Oleh Denny Prabowo
“Without
signs there is no ideology.”
(Voloshinov,
1929)
Marx memandang ideologi sebagai kesadaran palsu. Piliang (2012:43)
mengatakan bahwa ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah
lukisan diri sebagai kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu yang
diciptakan oleh para elit ideologi. Takwin (2003:63) menjelaskan konsep
kesadaran palsu Marx tersebut sebagai berikut.
Bagi Marx, ideologi merupakan pikiran-pikiran irasional yang menimbulkan suatu pemahaman yang salah
tentang dunia. Dengan pemahaman yang salah itu, manusia tertentu memahami dunia
dan pemahaman itu menimbulkan kesadaran tertentu tentang dunia. Karena
pemahaman itu salah, maka kesadaran manusia yang didasari oleh pemahaman itu
juga salah. Dengan kata lain, kesadaran tentang dunia yang dimiliki oleh
individu itu palsu.
Ideologi berhubungan dengan perebutan dominasi antarkelas sebagaimana yang
dikatakan Sobur (2009:212), “Ideologi itu terjadi disebabkan karena kekuatan
yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk mempertahankan posisi
dan kekuatannya.” Sementara itu, Voloshinov (dalam Takwin, 2003:103) memaknai
ideologi sebagai sekumpulan penanda yang digunakan oleh suatu kelas untuk
memenangkan kepentingannya dari suatu kelas yang bertentangan dengannya. Dalam
pandangan Voloshinov, kelas-kelas yang berusaha untuk merebut dominasi itu
melakukan upaya penanaman ideologi melalui proses penandaan.
Marx mengganggap negara sebagai suprastruktur yang menyebarkan kepalsuan
dan kebohongan melalui ide-ide yang dijejalkan kepada rakyatnya. Penguasaan
negara terhadap rakyat ini disebut hegemoni oleh Gramsci. Menurut Takwin (2003:72),
“Hegemoni merujuk pada suatu ideologi yang sudah sedemikian dominan dan
menyebar dalam suatu masyarakat.” Ia juga mengutip penjelasan Gramsci tentang
hegemoni sebagi berikut.
… sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya
sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara
institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh citarasa,
kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh
hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.
Berbeda dengan Marx, Louise Althuser (dalam
Takwin, 2003:86) melihat ideologi juga sebagai reaksi terhadap suatu dominasi.
Setiap penindasan akan melahirkan usaha dari pihak yang tertindas untuk
membebaskan diri dari ketertindasan. Ideologi dibutuhkan untuk menggerakkan
pihak tertindas dalam pembebasan tersebut.
Jika Marx memaknai ideologi sebagai kesadaran
palsu, Althuser (dalam Takwin, 2003:84—85) mengartikan ideologi sebagai
ketidaksadaran mendalam yang praktiknya tidak disadari oleh manusia. Ideologi
masuk lewat berbagai sumber yang terkait dengan struktur masyarakat, seperti
keluarga, agama, pendidikan, media massa, dan lain-lain. Setiap orang punya
peran dalam penyebaran ideologi melalui mitos, agama, hubungan orang tua-anak,
dan hubungan guru-murid.
Kesadaran (atau ketidaksadaran dalam
pandangan Althuser) menurut Voloshinov (1929) terbentuk dan menjadi materi
tanda yang diciptakan oleh kelompok terorganisasi dalam proses hubungan sosial.
Kesadaran individu dipelihara dalam tanda, diambil dan tumbuh darinya,
merefleksikan logika serta hukumnya. Logika kesadaran adalah logika komunikasi ideologis
dari interaksi semiotik pada suatu kelompok sosial. Sementara itu, Van Zoest
(dalam Sobur, 2009: 208) mengatakan, “Ideologi dan mitologi dalam hidup kita
sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita.”
TULISAN SELANJUTNYA >>>
TULISAN SELANJUTNYA >>>
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini