Setiap teks tak pernah terlepas dari ideologi
dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi
(Sobur, 2009:208). Dengan kata lain, setiap teks mengandung ideologi yang dapat
mempengaruhi kesadaran pembaca.
Van Zoest mengutip Balibar dan Machery yang
berpendapat bahwa terutama sastralah yang melakukan manipulasi, meski Van Zoest
sendiri meragukan apakah benar, “teks sastra sangat ideal untuk memproduksi ideologi
umum karena teks sastra dalam kaitan dengan ideologi-ideologinya yang khas
mengenai penulis dan pembaca sebagai subjek yang bebas, tampak terlepas dari segala
keharusan (Sobur, 2009:209). Namun, jika Van Zoest menempatkan penulis dan
pembaca sebagai substruktur yang didominasi kelas pemilik modal yang menguasai
mesin produksi dan pasar, keraguannya dapat disingkirkan. Sebagai pemilik
modal, penerbit dapat memaksakan ideologinya dalam karya-karya penulis yang
diterbitkannya, apalagi jika penerbit itu didukung oleh negara atau justru
bagian dari negara seperti penerbit Balai Pustaka.
Sejarah berdirinya Balai Pustaka tidak dapat dilepaskan dari kebijakan
Politik Etis yang dikeluarkan kerajaan Belanda pada Abad 19. Sekeluarnya
kebijakan tersebut, pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum
pribumi. Akan tetapi, pemerintah kolonial memanfaatkan kebijakan tersebut untuk
kepentingannya karena kaum pribumi yang hendak dididik tersebut akan dijadikan
pegawai pemerintah dengan gaji yang murah.
Pada tahun 1848 pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja
untuk mempergunakan uang sebesar f 25.000,— setiap tahun untuk keperluan
sekolah-sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak orang-orang bumiputera,
terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat. Pegawai-pegawai
setempat itu diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk kepentingan eksploatasi
kolonialnya, karena biaya-biaya untuk membayar para pegawai setempat jauh lebih
murah daripada kalau mendatangkan tenaga-tenaga itu dari Negeri Belanda
(Rosidi, 1986: 14)
Dalam pada itu, dengan didirikannya sekolah-sekolah tersebut, pendidikan
kaum pribumi pun meningkat. Mereka dapat mengakses buku-buku dalam bahasa
Belanda. Hal itu menyadarkan mereka akan posisi mereka sebagai bangsa jajahan.
Kemudian lahirlah penerbit-penerbit swasta.
Sapardi Djoko Damono (dalam Faruk, 1999:114) menyebutkan dua faktor yang
melatarbelakangi pendirian Balai Pustaka. Pertama, sekolah dan jumlah anggota
masyarakat yang dapat membaca semakin banyak. Kedua, adanya penerbit swasta
yang menerbitkan buku-buku yang oleh pemerintah kolonial disebut sebagai
“bacaan liar”.
Pendapat Damono tersebut dikuatkan oleh pernyataan Dr. D.A.R. Rinkes,
Kepala Balai Pustaka yang pertama sebagaimana dikutip oleh Mahayana[1]
berikut ini.
Dalam masa 25 tahun yang baru lalu ini politik pengajaran pemerintah itu
amat berubah. Dahulu yang diutamakan hanya akan mengadakan pegawai yang agak
pandai untuk jabatan negeri, sekarang pengajaran rendah itu terutama untuk
memajukan kecerdasan rakyat.
Tetapi, pelajaran itu belum cukup. Tambahan lagi harus pula dicegah,
janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berpikir yang
dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik…
Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang
telah tahu embaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci
hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu.
Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk
menyabung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang
memenuhi kegemaran orang kepada mebaca dan memajukan pengetahuannya,
seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan
hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri
(Mahayana, 2007:198—119)
Latar belakang pendirian Balai Pustaka dan tugas yang diembannya tersebut
membuatnya menerapkan sejumlah syarat terhadap naskah-naskah yang hendak
diterbitkannya. Menurt Damono (dalan Faruk, 1999:114—115) kriteria tersebut
sebagai berikut.
1.
Bacaan yang diterbitkan hendaknya sesuai
dengan selera masyarakat konsumen;
2.
Bacaan yang dihasilkan hendaknya mampu
menambah pengetahuan masyarakat;
3.
Bacaan yang dihasilkan hendaknya
memampukan masyarakat memerangi keterbelakangan;
4.
Bacaan yang dihasilkan hendaknya mampu
menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang bisa merusakkan kekuasaan pemerintah
dan ketenteraman dalam negeri.
Novel Sitti Nurbaya (Selanjutnya akan disebut SN) karya Marah Rusli diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka
tahun 1922. Meski diterbitkan dua tahun setelah Azab dan Sengsara, novel
ini dianggap sebagai novel terpenting dari Angkatan Balai Pustaka. Tidak heran
jika pada tahun 1969, novel ini meraih penghargaan tahunan dari pemerintah
Republik Indonesia sebagai hadiah tahuanan yang diberikan setiap 17 Agustus. Maman
S. Mahayana (2007:8) menyebutkan bahwa novel SN pernah diterbitkan di Malaysia dan dijadikan bacaan wajib untuk
pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan. Hingga tahun 1963, SN telah mengalai cetak ulang ke-11 di
Malaysia.
Zuber Usaman (1959:34) menempatkan SN
sebagai novel yang mengakhiri zaman lama dan mengawali zaman baru dalam
kesusastraan Indonesia. Menurutnya, persoalan yang diangkat dalam SN sudah berbeda sekali dengan
cerita-cerita yang dikenal sebelunya.
Bukan lagi tjerita dewa2, mambang dan peri atau lukisan tentang anak radja
jang terusir dari istananja atau tjerita2 jang bersifat fantasi belaka, jang
hanja ada dalam tjerita2 sadja, tetapi dalam Sitti Nurbaja dilukiskan keadaan jang sungguh2 ada dalam masjarakat
atau merupakan gambaran suatu segi masjarakat jang patut mendjadi perhatian di zamannja
itu, jaitu soal adat dan perkawinan.
Ada dua hal yang dijadikan Usman sebagai dasar baginya untuk menempatkan SN sebagai novel yang mengawali era baru
kesusastraan Indonesia, yakni tema adat dan perkawinan dan lukisan masyarakat
yang sungguh-sungguh ada. Akan tetap, Usman tidak mendasari pendapatnya
tersebut dengan analisis komparatif antara SN
dan karya sastra sebelunya.
Ajib Rosidi menepatkan SN dalam
periode awal Masa Kelahiran, yakni tahun 1990—1933. Penggunaan bahasa Melayu
tinggi dan kritik terhadap keburukan adat kuno tentang perkawinan dalam novel
itu merupakan kebaruan yang ditunjukan oleh SN[2].
Pendapat-pendapat tersebut yang
banyak berkebang di tengah masyarat terkait SN. Kebanyakan pembaca melihat SN
sebagai novel yang mengangkat tema pertentangan adat, yakni persoalan kawin
paksa yang menimpa tokoh Sitti Nurbaya. Padahal, Baginda Sulaian, ayah Sitti
Nurbaya tidak pernah memaksakan anaknya untuk menikah dengan Datuk Meringgih.
Sitti Nurbaya bersedia menikah dengan Datuk Meringgih setelah pegawai pemerintah
Belanda hendak membawa ayahnya karena tidak mampu melunasi hutangnya kepada
Datuk Meringgih. Sitti Nurbaya mengorbankan dirinya untuk menikah dengan Datuk
Meringgih demi membebaskan ayahnya dari jerat hukum. Secara adat, Datuk
Meringgih yang sebenarnya bukan seorang bangsawan tidak layak menikahi Sitti
Nurbaya yang memiliki kedudukan sebagai anak bangsawan.
Faruk H.T. justru melihat kritik tajam terhadap sikap pemerintah kolonial
Belanda terkait pungutan pajak dalam SN.
Padahal, Balai Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda melakukan
sensor yang ketat terhadap novel-novel yang akan mereka terbitkan. Kenapa novel
tersebut dapat lolos? Faruk melihat lolosnya SN bukan karena faktor
kebetulan belaka, melainkan karena komposisi novel tersebut telah ditata sedemikian
rupa sehingga penerbit BP tidak melihatnya sebagai kritik terhadap pemerintah (1999:166-117). Pendapat Faruk
tersebut sejalan dengan pernyataan Maman S. Mahayan terkait lolosnya SN dari sensor BP berikut ini.
Dilihat secara intrinsik, unsur-unsur yang membangun Sitti Nurbava tampak
sejalan dengan kriteria yang telah ditetapkan Balai Pustaka. Tema yang tidak
menyinggung persoalan agama, penokohan yang hitam-putih, cara pengajaran yang
disampaikan secara eksplisit, serta tidak bertentangan dengan politik
pemerintah kolonial, semuanya—secara tersurat—terungkap dalam Sitti
Nurbaya (Mahayana, 2007:131)
SN memang tidak dapat dipisahkan dari
penerbitnya, Balai Pustaka yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah kolonial
Belanda. Dalam hal ini, Balai Pustaka dapat dianggap sebagai superstruktur yang
menanamkan ideologi melalui stigmatisasi terhadap karya sastra terbitan swasta
dan sensor ketat terhadap karya-karya yang akan diterbitkannya.
Kebijakan-kebijakan Balai Pustaka tersebut akan memiliki dampak terhadap
karya-karya sastrawan yang diterbitkan di penerbit tersebut.
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini