi.
“Nggak. Kenapa?”
“Gue mau ngajak elo keluar.”
“Ke mana?”
“Ke mana aja,” kata Bagas, “Ada yang
perlu banget gue bicarain sama elo.”
Deg! Dada Argi seolah berhenti
berdetak.
“Bisa kan, Gi?”
Argi mengangguk. Bagas tersenyum,
sebelum melaju meninggalkan Argi dengan desir-desir syahdu di dadanya.
“Cie…” goda Fifi yang sejak tadi
memperhatikan Argi dengan Bagas.
“Pokoknya, elo harus cerita dari A
sampe Z!” todong Dini.
“Cerita apa?” Argi pura-pura nggak
tau.
“Ala… nggak pake kura-kura dalam
perahu!”
“Ngapain tuh kura-kura dalam
perahu?” tanya Fifi, “Emangnya dia udah lupa cara berenang apa, sampe perlu
naik ke dalam perahu?”
“Fifi! Plis deh… itu pribahasa!”
Dini sewot.
***
Jam istirahat sekolah.
“Jadi udah yakin nih kalo si Bagas
pangeran dengan kuda putih seperti yang ada di ramalan bintang lo?” Dini
menyeruput teh manis dari gelas Fifi.
“Belom…” Argi menyendok somai dari
piring Fifi.
“Belom gimana? Udah jelas-jelas si
Bagas ngajakin elo keluar nanti malam?” Dini menyendok siomai dari piring Fifi.
“Tapi gue gak punya bukti apa-apa
kalo dia yang selama ini ngirimin gue pesan-pesan cinta dan meletakan
bunga-bunga mawar di meja beranda.” Argi menyeruput teh manis dari gelas Fifi.
“Tapi ramalan bintang itu?” Semuanya
mengarah ke Bagas kan?”
Argi mengangkat bahu. “Belom bisa dipastikan.”
Argi mengangkat bahu. “Belom bisa dipastikan.”
“Lalu Dava gimana?” Dini menyuap
somai dari piring Fifi ke mulutnya.
“Lebih gak jelas lagi.” Argi meneguk
teh manis yang tinggal setengah dari gelas Fifi.
“Sempat kepikir gak, kalo ternyata
Lelaki Terindah sama sekali gak ada hubungannya dengan bunga-bunga mawar itu.”
“Maksudnya?”
“Mereka orang yang berbeda.”
“Lalu kenapa akhir-akhir ini Lelaki
Terindah gak pernah ngirimin pesan-pesan cinta ke Hp atau e-mail gue lagi?”
“Hmm… tapi, Gi,” kata Dini sambil
mengunyah somai yang dia comot dari piring Fifi, “kalo disruruh milih, elo
milih Dava atau Bagas?”
“Ehm…” Argi meyeruput teh manis dari
gelas Fifi, “Dua-duanya!”
“Rakus lo!”
“Biarin!”
“Yah!” Fifi yang baru kembali dari
kamar kecil terkejut saat mendapati piring dan gelasnya sudah nggak
berpenghuni, alias kosong! “Somai sama teh manis Fifi kok abis?!?!”
Ups…
Argi dan Dini saling berpandangan.
Ringtone
Hp Argi mengudara, tanda ada SMS masuk ke inboxnya.
Sori br bs sms lg. hp aq
hlg. Utg aq
prnh ctt no kmu tlpku.Tar
mlm ad acra ga?
Qt OL yu.Aq mo ngomong
bnyk sm kmu;-)
Sender: Lelaki Terindah +62815693142
Sent: 18 Jun 2005 10:25:04
Mata
Argi berbinar. “Liat, Din! Liat, Din!” Argi menunjukan SMS yang baru dia terima
kepada Dini. Din membaca SMS yang dikirim oleh Lelaki Terindah ke ponsel Argi.
“Wah,
ini kesempatan bagus buat elo!” seru Dini, “Lo bisa ngobrol-ngobrol banyak sama
dia!”
“Tapi,
Din…” Argi murung, “Nanti malam gue ada janji sama Bagas?”
“Oh
iya!” ini menepuk jidatnya.
“Gimana
dong?”
Dini
angkat bahu.
Fifi
duduk menghadap sepiring somai dan teh manis yang baru dipesannya lagi. Tapi
belum sempat dia menikmati, bel tanda usai jam istirahat berbunyi.
“Yah!
Fifi apes banget hari ini!” cewek mungil itu ngedumel.
***
“Mau ya, Ga?” bujuk Argi.
“Gue males ah!”
“Yah, Arga… plis?” mohon Argi dengan
wajah memelas.
“Emang elo mau ke mana sih?”
“Mau jalan sama Bagas.”
“Ya udah, chattingnya ditunda aja!”
“Gak bisa gitu, Ga! Ini penting
banget. Ini satu-satunya kesempatan buat gue mencari jawaban, siapa
sesungguhnya Lelaki Terindah itu!”
“Kalo gitu batalin aja janji pergi
sama Bagasnya!”
“Yang ini juga gak kalah penting,
Ga!”
“Tapi gue lagi males banget, Gi!”
“Berapa sih harga males lo?”
“Nah, gue demen nih!”
“Dasar matre lo!”
“Hehehe…”
“Cepetan sebutin jumlahnya!”
“Seperti biasa, traktir gue makan di
kantin selama satu bulan penuh!”
“Dua minggu!”
“Kali ini gak ada tawar-menawar!”
“Ini namanya pemerasan!”
“Gak mau juga gak papa. Gue gak rugi kok.”
Argi berpikir keras.
Tin…
tin… tin…
Suara klakson motor Bagas sudah
memanggil-manggil.
“Iya, deh. Gue setuju!” kata Argi
akhirnya.
“Password
e-mail lo?”
Argi membisikan pasword e-mailnya di
telinga Arga.
“Uangnya?”
“Nih.” Argi memberikan sejumlah uang
untuk connect internet di warnet pada
Arga, “Ingat ya, semua yang elo obrolin harus diprint dan kasih ke gue printoutnya!”
“Oke bos!”
“Jangan lupa, kalo di situ elo
berperan sebagai gue!”
“Ada lagi?”
Tin…
tin… tin… Bagas mulai nggak sabar menunggu.
“Pokoknya elo cari cara supaya dia
mau membuka identitas dia yang sesungguhnya!”
“Beres!”
Tin…
tin… tin…
“Cabut dulu ya!”
“Gidah!”
***
Suasana temaram kafe membuat suasan jadi begitu romantis.
Bagas dan Argi memilih meja di pojok ruang dekat jendela, agar bisa memandang
suasana diluar kafe, yang semarak olah lampu-lampu jalanan.
Malam itu, Argi benar-benar bahagia.
Ramalan bintang di majalah seolah menjelma nyata. Dia duduk berdua di sebuah
kafe yang suasananya sangat romantis, bersama pangeran dengan motor hijau. Tapi… seikat bunganya mana ya? Kayaknya
Bagas nggak bawa deh… atau dia sudah mempersiapkan sebuah kejutan?
Argi mengambil orange squash, mencicipnya sedikit sekedar menghilangkan grogi,
lalu meletakkannya kembali di atas meja.
“Sebenarnya, apa sih yang mau elo omongin sama gue, Gas?”
“Ah, gue jadi malu nih, Gi…”
Ah, dada Argi semakin degdeg ser.
Belum pernah dia segerogi ini sebelumnya. Bahkan waktu makan berdua dengan
Dava, dia cuek saja, apa adanya. Tapi malam ini… mungkin suasan kafe yang
sangat romantis punya andil besar membuat cewek seperti Argi yang biasa
ceplas-ceplos jadi gemeteran gak karuan seperti sekarang ini.
“Sebetulnya, sejak pertama gue liat,
gue udah ngerasa gimanaaa gitu!”
“Gimana apanya?”
“Yah, ada sesuatu yang seperti
mengalir syahdu di dalam dada gue! Mata, alis, hidung, bibir, dagu, pokoknya… semuanya
deh! Semuanya bikin gue jadi kebayang-bayang siang dan malam!”
Gue
juga, Gas! Ucapnya hanya dalam hati saja.
“Elo mau nggak Gi…” Bagas menggantung
ucapannya.
Tanpa sadar Argi mengangguk-anggukan
kepalanya. Bagas melihat anggukan Argi itu.
“Beneran elo mau, Gi?”
“Eh, apa? Elo kan belom bilang
apa-apa…” Argi jadi tambah gugup.
“Elo… elo…” Bagas rada gugup, “Aduh,
gue kok jadi gak enak gini ngomongnya.”
“Ngomong aja lagi, Gas. Kenapa mesti
gak enak?”
“Ehm… elo… mau gak comblangin gue
sama Dini?”
“A-apa? S-sama siapa?”
“Itu loh, yang sering maen ke rumah
elo. Yang kulitnya hitam manis. Yang… eh, betul kan namanya Dini? Kata Arga
namanya Dini.”
Argi tak mampu berucap sepatah kata
pun. Bibirnya bergetar. Dadanya berguncang . Kaldera hatinya bergolak.
“E-elo nggak serius kan, Gas?” tanya
Dini. Dengan bibir bergetar.
“Gue serius, Gi! Gue jatuh hati banget
sama yang namanya Dini.”
“Terus, mawar merah yang selama ini
elo kasih ke gue?”
“Mawar merah?” Bagas kebingungan,
“Mawar merah apa? G-gue gak pernah…”
Argi sudah tak tahan lagi. Dia
berlari meninggalkan kafe dengan perasaan terluka.
“Argi!”
Ringtone
Hp Argi mengudara. Nama Dini muncul di monitor Hp-nya. Argi menonaktifkan Hp-nya.
***
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini