Diterbitkan oleh Aditera, 2011
Sewangi kuntum mawar
di taman hati seindh cinta
yg kumiliki kuprsmbhkan
untkmu pg ini
Sender: Lelaki Terindah +62815693142
Sent: 27 May 2005 06:00:02
Brrrrmmmmm… Brrrrmmmmmm…
Argi membuka tirai jendela kamarnya. Bersamaan dengan itu, Bagas menoleh ke arahnya. Cowok tetangga depan rumahnya itu melengkungkan senyum di wajah machonya. Argi membalas senyumnya semanis mungkin, sebelum Bagas berlalu bersama Kawasaki Tinja-nya.
Hei… pandang Argi menyerobok pada sekuntum mawar merah yang terkapar di lantai teras depan rumahnya. Dia lalu teringat dengan SMS yang baru dia terima dari Lelaki Terindah, sesaat sebelum telinganya menangkap derum knalpot motor Bagas.
Argi segera beranjak ke beranda depan rumahnya, memungut sekuntum mawar merah yang terkapar di lantai depan rumahnya.
“Hmm… kok bisa kebetulan gini yah? Jangan-jangan Lelaki Terindah itu tinggal di deket-deket sini?” gumam Argi. “Atau jangan-jangan…” Argi teringat dengan Bagas.
“Serius lo, Gi?” Dini masih nggak percaya cerita Argi tentang mawar merah yang, diduga Argi diletakkan oleh Bagas di lantai beranda depan rumahnya.
Argi mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V. Dia juga menunjukkan SMS yang dia terima dari Lelaki Terindah, sesaat sebelum dia melihat tetangga barunya melemparkan senyum ke arahnya, dan matanya menemukan sekuntum mawar terkapar di lantai.
“Wah… elo beruntung banget, Gi!” seru Dini.
“Tapi… belum pasti juga, sih,” Argi jadi ragu, “Gue gak liat sendiri dia meletakkan mawar itu.”
“Bagas yang mana sih, Gi?” tanya Fifi, “Fifi kenal gak?”
“Tetangga depan rumah gue.”
“Yang tampangnya kayak Alessandro Del Pierro itu!” timpal Dini.
“Oh, yang…”
“Yang waktu kita makan mie ayam sore-sore di depan rumah gue,” Argi menambahi.
“Wah… kalo itu sih Fifi gak bakalan lupa!” Pikiran Fifi menerawang, membayangkan dua mangkok mie ayam made in Mas Gino yang bias bikin lidah ketagihan, “Mana mungkin Fifi melupakan saat-saat indah itu…”
“Hah? Indah? Jangan-jangan elo suka juga ya?” Argi waswas.
“Bukan sekedar suka,” jawab Fifi, “Tapi udah ketagihan! Ehm… tar sore ke rumah Argi lagi, ya?”
“Mau ngapain lo?” Argi penasaran.
“Elo serius suka sama tetangganya Argi yang namanya Bagas?”
Mata Fifi menyipit, keningnya membentuk lipatan. “Bagas?” Fifi balik bertanya, “Makhluk apaan, tuh?”
Argi dan Dini saling bertukar pandang, lantas sepakat menginvasi jidat Fifi dengan rudal jitakan. Tapi belum sempat serangan mereka lancarkan, cewek mungil yang menyadari gelagat tidak baik dari sorot mata kedua sohibnya itu sudah lebih dulu angkat kaki, melarikan diri.
“Kabuuuurrrr!!!”
Tapi ketika langkah Fifi belum lagi melintasi ambang pintu kelas, tiba-tiba muncul Ela di hadapannya dan… Bruk! Tabrakan pun tak dapat dihindari. Keduanya terjerembab ke lantai. Argi dan Dini menghentikan pengejaran.
“Aduh…” Ela meringis kesakitan. Fifi mengerut ketakutan.
“Sakit ya, Mbak?”
“Elo kalo jalan liat-liat dong, Fi!” Ela meraba-raba lantai, mencari-cari kaca matanya yang terlempar saat mereka bertabrakan.
“Cari apa, Mbak?” tanya Argi.
“Kaca mata.”
Fifi segera menggeser tubuhnya. Tanpa sadar kakinya menginjak sesuatu. Krek!
“Apaan tuh?” tanya Ela dengan nada khawatir.
Fifi mengangkat kakinya, dan menemukan sebuah benda sama. Seperti… “Kaca mata…?”
“Fifiiiiii!!!” suara Ela mengguntur.
Ups…
Bel tanda berakhirnya jam istirahat mengudara.
Rapat redaksi yang sedianya akan diadakan selepas jam sekolah berakhir, terpaksa harus ditunda. Fifi harus mengantar Ela ke optic, untuk mengganti kaca mata yang dia hancurkan. Tanpa kaca mata, Ela seperti pengemis buta yang harus dituntun ke mana-mana. Gawat banget kan?
Walhasil, personil SUKA yang lainnya memilih untuk pulang ke rumah. Hanya Argi saja yang tinggal di ruang redaksi, memeriksa e-mailnya. Siapa tahu saja sudah banyak yang mengirimkan naskah kepadanya. Semua naskah kiriman dari luar Argi yang mengelolanya.
Argi membuka inbox e-mailnya. Belum banyak yang mengirimkan naskah. Hanya ada lima new messages yang terkirim ke inbox e-mailnya. Dan salah satunya dari… Lelaki Terindah! Argi segera membuka e-mail bersubject Love Message itu
Argi tersenyum. Dia mengambil Hp dari saku bajunya. Mencari nomer Lelaki Terindah di phonebook Hp-nya. Lalu menghubunginya. Terdengar nada sambung. Beberapa waktu lamanya dia menunggu, tak juga diterima panggilannya.
Aneh… kenapa dia gak pernah mau terima telepon gue ya?
Argi mendownload semua naskah attachmen, menyimpan dikomputernya. Baru saja dia memutuskan koneksi internetnya, saat Hp-nya bergetar. Ada pesan masuk.
Argi mereply SMS Lelaki Terindah.
Gak berapa lama datang SMS balasan dari Lelaki Terindah
Argi mengirim pesan balasan.
Argi melirik ke arah jam dinding yang melekat di tembok ruang tamu. Jarum pendek menunjuk angka 9, sedang jarum panjangnya menunjuk angka 2. Bolak-balik dia melirik ponselnya, berharap datang SMS balasan dari Lelaki Terindah. Sudah dua pesan yang dia kirimkan.
“Kok gak balas-balas SMS gue, sih?” Argi berjalan mondar-mandir, mirip setrikaan. “Udah jam sembilan lagi... jadi gak, sih?”
Argi kembali menulis pesan di Hp-nya. Ini yang ketiga kalinya.
Brrrrmmmmm... Brrrrrmmmm...
Terdengar suara knalpot motor berhenti di depan rumahnya. Argi merapat ke jendela, menyingkap tirai, melihat keluar. Arga turun dari boncengan motornya Bagas.
“Ngapain si Arga sama Bagas?”
Pintu rumah dibuka, Arga muncul dengan tampang lelah.
“Dari mana lo sama si Bagas?”
“Aduh, Gi... badan gue rasanya mau rontok nih.”
“Abis ngapain, sih?”
“Latihan sama teman-teman dari High Camp.”
“Apaan tuh? Sejenis makanan ya?”
“Sembarangan lo! High Camp itu nama komunitas pendaki. Teman-temannya si Bagas!”
“Elo ngapain latihan sama mereka?”
“Gue kan mau ikutan naek gunung sama mereka. Yeah... sekalian cari bahan artikel buat majalah kita.
“Wah, bagus juga, tuh! Tapi, emang elo sanggup?”
“Yeah... masak bikin artikel pendakian aja gue gak sanggup.”
“Ehm... Jaka sembung bawa golok neh! Maksud gue, emangnya elo sanggup naek gunung? Jalan kaki muterin lapangan bola aja muntah-muntah.”
“Yeah, liat ntar aja, deh. Emang berat banget sih, Gi. Tapi udah lama gue pengen nulis pendakian gunung. Semacam catatan perjalanan gitu, deh.”
Hp Argi bergetar, tanda ada SMS masuk.
Baru pulang? Si Bagas juga baru sampe rumah... Ah, jangan-jangan dia...
“Dari siapa sih, Gi?”
“Dari Lelaki Terindah.”
“Yang suka ngirimin elo puisi itu?”
“Iya.”
“Siapa sih dia? Elo udah tau?”
“Belom. Tapi, Ga...”
“Kenapa?”
“Elo ada nomer Hp-nya Bagas gak?”
“Ada. Tapi nomer yang satunya lagi gue gak tau.”
“Ada berapa sih Hp-nya?”
“Yang gue tau sih ada dua. Tapi kayaknya... berapa ya?”
“Eh, Ga... mungkin nggak ya, kalo si Bagas itu...” Argi tak melanjutkan ucapannya.
“Kenapa si Bagas?”
“Ah, nggak jadi deh.”
“Ya udah, gue masuk ke dalem dulu ya. Cape banget nih. Elo mau nggak mijitin gue?”
“Ih, nggak sudi!” cibir Argi, “Minta tolong aja sama Bik Sumi.”
“Yah, tega lo. Bik Sumi kan badannya kayak buldozer. Tar abis badan gue digiles sama dia!”
“Derita lo!” []
Argi membuka tirai jendela kamarnya. Bersamaan dengan itu, Bagas menoleh ke arahnya. Cowok tetangga depan rumahnya itu melengkungkan senyum di wajah machonya. Argi membalas senyumnya semanis mungkin, sebelum Bagas berlalu bersama Kawasaki Tinja-nya.
Hei… pandang Argi menyerobok pada sekuntum mawar merah yang terkapar di lantai teras depan rumahnya. Dia lalu teringat dengan SMS yang baru dia terima dari Lelaki Terindah, sesaat sebelum telinganya menangkap derum knalpot motor Bagas.
Argi segera beranjak ke beranda depan rumahnya, memungut sekuntum mawar merah yang terkapar di lantai depan rumahnya.
“Hmm… kok bisa kebetulan gini yah? Jangan-jangan Lelaki Terindah itu tinggal di deket-deket sini?” gumam Argi. “Atau jangan-jangan…” Argi teringat dengan Bagas.
***
“Serius lo, Gi?” Dini masih nggak percaya cerita Argi tentang mawar merah yang, diduga Argi diletakkan oleh Bagas di lantai beranda depan rumahnya.
Argi mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V. Dia juga menunjukkan SMS yang dia terima dari Lelaki Terindah, sesaat sebelum dia melihat tetangga barunya melemparkan senyum ke arahnya, dan matanya menemukan sekuntum mawar terkapar di lantai.
“Wah… elo beruntung banget, Gi!” seru Dini.
“Tapi… belum pasti juga, sih,” Argi jadi ragu, “Gue gak liat sendiri dia meletakkan mawar itu.”
“Bagas yang mana sih, Gi?” tanya Fifi, “Fifi kenal gak?”
“Tetangga depan rumah gue.”
“Yang tampangnya kayak Alessandro Del Pierro itu!” timpal Dini.
“Oh, yang…”
“Yang waktu kita makan mie ayam sore-sore di depan rumah gue,” Argi menambahi.
“Wah… kalo itu sih Fifi gak bakalan lupa!” Pikiran Fifi menerawang, membayangkan dua mangkok mie ayam made in Mas Gino yang bias bikin lidah ketagihan, “Mana mungkin Fifi melupakan saat-saat indah itu…”
“Hah? Indah? Jangan-jangan elo suka juga ya?” Argi waswas.
“Bukan sekedar suka,” jawab Fifi, “Tapi udah ketagihan! Ehm… tar sore ke rumah Argi lagi, ya?”
“Mau ngapain lo?” Argi penasaran.
“Elo serius suka sama tetangganya Argi yang namanya Bagas?”
Mata Fifi menyipit, keningnya membentuk lipatan. “Bagas?” Fifi balik bertanya, “Makhluk apaan, tuh?”
Argi dan Dini saling bertukar pandang, lantas sepakat menginvasi jidat Fifi dengan rudal jitakan. Tapi belum sempat serangan mereka lancarkan, cewek mungil yang menyadari gelagat tidak baik dari sorot mata kedua sohibnya itu sudah lebih dulu angkat kaki, melarikan diri.
“Kabuuuurrrr!!!”
Tapi ketika langkah Fifi belum lagi melintasi ambang pintu kelas, tiba-tiba muncul Ela di hadapannya dan… Bruk! Tabrakan pun tak dapat dihindari. Keduanya terjerembab ke lantai. Argi dan Dini menghentikan pengejaran.
“Aduh…” Ela meringis kesakitan. Fifi mengerut ketakutan.
“Sakit ya, Mbak?”
“Elo kalo jalan liat-liat dong, Fi!” Ela meraba-raba lantai, mencari-cari kaca matanya yang terlempar saat mereka bertabrakan.
“Cari apa, Mbak?” tanya Argi.
“Kaca mata.”
Fifi segera menggeser tubuhnya. Tanpa sadar kakinya menginjak sesuatu. Krek!
“Apaan tuh?” tanya Ela dengan nada khawatir.
Fifi mengangkat kakinya, dan menemukan sebuah benda sama. Seperti… “Kaca mata…?”
“Fifiiiiii!!!” suara Ela mengguntur.
Ups…
Bel tanda berakhirnya jam istirahat mengudara.
***
Rapat redaksi yang sedianya akan diadakan selepas jam sekolah berakhir, terpaksa harus ditunda. Fifi harus mengantar Ela ke optic, untuk mengganti kaca mata yang dia hancurkan. Tanpa kaca mata, Ela seperti pengemis buta yang harus dituntun ke mana-mana. Gawat banget kan?
Walhasil, personil SUKA yang lainnya memilih untuk pulang ke rumah. Hanya Argi saja yang tinggal di ruang redaksi, memeriksa e-mailnya. Siapa tahu saja sudah banyak yang mengirimkan naskah kepadanya. Semua naskah kiriman dari luar Argi yang mengelolanya.
Argi membuka inbox e-mailnya. Belum banyak yang mengirimkan naskah. Hanya ada lima new messages yang terkirim ke inbox e-mailnya. Dan salah satunya dari… Lelaki Terindah! Argi segera membuka e-mail bersubject Love Message itu
To : ad_maniez@suka.co.id
From : lelaki_terindah@tahoo.com
Date : Sat.24 May 2005 14:321:04 -0000
Subject : Love Massage
_________________________________________________________
Dear AD
Mengapa tak pernah kau balas pesan-pesan cinta yang kukirimkan kepadamu? Adakah kau merasa terganggu? Atau kau telah mengetahui siapa sesungguhnya aku? Seperti yang kutakutkan selama ini, kau akan pergi menjauh. Tapi takkan kubiarkan bayangmu memudar dalam ruang ingatan. Akan kusimpan cinta, sampai dia menemukan jalannya.
With Love
Lelaki Terindah
Reply
Date : Sat 28 May 2005 14:21:04 -0000
From : ad_maniez@suka.co.id
To : Re:Love Massage
Subject : lelaki_terindah@tahoo.com
_________________________________________________________
Dear Lelaki Terindah
Maaf jika aku membuatmu bertanya-tanya. Pesan-pesan cintamu sudah aku terima. Dan aku menyukainya. Telah kusediakan ruang bagimu di dalam hatiku. Bilamana kita kan bertemu?
-------wrote:
> Dear AD
> Mengapa tak pernah kau balas pesan-pesan cinta > yang kukirimkan kepadamu? Adakah kau merasa
> terganggu? Atau kau telah mengetahui siapa
> sesungguhnya aku? Seperti yang kutakut selama
> ini, kau akan pergi menjauh. Tapi takkan
> kubiarkan bayangmu memudar dalam ruang ingatan.
> Akan kusimpan cinta, sampai dia menemukan
> jalannya.
> With Love
> Lelaki Terindah
Send
Your Message has been Sent
Argi tersenyum. Dia mengambil Hp dari saku bajunya. Mencari nomer Lelaki Terindah di phonebook Hp-nya. Lalu menghubunginya. Terdengar nada sambung. Beberapa waktu lamanya dia menunggu, tak juga diterima panggilannya.
Aneh… kenapa dia gak pernah mau terima telepon gue ya?
Argi mendownload semua naskah attachmen, menyimpan dikomputernya. Baru saja dia memutuskan koneksi internetnya, saat Hp-nya bergetar. Ada pesan masuk.
Lagi OL ya? Qt chat yu?
Sender:Lelaki Terindah +62815693142
Sent:28 May 2005 14:57:33
Argi mereply SMS Lelaki Terindah.
Br aj mo out of conect. Msh di skul.
tar mlm aj ya? Ga enk pake kompi skul :-)
Sent to:Lelaki Terindah +62815693142
Gak berapa lama datang SMS balasan dari Lelaki Terindah
OK dech.tar mlm aq SMS km
See U ;-)
Sender:Lelaki Terindah +62815693142
Sent:28 May 2005 15:04:30
Argi mengirim pesan balasan.
Aq tunggu ya ;-)
Sent to: Lelaki Terindah
***
Argi melirik ke arah jam dinding yang melekat di tembok ruang tamu. Jarum pendek menunjuk angka 9, sedang jarum panjangnya menunjuk angka 2. Bolak-balik dia melirik ponselnya, berharap datang SMS balasan dari Lelaki Terindah. Sudah dua pesan yang dia kirimkan.
“Kok gak balas-balas SMS gue, sih?” Argi berjalan mondar-mandir, mirip setrikaan. “Udah jam sembilan lagi... jadi gak, sih?”
Argi kembali menulis pesan di Hp-nya. Ini yang ketiga kalinya.
Jd mo chat ga sih? Kok ga sms2 gw?
Sent to:Lelaki Terindah +62815693142
Brrrrmmmmm... Brrrrrmmmm...
Terdengar suara knalpot motor berhenti di depan rumahnya. Argi merapat ke jendela, menyingkap tirai, melihat keluar. Arga turun dari boncengan motornya Bagas.
“Ngapain si Arga sama Bagas?”
Pintu rumah dibuka, Arga muncul dengan tampang lelah.
“Dari mana lo sama si Bagas?”
“Aduh, Gi... badan gue rasanya mau rontok nih.”
“Abis ngapain, sih?”
“Latihan sama teman-teman dari High Camp.”
“Apaan tuh? Sejenis makanan ya?”
“Sembarangan lo! High Camp itu nama komunitas pendaki. Teman-temannya si Bagas!”
“Elo ngapain latihan sama mereka?”
“Gue kan mau ikutan naek gunung sama mereka. Yeah... sekalian cari bahan artikel buat majalah kita.
“Wah, bagus juga, tuh! Tapi, emang elo sanggup?”
“Yeah... masak bikin artikel pendakian aja gue gak sanggup.”
“Ehm... Jaka sembung bawa golok neh! Maksud gue, emangnya elo sanggup naek gunung? Jalan kaki muterin lapangan bola aja muntah-muntah.”
“Yeah, liat ntar aja, deh. Emang berat banget sih, Gi. Tapi udah lama gue pengen nulis pendakian gunung. Semacam catatan perjalanan gitu, deh.”
Hp Argi bergetar, tanda ada SMS masuk.
Maaf br bls smsnya.Br smpt.Aq br
smpe rmh. br plg lthn.Cape bgt!
Kyknya chatnya ditunda aj ya.sX lg
aq mnta maaf. Plis jgn mrh ya;-)
Sender: Lelaki Terindah +62815693142
Sent: 28 May 2005 23:15:20
Baru pulang? Si Bagas juga baru sampe rumah... Ah, jangan-jangan dia...
“Dari siapa sih, Gi?”
“Dari Lelaki Terindah.”
“Yang suka ngirimin elo puisi itu?”
“Iya.”
“Siapa sih dia? Elo udah tau?”
“Belom. Tapi, Ga...”
“Kenapa?”
“Elo ada nomer Hp-nya Bagas gak?”
“Ada. Tapi nomer yang satunya lagi gue gak tau.”
“Ada berapa sih Hp-nya?”
“Yang gue tau sih ada dua. Tapi kayaknya... berapa ya?”
“Eh, Ga... mungkin nggak ya, kalo si Bagas itu...” Argi tak melanjutkan ucapannya.
“Kenapa si Bagas?”
“Ah, nggak jadi deh.”
“Ya udah, gue masuk ke dalem dulu ya. Cape banget nih. Elo mau nggak mijitin gue?”
“Ih, nggak sudi!” cibir Argi, “Minta tolong aja sama Bik Sumi.”
“Yah, tega lo. Bik Sumi kan badannya kayak buldozer. Tar abis badan gue digiles sama dia!”
“Derita lo!” []
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini