Bertemu Malaikat Maut

Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Majalah Annida


Pagi menjelang siang. Di sebuah stasiun kereta. Aku duduk di bangku peron stasiun yang jalurnya menerobos kampusku. Lelah. Masih ada dua mata kuliah yang harus kuikuti sore nanti. Aku terpaksa harus kembali ke rumahku di Bogor. Tugas dari dosen intrumentasi industri yang seharusnya kuberikan pagi tadi, tertinggal di rumah. Dosen memberi aku waktu sampai pukul tiga sore, kalau aku mau mendapatkan nilai darinya. Aku kuliah di Fakultas MIPA, tingkat dua, jurusan instrumentasi elektro.
Sang bagaskara sedang merayapi dinding-dinding tebing hari. Masih dua jam lagi sebelum ia sampai di puncak tertinggi hari. Entah karena terlalu bersemangat atau apa, dengus nafasnya terasa begitu panas menyentuhi permukaan kulit. Keringat mengalir seperti gerimis musim penghujan. Belum ada tanda-tanda kereta akan tiba. Seharusnya, satu jam lalu, sudah ada kereta dari Jakarta yang masuk stasiun ini. Terlambat. Mungkin sebaiknya kata itu dihapuskan saja dari kosa kata bahasa manapun. Sebab, akibat kata itu, orang sering harus menunggu. Padahal, menunggu merupakan pekerjaan yang paling membosankan. Buang-buang waktu. Sementara waktu, tak pernah dilahirkan dua kali. Jadi, waktu yang terlewat tak mungkin diulang kembali. Dan bodohnya… kita sering tidak menyadari!
Tak banyak orang yang menunggu kereta pagi menjelang siang itu. Stasiun lebih banyak diramaikan oleh kaum oportunis yang cermat melihat peluang sekecil apa pun. Tak peduli halal ataupun haram, selama bisa disulap jadi uang, sikat!
Seorang bocah lelaki pengamen menghampiriku. Berbekal tutup botol bekas minuman ringan yang telah digepangkan dan di pakukan di ujung sebilah bambu, ia melantunkan sebuah lagu. Lagu anak jalanan. Tak jelas siapa yang menciptakan dan siapa pula yang pertama kali memopulerkannya… Lagu itu kerap kudengar mengalun seadanya dari mulut para pengamen yang biasa mengais nafkah di atas rel kereta. Aku memberikan koin limaratusan kepada bocah itu. Bocah yang menurut perkiraanku berusia tak lebih dari 8 tahun itu, kemudian menghampiri seorang ibu bertubuh subur yang duduk tak berapa jauh dariku. Ibu yang laksana toko perhiasan berjalan itu hanya memberikan tangan kepadanya. Bocah itu tampak sangat kecewa. Ia beranjak mendekati orang lain lagi. Begitulah kehidupan yang mau tak mau harus mareka jalani.
Tiba-tiba aku jadi teringat dengan salah satu bunyi butir dalam UUD ’45: ‘Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara’. Aku lupa pasal dan ayat berapa. Nanti coba saja tanyakan kepada mahasiswa hukum tata negara. Atau sekalian saja tanyakan kepada para pengurus negara yang di istana maupun yang ada di gedung DPR. Tapi… mereka masih ingat tidak ya…? Aku ragu. Habis, masih banyak fakir miskin dan anak terlantar yang berkeliaran di tiap-tiap sudut kota. Kalau ‘menciptakan’ fakir miskin dan anak terlantar, tak sedikit keraguanku kepada mereka. Mereka tak hanya mampu, tapi ahli dalam hal itu!
Suara peluit petugas peron membuyarkan lamunanku. Ada rangkaian yang masuk. Aku beranjak dari tempat duduk. Tak berapa lama, aku duduk kembali. Ternyata kereta itu datang dari arah Bogor. Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kananku, makin banyak waktu yang terbuang.
“Assalamu ‘alaikum!” Seorang lelaki muda bergamis hitam duduk di sebelahku. Tubuhnya tinggi besar serupa atlit basket. Sorban yang melilit kepalanya berwarna sama dengan baju yang dikenakannya.
“Wa’alaikum salam.”
“Menunggu kereta?” tanyanya basa-basi.
Aku merengus dalam hati. Pikirnya apa yang sedang kulakukan di sebuah stasiun kalau tak sedang menunggu kereta? Apa tampangku mirip dengan pengamen-pengamen itu? Namun kujawab juga pertanyaannya dengan anggukan.
“Pulang kuliah?”
Dan untuk yang kedua kali aku menjawab pertanyaan lelaki itu dengan anggukan. Kenapa orang harus menanyakan sebuah pertanyaan yang dia sendiri tahu jawabannya? Tapi aku menghargai usahnya bersikap ramah kepadaku. Aku saja yang mungkin terlalu lelah, jadi agak enggan menanggapinya. Tapi aku juga tak mau dikatakan sebagai seorang yang sombong.
“Pulang ke Bogor?”
“Ya,” jawabku singkat.
“Selalu naik kereta?”
“Selalu.”
“Berapa minggu ini saya juga selalu naik kereta. Sudah tugas. Saya harus mengantarkan mereka.”
Mengerutkan kening, “Anda petugas kereta?” Karena penampilannya tak seperti petugas kereta.
“Saya bukan petugas kereta.”
“Siapa ‘mereka’ yang harus  anda antarkan, dan ke mana anda harus mengantarkan?” aku mulai tertarik berbicara dengannya.
“Ah… aku tak bisa mengatakannya.”
Akhir-akhir ini aku memang kerap melihat pemuda itu di atas kereta. Aku mengingatnya karena dia selalu menggunakan pakaian yang sama.
Aku mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku jaketku. Mengambil sebatang dan menyelipkannya di antara celah bibirku. Lalu menawarkan kepada lelaki muda itu.
“Terima kasih,” katanya, “saya tidak merokok.”
Aku menyelipkan kembali bungkus rokok ke dalam saku jaketku. Aku menyulut rokok. Mengisap dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Asap rokok mengepul mengepung wajahku. Lalu aku teringat dengan ibu dan kakak perempuanku. Mereka tak pernah letih mengampanyekan bahaya asap rokok kepadaku. Dan kata-kata mereka selalu sukses masuk telinga kanan untuk kemudian keluar lewat telinga kiri pada saat yang bersamaan. Orang tak akan mati hanya karena merokok, pikirku.
“Tidak dalam waktu dekat ini, memang.” Lelaki muda itu berkata seolah dia tahu apa yang ada di kapalaku. Aku menoleh memandangnya.
“Tapi lelaki itu,” menujuk seorang tuna wisma yang meski terbatuk-batuk, masih saja menyumpal mulutnya dengan puntung rokok kretek yang ditemukannya tergeletak di lantai stasiun. “Tak lama lagi dia akan menemui ajalnya.”
“Anda seorang peramal?” lelaki muda itu hanya tersenyum.
Dia beranjak menghampiri tuna wisma itu. Tuna wisama itu menggigil ketakutan melihat dirinya. Kemudian entah apa yang dilakukannya, yang kulihat dia hanya berdiri saja. Namun beberapa saat kemudian, kulihat tuna wisma itu terkulai di lantai stasiun. Mulutnya mengeluarkan darah. Lelaki itu masih berdiri di sana waktu kulihat orang-orang ramai mengerumuni tuna wisma itu. Kemudian dia kembali duduk di sebelahku.
“Apakah tuna wisma itu…”
Dia mengangguk.
Innalillahi wa inna ilaihi raa’jiun… ucapku dalam hati.
“Si… siapa kau?!”
“Aku bukan siapa-siapa.”
Aku memandangi lelaki muda itu. Wajahnya dihiasi janggut tipis. Aku baru menyadari kalau dia memiliki wajah yang amat rupawan. Kulit wajahnya bersih bercahaya. Tapi sorot matanya dingin. Ada banyak misteri tersembunyi di sana. Sesuatu yang tak terjelaskan, namun kurasakan. Wajah itu menyimpan kengerian di balik keelokan rupanya. Sesuatu yang berada di luar kefanaan! Dan aku merasa, dia tak semestinya berada di sini.
Terdengar lagi suara peluit petugas peron, tanda ada kereta yang akan segera masuk. Dari arah Jakarta, tampak rangkaian kereta merayap perlahan di lintasan terdekat. Cukup lengang. Malah, di beberapa gerbong terlihat banyak bangku yang masik kosong. Orang-orang masih mengerumuni tuna wisma yang telah tak bernyawa itu.
“Sebaiknya menunggu kereta berikutnya.” Lelaki itu memberiku saran.
Saran yang aneh, pikirku. Kenapa aku harus membuang lebih banyak lagi waktu… Aku beranjak dari kursiku. Kereta berhenti.
“Hei, sebaiknya kaudengarkan aku!”
“Kenapa aku harus mendengarkanmu?”
“Karena kau tak seharusnya berada di kereta itu!”
Perkataan lelaki itu, sesaat membuat aku ragu. Namun saat kereta mulai bergerak perlahan, aku melompat ke dalam kereta yang cukup lengang. Kulihat wajah lelaki itu seperti tak percaya dengan keputusan yang kuambil. Kereta melaju cepat. Aku mulai mempertanyakan keputusanku. Kata-kata lelaki itu tentang tuna wisma tadi, membuat aku semakin ragu. Dalam hati, masih kusimpan perkataan lelaki itu yang kini menjelma ribuan tanda tanya. Kenapa lelaki itu merasa aku tak seharusnya berada di kereta ini?
Belum habis kebingunganku, dari tempatku, aku melihat sosok lelaki muda itu berada di dalam  gerbong terdepan. Dia duduk di pinggir dekat pintu tengah. Padahal, aku yakin sekali, tadi saat kereta bergerak menjauh, aku masih sempat melihatnya berdiri di stasiun! Kecuali dia manusia yang memiliki kesaktian, mustahil dia bisa berada di atas kereta ini. Kesaktian macam apa yang dimilikinya sehingga dia bisa berpindah hanya dalam sekejap mata? Adakah manusia yang memiliki kesaktian semacam itu? Atau barangkali, lelaki muda itu… bukan manusia?! Kemungkinan terakhir yang terlintas di kepalaku, menggerakkan kakiku menuju gerbong tempat lelaki itu berada.
“Kau…”
Kereta berhenti di stasiun Pondok Cina. Orang-orang bergegas naik. Orang-orang bergegas turun. Sebab kereta hanya menyediakan waktunya sesaat. Kemudian melanjutkan perjalanan ke stasiun berikut.
Aku masih terpaku di hadapan lelaki itu. Mencari jawaban dari sinar matanya. Dan lelaki  itu akhirnya berkata, “Kau sungguh ingin tahu siapa diriku?”
Kemudian dia menatapku dengan matanya yang dingin dan penuh misteri. Bagai sebuah layar di dalam gedung bioskop, mata itu menyajikan sebuah adegan dalam sebuah peristiwa yang sangat mengerikan. Aku bisa melihat dengan jelas di matanya, dua rangkaian kereta yang melaju cepat dari arah berlawanan, bertabrakan! Darah menggenang. Jerit kesakitan. Lalu mayat di mana-mana. Aku melihat wajah sebagian orang-orang yang ada di atas kereta yang… kutumpangi?!
“Si… siapa kau sebenarnya?”
“Kau sudah tahu siapa aku,” katanya datar. “Sudah kukatakan, kau tidak seharusnya berada di kereta ini…”
“Kenapa?” Aku menuntut jawaban.
“Akan tiba harinya bagiku untuk datang kepadamu. Tapi tidak hari ini.”
Tubuhku bergetar. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Lelaki itu… ah, aku merasa seperti sedang berdiri di atas tumpukan mayat!
Kereta mengurangi lajunya. Bersiap memasuki stasiun Depok Baru.
“Sebaiknya kau turun di sini!”
Kereta berhenti dan beberapa penumpang segera turun, berebut pintu dengan calon penumpang kereta yang sudah sejak tadi tak sabar menunggu ingin naik kereta. Kupandangi wajah orang-orang yang baru naik. Dan wajah-wajah itu… berubah mayat!
“Kenapa tak kaudengarkan perkataanku?”
“A-aku…,” mataku berkeliling memandangi satu persatu wajah-wajah pera penumpang yang ada di gerbong itu. Tiba-tiba aku merasa harus memperingatkan mereka. Aku berjalan ke tengah-tengah kereta.
“Dengar! dengarkan semuanya!” aku berteriak lantang, “Kereta ini akan bertabrakan! Kalian semua harus segara turun di stasun berikutnya kalau tak ingin celaka!”
Seluruh penghuni gerbong menatapi aku. Tatapan yang biasa mereka layangkan ketika mereka berpapasan dengan orang gila. Mereka pikir aku sudah gila?!
“Tidak! Kalian salah! Aku tidak gila!”
Mereka malah menertawai aku.
“Kasihan, ya…,” kata seorang ibu yang menggendong anaknya kepada gadis di sebelahnya.
“Padahal masih muda…,” sahut gadis yang di sebelahnya.
“Ganteng-genteng kok, gila???” seorang bapak keheranan.
“Orang gila baru, barangkali…,” sahut pemuda di sebelahnya.
“Gila!” kata seorang pelajar es em u.
“Dasar gila!” kata temannya yang lain.
“Woi… Gila!” mereka semua menertawai aku.
Gila? Mereka malah berpikir kalau aku ini gila. Padahal, aku sedang berusaha menyelamatkan mereka dari maut yang sejak dari stasiun UI tadi,  berada di atas gerbong ini! Takkah mereka sadari?
Aku berlari ke gerbong belakang. Tanggapan mereka tak jauh berbeda. Malah aku dilempari jeruk-jeruk busuk oleh pedangan jeruk.
Lelaki muda itu mendekatiku. Kali ini dia berkata dengan lembut,“Tak ada yang bisa kaulakukan. Tidak juga aku. Semua telah ditetapkan.”
Sekali lagi aku menatapi wajah-wajah di dalam gerbong yang belum juga reda menertawai aku.
“Apabila telah tiba waktu yang telah ditentukan bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat, an tidak pula dapat mendahulukannya1.” kata lelaki itu.
Dan ucapan lelaki itu menyadarkan aku. Tak ada yang bisa aku perbuat. Sejarah memang harus tertulis hari ini.
Kereta berhenti di stasiun Depok Lama.
“Turunlah!”
Aku menyeret langkahku turun dari atas kereta. Masih terdengar selentingan orang-orang itu membicarakan aku.
“Sampai jumpa… kelak, kita pasti akan bertemu lagi,” kata lelaki itu sesaat sebelum kereta bergerak meninggalkan stasiun Depok Lama, untuk menghampiri takdir di depannya. Di mataku, kereta itu terlihat seperti sebuah keranda, bersama sang maut di dalamnya.
Ya, kita pasti akan bertemu… aku mendesah. Lirih.
Menit berikutnya…
“Brrraaaaaaaaakkkkkk…!!!”
Suara benturan terdengar keras sampai ke tempatku berdiri. Orang-orang segera berlari menghampiri asal suara. Aku hanya diam membeku. Hilang bentuk. Tubuhku rasanya tak berangka. Aku tak merasa perlu mencari tahu asal suara itu. Aku tak ingin menyaksikan kengerian seperti yang kulihat di mata lelaki muda yang kini, kuyakini sedang sibuk mencabuti nyawa pemilik nama yang tertulis di selembar daun yang jatuh di kakinya.
***
Lima tahun setelah kejadian itu.
Aku terbaring di atas ranjang rumah sakit, dikelilingi wajah-wajah tercinta. Bapak, ibu, kakak dan adik perempuanku yang masih di bangku es de. Ada juga teman-temanku. Dari mulut mereka terlantun kalam-kalam suci Ilahi.
“Ibu sudah sering menasihatimu…,” katanya terisak.
Ah, Ibu… seandainya saja dulu aku mau mendengar nasihatmu…
Dokter menemukan kanker bersarang di paru-paruku. Itu buah yang harus kupetik karena rajinnya aku menanamkan nikotin di dalam rongga-rongga pernafasanku.
Dan saat itulah, aku kembali bertemu dengannya. Lelaki muda itu masih mengenakan gamis hitamnya. Sorot matanya masih dingin seperti lima tahun yang lalu. Dia tersenyum kepadaku. Kubalas senyumnya.
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa alaikum salam.”
“Aku datang menjemputmu.”
Aku memejamkan mata. Berucap dalam hati, Laa ilaaha illallaah…!



Mengenang Tragedi Ratu Jaya
Depok, Maret 2004
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini