Oleh Donald Ducky
Dimuat di Aneka Yess!
Gerimis mengantarkan gigil ketubuhku yang letih. Ada gundah melingkupi hati. Sebuah kenyataan pahit yang harus kuterima. Kenyataan yang tak bisa kutolak. Inikah takdir? Entahlah. Kubawa keresahan itu entah ke mana. Aku tak tahu tujuan. Mobilku melesat membelah gerimis yang turun sejak sore tadi.
Tiba-tiba. Seorang gadis melintas di depanku. Aku tak melihat dari mana datangnya. Lakas kuinjak pedal rem. Suara roda bercericit. Memekakkan telinga. Disusul suara keras.
Brrraaaaakkkkk!
“Aaaaaa…..!” tubuh gadis itu terpental, terkapar, bersimbah darah. Kulihat massa yang entah dari mana berlarian menghampiri tubuh gadis itu.
Kupacu Civic hitamku kencang. Kubiarkan gadis itu meregang nyawa. Hujan masih menyisakan rintiknya. Rembulan hanya mengintip saja. Menjadi saksi kepengecutan seorang lelaki. Aku!
Massa yang melihat kejadian itu, mencoba mengejar aku. Sia-sia. Lalu-lintas malam itu sangat lengang. Membuat aku leluasa melarikan kendaraanku dengan kecepatan tinggi. Massa yang mengejarku hanya bisa memaki dengan sejuta sumpah serapah yang tak sempat kudengar lagi.
Di dalam mobiku, aku sangat ketakutan. Nafasku tersengal seperti habis berlari ribuan mil. Kejam! Semua orang pasti akan berkata seperti itu. Jangankan mereka. Aku pun berkata yang sama pada diriku, mengutuki kepengecutanku.
Segalanya berawal dari vonis dokter yang harus kuterima. Secara tak sengaja, aku mendengar percakapan ayahku dengan dokter Handi, dokter keluarga kami. Dokter Handi mengatakan, kalau aku menderita leukemia, yang berdasarkan perhitungan medis, hidupku hanya tinggal hitungan bulan saja. Terlalu terlambat penyakit itu terdeteksi, kanker itu sudah menyebar luas. Dokter Handi berusaha meyakinkan ayah akan mukjizat Tuhan. Tapi tetap saja sulit bagiku menerima kenyataan pahit itu. Aku belum mau mati. Tiba-tiba aku teringat dengan gadis yang baru saja kutabrak Sial! Justru di ujung hidupku aku melakukan dosa yang sangat besar. Pembunuh! Apakah gadis itu mati?
Kuarahkan mobilku kembali ke rumah. Mudah-mudahan saja tak ada yang sempat mencatat nomer polisi mobilku. Setibanya di rumah, aku segera membenamkan diriku dalam kesunyian kamar yang kubiarkan tak bercahaya. Oh, Tuhan! apa yang harus ku perbuat? Pikiranku buntu. Terbayang di kepala, gadis itu sedang bertarung dengan maut yang menari-nari di atas lukanya. Atau malah saat ini dia telah mengghembuskan nafasnya? Bagaimana kalau dia meninggal? Aku tidak siap menanggung dosa itu. Bodoh sekali aku!
Aku harus kembali ke tempat itu! Tapi….bagaimana kalau massa masih ada di sana? Mereka pasti mengenaliku. Mereka pasti akan mengeroyok aku, atau lebih sadis lagi, mereka akan membakar aku hidup-hidup. Bukankah hal itu sudah sering terjadi.
Polisi?... Aha, sebaiknya aku menyerahkan diri ke polisi! Tapi itu berarti aku harus siap hidup di balik jeruji penjara. Penjara? Tempat itu terlalu asing bagiku. Yang aku tahu, begitu banyak penderitaan. Seharusnya aku tak perlu merasa takut dengan penderitaan. Bukankah, hidupku di dunia tak lama lagi? Aku tidak siap mengakhiri hidupku di balik jeruji besi. Aku tak mau mati sebagai terpidana. Tapi jika aku melarikan diri dari tanggung jawab, aku akan dikejar-kejar dosa.
Aku letih memikirkan itu. Pikiranku buntu. Tak ada pintu yang bisa kubuka. Aku tak dapat keluar dari permasalahan ini. Permasalahan yang menggerogoti jiwaku, juga kesehatanku.
Aku merasa tubuhku begitu lemas. Pasti penyakitku kambuh. Seribu kunang-kunang menari-nari di atas kepalaku. Aaahhh! Tubuhku tersungkur. Jatuh ke lantai. Aku tak sadarkan diri. Pingsan.
^^^
Aku terbaring tanpa daya di atas ranjang rumahsakit. Ayah dan ibu menunggui di sisi ranjang tidur. Sudah tiga hari aku tak sadarkan diri. Kecemasan terpendar di raut letih mereka. Maklum saja, aku merupakan anak sematawayang. Beban pikiran membuat penyakitku bertambah parah. Kondisi kesehatanku memburuk. Mungkin sebentar lagi akan datang waktuku. Aku hanya bisa pasrah. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menerima apa yang telah aku lakukan terhadap gadis yang kutabrak tiga malam lalu? Kenyataan itu semakin menyiksa aku. Bagaimana keadaannya? Apakah dia masih hidup? Atau sudah……
“Ya, Allah! Ampunilah dosa-dosaku?”
Sudah satu minggu aku berada di rumah sakit. Kondisiku memang tampak membaik. Tapi tak berarti apa-apa. Penyakit itu masih bersarang di dalam tubuhku. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya tinggal menunggu ajal menjemput. Yang bisa kulakukan kini hanya menikmati sisa-sisa waktuku. Tapi itu pun tak dapat kulakukan. Bayangan malam itu selalu melintasi benakku. Merajam. Memasung aku dalam parasaan berdosa.
Hangat mentari membelai lembut tubuhku. Kuhabiskan hari-hari di atas kursi roda.
Aku sedang menikmati sinar mentari pagi, ketika aku melintasi salah satu bangsal yang berada di kelas tiga. Seorang perawat mendorong kursi roda masuk ke dalam ruangan itu. Seorang gadis duduk di atas kursi roda itu.
“Apa yang menyebabkan gadis itu harus duduk di atas kursi roda, Suster?” Aku bertanya pada perawat yang tadi mendorong kursi rodanya, saat perawat itu keluar meninggalkan bangsal tempat gadis itu diawat.
“Korban tabrak lari!”
Tabrak lari? Tiba-tiba aku teringat dengan gadis yang kutabrak beberapa malam silam. Ah, jangan-jangan… “Kapan kejadiannya?”
“Kira-kira sepuluh hari yang lalu.” Lalu perawat itu mulai bercerita tentang kecelakaan yang menimpa gadis itu.
Tidak salah lagi! Ya, Tuhan! dia masih hidup! Gadis itu masih hidup! Gadis yang kutabrak sepuluh hari yang lalu. Aku telah merengut keceriannya, menggantikannya dengan kemurungan. “Boleh saya menjenguknya?”
“Silahkan…mungkin kamu bisa sedikit menghiburnya. Sejak peristiwa yang menimpanya, dia belum sekalipun mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.”
Aku masuk ke dalam kamar tempatnya dirawat. Aku bisa merasakan luka yang merengkah di hatinya.
“Boleh saya temani?”
Gadis itu meraba-raba, mencari tahu asal suaraku.
Jangan-jangan… Aku mengibas-ibaskan tanganku di depan wajahnya. Matanya tak bereaksi. Pandangannya kosong. Gadis itu buta!
“Siapa kamu?”
Ya. Tuhan! apa yang sudah kuperbuat terhadapnya? aku tak mampu menyaksikan kepedihan di matanya. Kutinggalkan gadis itu dalam kebingungan. Dari luar kamar, aku masih bisa melihat gadis itu mencari-cari orang yang baru saja menyapanya.
Pagi itu, kulihat perawat membawa gadis itu berjemur. Aku memberanikan diri mendekatinya. Aku tak lagi menggunakan kursi roda. Gadis itu tampak murung. Siapa yang tidak akan menjadi murung, manakala cahaya di matanya direngut paksa? Dan tragisnya, akulah yang telah merengut penglihatannya itu!
Gadis itu duduk bersandar di kursi rodanya. Kuletakan seikat mawar putih di pangkuannya. “Aku nggak tahu bunga apa yang kamu sukai. Mudah-mudahan bunga-bunga ini bisa menghiburmu.”
“Ka… kamu… siapa kamu?” Gadis itu meraih bunga mawar di pangkuannya.
“Aku bukan siapa-siapa,” aku duduk bersimpuh di hadapannya, “hanya seorang yang mengagumi kamu.”
“Kamu nggak sedang menggoda aku kan?”
“Kenapa?”
“Mana ada lelaki yang mau mengagumi gadis buta, dan lumpuh seperti aku.”
“Aku mau!” kuraih jemari tangannya. Dia sedikit terkejut. “Aku sungguh-sungguh!”
“Kenapa kamu begitu baik, padahal kita belum saling mengenal?”
“Karena aku bisa merasakan kepedihan yang sedang kau rasakan.”
“Kamu hanya mengasihani aku.”
“Tidak! Bukan kamu yang harus dikasihani, tapi aku.”
Gadis itu mengerutkan dahi.
“Leukemia,” ucapku lirih, “Itu alasan aku berada di rumah sakit ini.”
Kini ganti dia yang meraih jemari tanganku. Kurasakan hangat dalam genggamannya. “Tuhan sangat sayang kepada kita. Makanya, dia berikan cobaan ini, agar kita tidak mengingkari kuasa-Nya,” Dia coba menghibur aku. “Siapa nama kamu?”
“Namaku Bagaskara! Teman-teman biasa memanggilku Bagas.”
“Aku Ningrum!” suaranya masih lemah
Mulai detik itu aku dan Ningrum jadi sering menghabiskan waktu bersama. Berbagi beban dan airmata. Berbagi senyum juga tawa.
“Ning, seandainya saja orang yang menabrak kamu, yang menyebabkan kamu harus menghabiskan hari-harimu di dalam kegelapan di atas kursi roda, ada di hadapanmu, apa yang akan kamu lakukan terhadapnya?” tanyaku suatu ketika. Kulihat wajah ningrum mengeras. Aku bisa merasakan kebenciannya.
“Kenapa kamu menanyakan hal itu?”
“Hanya sekedar ingin tahu.”
“Aku akan memintanya mengembalikan penglihatanku!”
“Kamu begitu membenci orang yang menabrakmu?”
Ningrum meraba-raba wajahku dengan tagannya. “Orang itu yang telah menyebabkan aku tak dapat melihat wajahmu…,” gadis itu mendesah. Aku tak dapat membendung airmataku.
“Kenapa kamu menangis?”
Aku tak sanggup menjawabnya. Kupandangi wajah Ningrum. Wajah serupa bidadari yang begitu mempesona. Ah, seandainya saja kamu tahu siapa aku sebenarnya… kataku dalam hati. Kubenamkan wajahnya ke dalam dekapanku. Aku berjanji, Ning! Kamu akan bisa menikmati lagi warna-warni pelangi! Aku akan mengembalikan penglihatanmu!
^^^
Operasi mata Ningrum berjalan sukses. Kini dia dapat menikmati lagi keidahan cahaya mentari. Seseorang telah mendonorkan matanya kepadanya.
Aku hanya bisa menyaksikan kebahagiaan itu dari kejauhan, di mana jiwa-jiwa yang telah direngut dari raganya ditempatkan oleh Tuhan. Ajal telah menjemputku, lewat penyakit leukemia yang kuderita. Kuberikan penglihatanku kepadanya. Semoga itu bisa membuat Ningrum tidak membenciku lagi.
Ayah dan ibuku menjenguk Ningrum di ruangan tempatnya dirawat. Aku menceritakan segalanya kepada mereka sebelum ajal menjemputku. Dan mereka merestui aku menyerahkan bolamataku untuk gadis itu.
“Kedatangan kami ke sini, hanya ingin mengucapakan selamat atas kesembuhan kamu.” Ayahku menjelaskan maksud kedatangannya. “Sekaligus menyampaikan surat ini untuk kamu,” katanya lebih lanjut.
“Surat? Dari siapa?”
“Dari seorang yang begitu mencintai kamu. Yang rela memberikan matanya kepadamu.”
“Si… siapa dia?” tanya Dinda sangat ingin tahu.
“Anak kami!” jawab ibuku meneteskan airmata.
Ningrum segera menyobek amplop surat yang kutulis untuknya. “Bagas?” gadis itu memandang kedua orang tuaku. “Bagas yang telah memberikan matanya kepadaku?” Ayah dan ibuku mengangguk.
“Untuk apa dia melakukan itu?”
“Menebus kesalahannya kepadamu.”
“Kesalahan?” Ningrum semakin tak mengerti. “Apa yang telah dia lakukan kepadaku? Mengapa dia tidak datang bersama kalian?”
“Ibu yakin kalau saat ini dia sedang berada di kamar ini. Memperhatikan kamu.”
“Di kamar ini? Memperhatikan aku? Mana dia? Kenapa aku tak melihatnya”
Mendengar itu, ibuku tak mempu lagi membendung kesedihannya. Kulihat dia menangis sambil meninggalkan ruang tempat Ningrum dirawat. Ayahku segera menyusul langkahnya. Ningrum semakin tak mengerti. Dia menyobek amplop surat yang kutulis di ujung hidupku. Dan membacanya.
Manik airmata menguntai di kedua belah pipi Ningrum. Gadis itu menangis. “Bagaaaassss…!!!!”
Tiba-tiba. Seorang gadis melintas di depanku. Aku tak melihat dari mana datangnya. Lakas kuinjak pedal rem. Suara roda bercericit. Memekakkan telinga. Disusul suara keras.
Brrraaaaakkkkk!
“Aaaaaa…..!” tubuh gadis itu terpental, terkapar, bersimbah darah. Kulihat massa yang entah dari mana berlarian menghampiri tubuh gadis itu.
Kupacu Civic hitamku kencang. Kubiarkan gadis itu meregang nyawa. Hujan masih menyisakan rintiknya. Rembulan hanya mengintip saja. Menjadi saksi kepengecutan seorang lelaki. Aku!
Massa yang melihat kejadian itu, mencoba mengejar aku. Sia-sia. Lalu-lintas malam itu sangat lengang. Membuat aku leluasa melarikan kendaraanku dengan kecepatan tinggi. Massa yang mengejarku hanya bisa memaki dengan sejuta sumpah serapah yang tak sempat kudengar lagi.
Di dalam mobiku, aku sangat ketakutan. Nafasku tersengal seperti habis berlari ribuan mil. Kejam! Semua orang pasti akan berkata seperti itu. Jangankan mereka. Aku pun berkata yang sama pada diriku, mengutuki kepengecutanku.
Segalanya berawal dari vonis dokter yang harus kuterima. Secara tak sengaja, aku mendengar percakapan ayahku dengan dokter Handi, dokter keluarga kami. Dokter Handi mengatakan, kalau aku menderita leukemia, yang berdasarkan perhitungan medis, hidupku hanya tinggal hitungan bulan saja. Terlalu terlambat penyakit itu terdeteksi, kanker itu sudah menyebar luas. Dokter Handi berusaha meyakinkan ayah akan mukjizat Tuhan. Tapi tetap saja sulit bagiku menerima kenyataan pahit itu. Aku belum mau mati. Tiba-tiba aku teringat dengan gadis yang baru saja kutabrak Sial! Justru di ujung hidupku aku melakukan dosa yang sangat besar. Pembunuh! Apakah gadis itu mati?
Kuarahkan mobilku kembali ke rumah. Mudah-mudahan saja tak ada yang sempat mencatat nomer polisi mobilku. Setibanya di rumah, aku segera membenamkan diriku dalam kesunyian kamar yang kubiarkan tak bercahaya. Oh, Tuhan! apa yang harus ku perbuat? Pikiranku buntu. Terbayang di kepala, gadis itu sedang bertarung dengan maut yang menari-nari di atas lukanya. Atau malah saat ini dia telah mengghembuskan nafasnya? Bagaimana kalau dia meninggal? Aku tidak siap menanggung dosa itu. Bodoh sekali aku!
Aku harus kembali ke tempat itu! Tapi….bagaimana kalau massa masih ada di sana? Mereka pasti mengenaliku. Mereka pasti akan mengeroyok aku, atau lebih sadis lagi, mereka akan membakar aku hidup-hidup. Bukankah hal itu sudah sering terjadi.
Polisi?... Aha, sebaiknya aku menyerahkan diri ke polisi! Tapi itu berarti aku harus siap hidup di balik jeruji penjara. Penjara? Tempat itu terlalu asing bagiku. Yang aku tahu, begitu banyak penderitaan. Seharusnya aku tak perlu merasa takut dengan penderitaan. Bukankah, hidupku di dunia tak lama lagi? Aku tidak siap mengakhiri hidupku di balik jeruji besi. Aku tak mau mati sebagai terpidana. Tapi jika aku melarikan diri dari tanggung jawab, aku akan dikejar-kejar dosa.
Aku letih memikirkan itu. Pikiranku buntu. Tak ada pintu yang bisa kubuka. Aku tak dapat keluar dari permasalahan ini. Permasalahan yang menggerogoti jiwaku, juga kesehatanku.
Aku merasa tubuhku begitu lemas. Pasti penyakitku kambuh. Seribu kunang-kunang menari-nari di atas kepalaku. Aaahhh! Tubuhku tersungkur. Jatuh ke lantai. Aku tak sadarkan diri. Pingsan.
^^^
Aku terbaring tanpa daya di atas ranjang rumahsakit. Ayah dan ibu menunggui di sisi ranjang tidur. Sudah tiga hari aku tak sadarkan diri. Kecemasan terpendar di raut letih mereka. Maklum saja, aku merupakan anak sematawayang. Beban pikiran membuat penyakitku bertambah parah. Kondisi kesehatanku memburuk. Mungkin sebentar lagi akan datang waktuku. Aku hanya bisa pasrah. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menerima apa yang telah aku lakukan terhadap gadis yang kutabrak tiga malam lalu? Kenyataan itu semakin menyiksa aku. Bagaimana keadaannya? Apakah dia masih hidup? Atau sudah……
“Ya, Allah! Ampunilah dosa-dosaku?”
^^^
Sudah satu minggu aku berada di rumah sakit. Kondisiku memang tampak membaik. Tapi tak berarti apa-apa. Penyakit itu masih bersarang di dalam tubuhku. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya tinggal menunggu ajal menjemput. Yang bisa kulakukan kini hanya menikmati sisa-sisa waktuku. Tapi itu pun tak dapat kulakukan. Bayangan malam itu selalu melintasi benakku. Merajam. Memasung aku dalam parasaan berdosa.
Hangat mentari membelai lembut tubuhku. Kuhabiskan hari-hari di atas kursi roda.
Aku sedang menikmati sinar mentari pagi, ketika aku melintasi salah satu bangsal yang berada di kelas tiga. Seorang perawat mendorong kursi roda masuk ke dalam ruangan itu. Seorang gadis duduk di atas kursi roda itu.
“Apa yang menyebabkan gadis itu harus duduk di atas kursi roda, Suster?” Aku bertanya pada perawat yang tadi mendorong kursi rodanya, saat perawat itu keluar meninggalkan bangsal tempat gadis itu diawat.
“Korban tabrak lari!”
Tabrak lari? Tiba-tiba aku teringat dengan gadis yang kutabrak beberapa malam silam. Ah, jangan-jangan… “Kapan kejadiannya?”
“Kira-kira sepuluh hari yang lalu.” Lalu perawat itu mulai bercerita tentang kecelakaan yang menimpa gadis itu.
Tidak salah lagi! Ya, Tuhan! dia masih hidup! Gadis itu masih hidup! Gadis yang kutabrak sepuluh hari yang lalu. Aku telah merengut keceriannya, menggantikannya dengan kemurungan. “Boleh saya menjenguknya?”
“Silahkan…mungkin kamu bisa sedikit menghiburnya. Sejak peristiwa yang menimpanya, dia belum sekalipun mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.”
Aku masuk ke dalam kamar tempatnya dirawat. Aku bisa merasakan luka yang merengkah di hatinya.
“Boleh saya temani?”
Gadis itu meraba-raba, mencari tahu asal suaraku.
Jangan-jangan… Aku mengibas-ibaskan tanganku di depan wajahnya. Matanya tak bereaksi. Pandangannya kosong. Gadis itu buta!
“Siapa kamu?”
Ya. Tuhan! apa yang sudah kuperbuat terhadapnya? aku tak mampu menyaksikan kepedihan di matanya. Kutinggalkan gadis itu dalam kebingungan. Dari luar kamar, aku masih bisa melihat gadis itu mencari-cari orang yang baru saja menyapanya.
^^^
Pagi itu, kulihat perawat membawa gadis itu berjemur. Aku memberanikan diri mendekatinya. Aku tak lagi menggunakan kursi roda. Gadis itu tampak murung. Siapa yang tidak akan menjadi murung, manakala cahaya di matanya direngut paksa? Dan tragisnya, akulah yang telah merengut penglihatannya itu!
Gadis itu duduk bersandar di kursi rodanya. Kuletakan seikat mawar putih di pangkuannya. “Aku nggak tahu bunga apa yang kamu sukai. Mudah-mudahan bunga-bunga ini bisa menghiburmu.”
“Ka… kamu… siapa kamu?” Gadis itu meraih bunga mawar di pangkuannya.
“Aku bukan siapa-siapa,” aku duduk bersimpuh di hadapannya, “hanya seorang yang mengagumi kamu.”
“Kamu nggak sedang menggoda aku kan?”
“Kenapa?”
“Mana ada lelaki yang mau mengagumi gadis buta, dan lumpuh seperti aku.”
“Aku mau!” kuraih jemari tangannya. Dia sedikit terkejut. “Aku sungguh-sungguh!”
“Kenapa kamu begitu baik, padahal kita belum saling mengenal?”
“Karena aku bisa merasakan kepedihan yang sedang kau rasakan.”
“Kamu hanya mengasihani aku.”
“Tidak! Bukan kamu yang harus dikasihani, tapi aku.”
Gadis itu mengerutkan dahi.
“Leukemia,” ucapku lirih, “Itu alasan aku berada di rumah sakit ini.”
Kini ganti dia yang meraih jemari tanganku. Kurasakan hangat dalam genggamannya. “Tuhan sangat sayang kepada kita. Makanya, dia berikan cobaan ini, agar kita tidak mengingkari kuasa-Nya,” Dia coba menghibur aku. “Siapa nama kamu?”
“Namaku Bagaskara! Teman-teman biasa memanggilku Bagas.”
“Aku Ningrum!” suaranya masih lemah
Mulai detik itu aku dan Ningrum jadi sering menghabiskan waktu bersama. Berbagi beban dan airmata. Berbagi senyum juga tawa.
“Ning, seandainya saja orang yang menabrak kamu, yang menyebabkan kamu harus menghabiskan hari-harimu di dalam kegelapan di atas kursi roda, ada di hadapanmu, apa yang akan kamu lakukan terhadapnya?” tanyaku suatu ketika. Kulihat wajah ningrum mengeras. Aku bisa merasakan kebenciannya.
“Kenapa kamu menanyakan hal itu?”
“Hanya sekedar ingin tahu.”
“Aku akan memintanya mengembalikan penglihatanku!”
“Kamu begitu membenci orang yang menabrakmu?”
Ningrum meraba-raba wajahku dengan tagannya. “Orang itu yang telah menyebabkan aku tak dapat melihat wajahmu…,” gadis itu mendesah. Aku tak dapat membendung airmataku.
“Kenapa kamu menangis?”
Aku tak sanggup menjawabnya. Kupandangi wajah Ningrum. Wajah serupa bidadari yang begitu mempesona. Ah, seandainya saja kamu tahu siapa aku sebenarnya… kataku dalam hati. Kubenamkan wajahnya ke dalam dekapanku. Aku berjanji, Ning! Kamu akan bisa menikmati lagi warna-warni pelangi! Aku akan mengembalikan penglihatanmu!
^^^
Operasi mata Ningrum berjalan sukses. Kini dia dapat menikmati lagi keidahan cahaya mentari. Seseorang telah mendonorkan matanya kepadanya.
Aku hanya bisa menyaksikan kebahagiaan itu dari kejauhan, di mana jiwa-jiwa yang telah direngut dari raganya ditempatkan oleh Tuhan. Ajal telah menjemputku, lewat penyakit leukemia yang kuderita. Kuberikan penglihatanku kepadanya. Semoga itu bisa membuat Ningrum tidak membenciku lagi.
Ayah dan ibuku menjenguk Ningrum di ruangan tempatnya dirawat. Aku menceritakan segalanya kepada mereka sebelum ajal menjemputku. Dan mereka merestui aku menyerahkan bolamataku untuk gadis itu.
“Kedatangan kami ke sini, hanya ingin mengucapakan selamat atas kesembuhan kamu.” Ayahku menjelaskan maksud kedatangannya. “Sekaligus menyampaikan surat ini untuk kamu,” katanya lebih lanjut.
“Surat? Dari siapa?”
“Dari seorang yang begitu mencintai kamu. Yang rela memberikan matanya kepadamu.”
“Si… siapa dia?” tanya Dinda sangat ingin tahu.
“Anak kami!” jawab ibuku meneteskan airmata.
Ningrum segera menyobek amplop surat yang kutulis untuknya. “Bagas?” gadis itu memandang kedua orang tuaku. “Bagas yang telah memberikan matanya kepadaku?” Ayah dan ibuku mengangguk.
“Untuk apa dia melakukan itu?”
“Menebus kesalahannya kepadamu.”
“Kesalahan?” Ningrum semakin tak mengerti. “Apa yang telah dia lakukan kepadaku? Mengapa dia tidak datang bersama kalian?”
“Ibu yakin kalau saat ini dia sedang berada di kamar ini. Memperhatikan kamu.”
“Di kamar ini? Memperhatikan aku? Mana dia? Kenapa aku tak melihatnya”
Mendengar itu, ibuku tak mempu lagi membendung kesedihannya. Kulihat dia menangis sambil meninggalkan ruang tempat Ningrum dirawat. Ayahku segera menyusul langkahnya. Ningrum semakin tak mengerti. Dia menyobek amplop surat yang kutulis di ujung hidupku. Dan membacanya.
Dear Ningrum
Teralalu banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Tapi tubuhku terlalu lemah. Aku tahu, ajalku segera akan tiba. Tapi sebelum aku menutup mata, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Sesuatu itu mungkin akan membuat kamu membenciku. Tak apa buatku. Aku sudah cukup senang jika bisa mengembalikan penglihatanmu. Sesungguhnya, akulah yang telah merengut penglihatanmu. Aku yang menabrakmu malam itu. Maafkan aku karena tidak berterus terang kepadamu? Maafkan aku?
Manik airmata menguntai di kedua belah pipi Ningrum. Gadis itu menangis. “Bagaaaassss…!!!!”
Depok, 24 Agustus 2004
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini