Lukisan

Oleh Donald Ducky



Tiga hari sudah sejak aku menempati vila milik pamanku di daerah Cibanban, Pelabuhan Ratu. Hampir setiap hari aku melihatnya berdiri di situ. Di bawah sebatang pohon kelapa. Memandang jauh ke tengah lautan. Dia hanya diam saja. Tak pernah bicara. Atau melakukan apa-apa. Dia benar-benar hanya memandang ke lautan. Seperti ada yang dicari di sana. Entah apa.

Matahari melindap ke balik tebing cakrawala. Senja meremang. Selimut malam segera akan dibentangkan. Pemuda itu beranjak pergi dari tempatnya. Entah ke mana. Mungkin pulang ke rumahnya? Entahlah. Aku tak pernah tahu ke mana perginya dia. Saat Fajar nanti, biasanya dia sudah akan berdiri di tempat itu kembali

Ingin sekali aku menyapanya. Mengajaknya bicara apa saja. Tak penting apa yang akan kami bicarakan. Tapi hingga kini, aku belum memiliki alasan yang tepat untuk mendekatinya. Pemuda itu terlalu apatis dengan keadaan sekelilingnya. Bahkan ketika aku berjalan melintas di depannya, sesaat kami saling pandang. Hanya sesaat. Tak ada kata. Dia hanya diam saja. Lalu membuang tatapan kosongnya ke tengah lautan. Asyik dengan kesendiriannya. Menikmati irama debur ombak. Aku hampir tak bisa merasakan emosinya. Ia seperti tak berjiwa. Hampa.

Tanganku menari-tari di atas kanvas. Menterjemahkan pemandangan Fajar lewat kuas dan cat minyak. Tapi sial! Konsentrasiku ambruk. Pemuda itu menguasai seluruh isi kepalaku. Merebut perhatianku dari matahari yang kian berajak tinggi.

Seandainya terus-menerus seperti ini, lukisanku tidak bakalan selesai. Padahal, beberapa hari lagi, aku harus mempresentasikannya di hadapan dosen seni lukisku. Kalau sampai hasilnya tidak maksimal, apalagi sampai gagal, terpaksa aku harus mengulang di semester yang berikutnya, atau puas dengan nilai D.Aku tak memilih keduanya. Aku harus menyelesaikan lukisanku. Tapi… ah!

Kutinggalkan alat-alat lukisku. Aku berlari kepantai. Ombak sudah tidak terlalu tinggi. Aku bisa bermain-main dengannya. Aku suka sekali pantai. Tapi tiba-tiba, angin bertiup kencang, menciptakan gulungan ombak tinggi. Seperti seekor anaconda! Siap mencaplok tubuhku. Saking terlalu asyiknya, tak sadar aku mulai jauh dari garis pantai. Aku tak sempat menghindar. Selanjutnya… Bluuuuuurrrrrr!!!!! Anaconda itu mencaplok tubuhku! Memutarku. Menyeret aku ke tengah lautan. Tak ada yang bisa aku lakukan. Kurasakan kepalaku membentur karang-karang. Maut menari-nari di atas kepalaku. Aku hanya bisa pasrah. Mungkin ini waktuku. Ombak terus menyeret aku ke tengah lautan.

Tiba-tiba… aku merasakan tubuhku terangkat ke permukaan. Seseorang menyelamatkan aku. Membawa aku ke tepian pantai.

Kepalaku pening. Aku merasakan perih di kening. Perutku mual karena terlalu banyak air laut yang terminum. Aku memejamkan mata. Tak sadarkan diri.

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di dalam Vila milik pamanku. Aku mencoba untuk mengangkat kepala. Bangkit dari tidur. “Akh…!” kepalaku masih terasa berat.

“Jangan bangun dulu. Rebahan saja. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah.” Seorang pemuda menghampiriku. Pemuda itu…

Pemuda itu mengambil gelas berisi ramuan buatannya dari atas meja makan. “Minum ramuan ini, bisa menurangi rasa sakitmu.”

Aku meminum ramuannya. Ia membantu memegangi gelas. Beberapa saat setelah meminum ramuan itu, mataku terasa berat. Ngantuk! Aku tertidur pulas.

^^^

Cahaya mentari pagi menerobos celah tirai jendela kamarku. Jatuh di pelupuk mataku. Silau. Aku terjaga. Memicingkan mata. Sudah pagi. Ah, aku tidur nyenyak sekali. Mungkin kerena ramuan yang kuminum kemarin.

Aku bangkit dari tempat tidur. Badanku sudah terasa baikan. Ramuan yang diberikan pemuda itu kepadaku ternyata cukup berkhasiat! Luka di keningku pun sudah tidak terasa nyeri. Tapi ke mana pemuda yang menolong dan merawat lukaku?Pemuda yang selalu berdiri di bawah pohon kelapa. Pemuda yang selalu memandangi lautan dengan tatapan mata yang kosong. Pemuda yang sudah merusak konsentrasi melukisku sejak aku tiba di tempat ini.

Aku beranjak ke luar Vila. Hangat sinar mentari membelai tubuhku. Kurentangkan tanganku ke atas. Menghirup udara pagi. Segar. Debur ombak seolah memanggil-panggil aku untuk bermain-main dengannya kembali. Tidak saat ini, Sobat. Aku masih trauma dengan peristiwa kemarin. Wajah kematian masih lekat dalam ingatan. Dan aku tak mau merasakannya untuk yang kedua kali. Next time buddy!

Hei, itu dia! Seperti biasa… kulihat pemuda itu di tempat biasanya. Pandangannya dibuang ke tengah lautan. Kulihat pemuda itu sesekali melontarkan kerikil ke tengah lautan. Lalu kembali termenung. Beku.

Aku tak ingin mengganggu pemuda itu. Biar saja. Mungkin dia memang lagi ingin sendiri. Aku mengambil peralatan lukisku. Aku harus menyelesaikan lukisanku hari ini. Besok aku sudah harus kembali ke Jakarta.

Kupandangi kanvas kosong di depanku. Tapi kembali sosok pemuda itu merusak konsentrasiku. Jadi kuputuskan untuk memandanginya saja. Sampai tiba-tiba, entah bagaimana mulanya, kurasakan tanganku menari-nari di atas kanvas. Aku seperti tak menyadarinya. Seolah segalanya berlangsung di luar kesadaranku. Kulihat sosok pemuda itu mulai nyata di atas kanvasku. Aku melukisnya! Ah, kenapa tidak terpikirkan sebelumnya… Terkadang inspirasi datang justru di saat kita tidak menghendaki. Aku tak pernah berpikir untuk melukis pemuda itu. Tapi bagaimana kalau dia marah karen aku melukisnya tanpa ijin.

Hati-hati aku mendekati pemuda itu. Takut mengganggu keasyikannya bermenung.

“Hai!” sapaku.

Pemuda itu menoleh. “Oh, kamu… sudah sehat?” segaris senyum terbit di raut tampannya.

“Berkat kamu. Thank’s, ya!”

“Ah, bukan apa-apa.”

“Kau sudah menyelamatkan nyawaku!”

“Bukan aku. Tapi takdir yang menghendaki begitu.”

“Kau percaya dengan takdir?”

“Entahlah.” Terdiam. Kurasakan kegetiran saat dia mengucapkan itu.

“Kamu keberatan kalau aku menjadikan kamu objek lukisanku?”

“Untuk apa kamu melukis aku?”

“Sebab hanya kamu yang ada di kepalaku. Aku tak melihat objek lain yang menarik untuk kulukis. Itu kalau kamu nggak keberatan tentunya.”

“Dengan senang hati. Apa yang harus aku lakukan?”

“Seperti yang kamu lakukan setiap hari; memandang lautan.”

Tiba-tiba pemuda itu terdiam. Mungkin kata-kataku membuatnya seolah diingatkan dengan sesuatu yang selama ini menghuni kepalanya. Aku jadi merasa bersalah.

“Ada apa?”

Pemuda itu diam saja. Dia malah melempar pandangnya ke tengah lautan. Acuh seperti biasa. Seolah kau tak ada di dekatnya. Sebaiknya kubiarkan saja dia.

Aku kembali ke tampatku. Menyelesaikan lukisanku. Ajaib! Jari-jariku begitu lancar menggerakkan kuas. Imajinasiku mengalir. Seperti angin yang bertiup.

Tanpa terasa aku telah menyelesaikan dua buah lukisan.Tapi jari-jariku belum juga mau berhenti. Seperti tak puas-puasnya memindahkan sosok pemuda itu ke atas kanvas. Gila! Benar-benar gila! Tiga buah lukisan dalam satu hari?!

Senja menghilang ditelan cahaya malam. Aku menyelasikan lukisanku yang ketiga. Luar biasa! Sosok pemuda itu begitu menginspirasiku.

“Sudah selesai?” tanya Pemuda itu.

Aku mengangguk puas.

“Aku harus pulang sekarang.”

“Temani aku malam ini?” aku memohon, “besok aku harus kembali ke Jakarta.”

Pemuda itu berfikir sesaat. Kemudian dia mengangguk. Setuju. Aku senang bukan kepalang.

Kuberikan telapak tanganku. “Namaku Sheila!”

Pemuda itu menjabat tanganku. Dan menyebutkan namanya. “Har!”

“Hampir setiap hari aku melihat kamu melamun seorang diri di tepian pantai. Boleh aku tahu sebabnya?” tanyaku hati-hati. Takut pemuda bernama Har itu tersinggung.

Pemuda itu terdiam. Cukup lama. Aku melihat kedua kelopak matanya membasah.

“Kamu nggak perlu cerita, kalau kamu nggak mau.”

Pemuda itu menarik nafas berat. “Kekasihku,” ia mengawali kisahnya, “orangtuanya ingin menjodohkan dia dengan seorang kaya pemilik perahu-perahu yang dipakai melaut oleh para nelayan. Dia menolaknya. Tak mau dinikahkan oleh orang kaya yang menguasai pelelangan itu. Tapi dia tak kuasa menolaknya. Ayahnya sudah terlalu benyak berhutang pada orang kaya itu. Dan satu-satunya jalan, dia harus menerima pinangan pemilik perahu itu. Dan…” Airmatanya mulai menguntai di kedua belah pipinya. Pemuda itu seperti sedang memeram bara di dalam hatinya. “Kekasihku.... Kekasihku memilih terjun ke dalam lautan!”

“Masya Allah! Bunuh diri?”

“Ya. Dan hingga kini entah aku tak berhasil menemukan jasadnya.”

Malam bergulir cepat. Tanpa terasa, pagi segera akan datang. Aku membuka mata. Pemuda bernama Har itu sudah tak ada di sisiku. Pergi. Entah ke mana. Mungkin pulang ke rumahnya?

^^^

Aku membenahi pakaian dan alat-alat lukisku. Hari ini aku kembali ke Jakarta. Sebelum pergi, aku mampir dahulu ke rumah pamanku yang berada tak jauh dari vila miliknya. Menyerakkan kunci sekalian pamit.

“Kamu jadi pulang hari ini?” tanya Paman.

“Jadi.”

“Nggak mau megninap di rumah paman barang sehari?”

“Besok aku harus menyerahkan lukisan ini kepada dosenku.”

Bibi keluar dari ruang dalam. Ia membawa sepiring pisang goreng dan dua gelas teh hangat. Meletakkan nampan di atas meja.

“O ya, Paman… apa paman kenal pemuda bernama Har?”

“Har?” dahi paman mengerut. “Har siapa?”

“Ah, aku tak menanyakan nama lengkapnya. Tapi dia bercerita padaku tentang kekasihnya yang terjun ke laut karena tak mau dinikahkan oleh seorang saudagar kaya pemilik perahu yang menguasai pelelangan.”

“Har itu. Kamu mengenalnya?”

“Dia bahkan menyelamatkan aku. Kemarin aku nyaris tenggelam terseret ombak! Untung ada dia.”

“Menyelamatkan? Tapi…”

“Apa kamu benar-benar yakin kalau dia yang menyelamatkan kamu?” sambar Bibi.

Aku mengeluarkan lukisanku dari dalam tas. Memperlihatkannya kepada Paman dan Bibiku. “Lihat Paman, aku bahkan melukisnya!”

“Kang, ini ‘kan…”

“Bibi kenal?”

Bibi mengangguk.

“Kami mengenalnya,” Paman mendesah. “ Semua orang di sini mengenalnya.”

“Kasihan anak itu…,” lanjut Bibi.

“Ya, kasihan. Dia pasti sedih sekali ditinggal kekasihnya.”

“Tapi bagaimana mungkin kamu bisa melukisnya… padahal, beberapa hari sebelum kamu datang ke sini, dia memutuskan untuk menyusul kekasihnya!”

“Maksud Paman?”

“Dia terjun ke lautan!”

“APA????” mataku membelalak. “Terjun?!”

“Ya. Har bunuh diri! Sampai sekarang, jasadnya dan kekasihnya belum ditemukan.”

“J-jadi… siap pemuda yang kulukis ini?” Kurasakan sekujur tubuhku meremang.

Paman dan Bibik berpandangan. Heran. Aku kembali ke Jakarta membawa sejuta tanya yang tak akan mungkin terjawab. Permuda itu… Ah…***
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini