Cerpen Denny Prabawa (Jawa Pos, 26 Agustus 2012)
Pendekar belia itu muncul dari balik kabut dengan menunggang seekor kuda putih. Cahaya purnama bagaikan lampu sorot di atas pangung pertunjukan. Menerpa wajahnya yang betapapun belianya tetaplah wajah seorang petarung yang bagaikan sebongkah batu. Matanya setajam pedang najma yang diselempangkan di belakang punggungnya.
Orang-orang mengenalnya sebagai Ajichāya bukan karena itu nama sebenarnya. Tak ada yang tahu nama sebenarnya. Ia seolah-olah mengada begitu saja. Tak punya asal-usul. Nama itu diberikan kepadanya karena setiap kali mengeluarkan pedang najma dari dalam sarungnya, bintang-bintang seolah bersekutu dengan dirinya. Demikianlah, setiap gerik-gerak jurus pedangnya mampu memendarkan cahaya kemilau maka mulailah orang-orang memanggilnya Ajichāya.
Aku mengenal dirinya dalam sebuah pertarungan tak seimbang pada suatu malam tanpa bintang. Sepasukan balatentara kerajaan Bahuśāstra mengepungnya di atas Bukit Aksara. Entah karena sebab apa. Dari bisik-bisik angin yang sampai di telingaku, Ajichāya dituding telah menodai kesakralan Bukit Aksara. Ia gemar mengasah jurus-jurusnya di atas bukit itu. Tiap ayunan jurus pedangnya mampu memahat tiap lekuk-liku Bukit Aksara sehingga betapapun bukit itu masihlah Bukit Aksara yang sama, tetapi orang-orang tak lagi mengenali bentuknya seperti semula. Jurus-jurus pedang Ajichāya bagaikan gempa yang mampu melongsorkan bebukit batu.
Angin yang berembus pelan. Kemerosek reranting pepohonan. Suara gemericik air sungai. Alam menghadirkan simfoni yang kontras dengan wajah-wajah orang-orang di atas Bukit Aksara; keras dan cemas. Tapi tidak dengan wajah Ajichāya. Seluruh gerakannya setenang suasana alam di bukit itu. Tangan kanannya menggenggam pedang najma yang masih tersarung di balik punggungnya. Tangan kirinya bersiaga sambil merasai gerak-gerik orang-orang di sekelilingnya. Ia tengah menunggu.
Waktu beku. Dalam kebekuan itu, seorang prajurit menggerakkan lembingnya nyaris tanpa suara. Namun, gerak itu tertangkap telinga Ajichāya. Serupa cahaya, ia bergerak seraya mengeluarkan pedang najma dari sarungnya. Menerjang ke muasal suara. Dalam sekejap, ujung pedang najma sudah menyentuh kening prajurit itu, tapi tak ia teruskan.
“A… ampuuuun,” ucap prajurit itu seperti bisikan angin di suatu lembah tanpa pepohonan. Ajichāya segera menarik pedang najma. Prajurit itu tersungkur tanpa luka sedikit pun.
Lalu terdengar perintah menyerang. Pertarungan tak mungkin lagi dihindarkan. Setiap ujung pedang dan lembing balatentara Bahuśāstra mencari tubuh Ajichāya. Pemuda belia itu mengentakan kedua kakinya, kemudian melesat ke udara sebelum nangkring di sedahan pohon. Prajurit pemanah segera mengirimkan anak-anak panah ke arah Ajichāya yang betapapun tepat sasarannya tak pernah sampai menyentuh tubuh Ajichāya. Pendekar belia itu meluncur berputar menciptakan puting beliung ke arah para penyerangnya. Sebentar saja, balatentara Bahuśāstra porak poranda. Lintang pukang meninggalkan Bukit Aksara.
Suasana sejernih malam di musim tanam. Ketika hendak meninggalkan Bukit Aksara dengan kuda putihnya, tiba-tiba ia melompat ke sebatang pohon tempat aku menyaksikan segalanya. Ujung pedang najma menempel di caping yang kukenakan.
“Siapa kau, Kisanak?” tanyanya menyelidik.
“Aku hanya peladang yang suka menyaksikan pendekar belia memainkan jurus pedangnya.”
“Apakah kau menikmati jurus pedangku?”
“Jurus yang luar biasa, nyaris tanpa cela,” kataku, “apakah kau mempelajarinya dari kitab Empu Ajidarma?”
Ajichāya menurunkan pedangnya. Betapapun rimbun pepohonan menyembunyikan wajahnya dari cahaya bulan, tetapi masih bisa kulihat matanya yang terluka. Apakah kata-kataku sudah mengecewakannya? Sebelum sempat aku bertanya, dia sudah melompat ke atas kudanya dan menghilang di balik kabut tanpa berkata sepatah pun.
Namun, entah bagaimana, Ajichāya bisa menemukanku ketika aku tengah menyaru jadi pedagang guci di pasar loak. Orang-orang yang melihat kedatangannya langsung mengelu-elukan kehebatannya. Setelah peristiwa di Bukit Aksara, nama Ajichāya kian karib di telinga rakyat jelata yang paling awan ilmu pedang sekali pun. Sudah purna sabar di hati rerakyat jelata dengan kelakuan balatentara Bahuśāstra yang suka berbuat ulah. Namun, tak seorang berani melawanya. Kemenangan Ajichāya seolah jadi kemenangan mereka.
“Ada yang ingin kuperlihatkan kepadamu,” katanya dari atas kuda putihnya, “apakah Kisanak berkenan turut denganku?”
Aku tak mau membuat seisi pasar semakin penasaran. Mengapa pendekar belia yang tengah jadi buah bibir itu tiba-tiba menemui seorang penjual guci bekas? Tanpa menjawab permintaannya, aku melompat ke atas punggung kudanya. Kuda itu berlari hampir seperti terbang. Lesat. Lebih cepat dari cahaya pagi yang malu-malu menerobos rerimbut daun. Tak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di atas Bukit Aksara.
Ajichāya melemparkan sebilah pedang kepadaku. Lalu. Tanpa seucap kata, ia mengeluarkan pedang najma dari sarungnya dan menyerangku sepenuh tenaga. Matahari yang baru saja memulai kembara harinya berubah jadi gadis minder dengan wajah penuh bintik menyaksikan kilauan pedang najma yang seolah ditempa dengan api dari sebuah bintang terbesar di jagat raya.
Aku berusaha menghindari sabetan pedangnya dengan tidak mudah, meski sudah kuketahui setiap gerik-geraknya. Jurus pedang yang digunakannya bagai sebuah kitab yang telah berkali-kali tamat kubaca sehingga betapapun ia berusaha memberikan kejutan pada beberapa halaman kitab itu, tetap saja sudah kuketahui kesudahannya. Bagiku, jejurus itu bagaikan sebuah tembang yang telah menjadi bagian dari isi kepalaku.
Kemudian dia melesat ke udara dan bergerak bagaikan angin timur dengan ujung pedang yang tegak lurus ke arahku. Rupanya dia telah mencapai tingkat yang di luar dugaan. Terpaksa aku mengeluarkan pedang pemberiannya untuk menahan serangan itu dengan jurus puting beliung seperti yang pernah dipertontonkan Ajichāya di Bukit Aksara dengan berbagai variasinya. Dan ketika pedang kami saling beradu, cahaya di Bukit Aksara pagi itu seperti terik siang hari tanpa segumpal awan yang menghalanginya. Suaranya gemuruh mengguntur.
Begitulah, kami berdiri saling berhadapan di atas Bukit Aksara dengan pedang yang menancap di tanah. Tak ada yang terluka kecuali hatinya, barangkali. Aku hanya menduga dari sinar matanya yang membadai.
“Kau mampu menghindari seluruh seranganku,” katanya mengeluh.
“Aku sudah membaca hampir seluruh kitab Empu Ajidarma.”
“Sudah kuduga. Mengapa kau suka menyaru?” tanyanya tanpa memandang ke arahku.
“Aku bosan menjadi diriku,” jawabku, “ternyata menjadi orang lain bisa juga menyenangkan.”
“Aku ingin jadi diriku sendiri!”
“Kau bisa menemukan dirimu dengan menjadi orang lain.”
“Tapi aku ingin menjadi diriku yang tidak seperti orang lain.”
“Kalau begitu kau harus membunuh setiap orang.”
Ajichāya terdiam, barangkali berpikir, sebelum pergi bersama kuda putihnya. Sejak itu, aku tak pernah barsua kembali dengannya. Sampai suatu malam, pendekar belia itu muncul dari balik kabut dengan menunggang seekor kuda putih. Cahaya purnama bagaikan lampu sorot di atas pangung pertunjukan. Menerpa wajahnya yang betapapun belianya tetaplah wajah seorang petarung yang bagaikan sebongkah batu. Matanya setajam pedang najma yang diselempangkan di belakang punggungnya.
“Aku akan membunuh Ajidarma,” begitu kata Ajichāya bersungguh-sungguh. Ia melemparkan buntalan kain ke arahku. “Bakar saja kitab-kitab Empu Ajidarma itu, agar tak ada lagi pendekar muda yang kehilangan dirinya seperti diriku.”
Selepas berucap, Ajichāya segera menarik tali kekang kudanya sehingga kuda itu membelakangiku sebelum berlalu meninggalkan kepulan debu di wajahku. Ah, sial mengapa hari ini aku harus menyaru jadi pengemis buta? Mengapa tidak menjadi saudagar kuda atau setidaknya tukang memandikan kuda saja. Andai ada seekor kuda untuk mengejarnya. Sementara itu, Ajichāya bersama kuda putihnya telah menghilang di balik kabut.
Aku harus segera mengejarnya. Aku tahu di mana Empu Ajidarma bersemedi sambil menciptakan jurus-jurus pedang terbaru untuk kemudian dituliskannya di atas berlembar-lembar lontar dan disebarkan ke delapan penjuru mata angin. Hanya orang-orang beruntunglah yang dapat menemukan kitab-kitab itu. Dan aku salah satu dari segelintir orang yang beruntung itu.
Begitulah, sebelum menyusul Ajichāya, kusinggahi gua batu di kaki Bukit Cakrawala. Mulut gua itu tampak benderang oleh sinar pedang matari yang kutancapkan di atas sebuah dinding gua. Setelah sekian lama tak menyentuh pedang itu, hari ini pedang matari akan menuliskan sebuah riwayat kembali.
Aku bersiul. Seekor kuda berwarna kabut datang menghampiri mulut gua. Segera aku melompat ke atasnya. Menuju sebuah bukit di mana senja tak pernah pudar, bukan karena matahari tersangkut di cakrawala, melainkan bersebab pedang senja yang tertancap di puncak bukit itu. Pedang senja milik Empu Ajidarma. Konon, dari tukang cerita yang suka ngibul di pasar-pasar, pedang itu dibuat dari lempengan senja yang dikerat oleh seorang pujangga dari sebuah negeri di mana matahari tak pernah tenggelam. Dengan cahaya senja itulah, pedang senja ditempa.
Sejak mengundurkan diri dari dunia persilatan dan memilih bersamadi di puncak bukit tak bernama, Empu Ajidarma menancapkan pedangnya di puncak bukit itu. Sejak itulah, cahaya senja yang merah keemasan tak pernah memudar di atas bukit tak bernama, meski malam yang betapapun kelamnya menyelimuti langit di atas bukit itu. Begitulah, orang-orang mulai menyebutnya Bukit Senja.
Tak banyak orang yang pernah melihat tempat itu. Serupa angin yang berhembus dari celah reranting pepohonan, cerita itu mengalir dari mulut para pengembara yang tanpa sengaja melintasi tempat itu. Namun, ajaibnya, setiap mereka mau kembali ke bukit itu, tak pernah mampu menemukannya betapapun mereka telah membuat peta dengan sangat teliti. Bukit itu seperti sebuah mitos yang hanya bisa ditemukan dalam tuturan mulut para pengembara.
Barangkali, hanya aku, yang pernah pergi ke tempat itu dan memanjat hingga ke puncaknya. Kukatakan barangkali sebab aku tak tahu ada yang pernah memanjat Bukit Senja, tapi tidak menutup kemungkinan ada, hanya saja aku tak tahu.
Berpuluh tahun lalu. Ketika usiaku sebelia Ajichāya. Ketika pedangku masih haus darah. Waktu itu, jarakku hanya tinggal selemparan tombak darinya. Empu Ajidarma tampak khusyuk dalam samadinya. Sekujur tubuhnya dirambati tetumbuhan. Konon, begitulah cara dia menciptakan jurus-jurus pedangnya. Dia hanya memikirkannya dengan bersamadi. Jika telah sempurna dalam pikirannya, dia akan menuliskannya pada lembar-lembar lontar sebelum disebar ke delapan penjuru mata angin. Ah, betapa dahsyat kekuatan pikiran.
Dari tempatku berdiri, aku bisa dengan mudah mengalamatkan pedang matari ke dadanya. Mengapa dia tampak begitu tenang, meski aku yakin dia mengetahui kehadiranku. Apakah tetumbuhan yang merambati tubuhnya semacam perisai yang mampu mementahkan tiap jurus pedang siapa pun?
Dengan gemetar, kukeluarkan pedang matari dari sarungnya, nyaris tanpa suara. Tanpa suara pula aku menerjang dengan pedang matari terhunus ke dada Empu Ajidarma. Tak segerakan pun dari Empu Ajidarma yang bisa kuduga akan ia kerahkan untuk menahan seranganku. Ia seperti benda mati. Apakah ia sudah bosan menjalani kehidupan dan memilih mati di tangan salah seorang “murid”-nya? Atau ia berpikir bahwa dengan membunuhnya sesungguhnya aku tengah membunuh diriku sendiri?
Ujung pedang matari nyaris menempel di dada Empu Ajidarma, sebelum aku menghentikannya. Selama ini, orang-orang mengenalku sebagai pendekar belia titisan Empu Ajidarma. Kematiannya, bisa berarti kematianku. Demikianlah, angin mencatat peristiwa di puncak Bukit Senja dan mengabarkannya kepada tiap pendekar pedang. Sejak itu, kuputusan untuk mengasingkan diri dari dunia persilatan. Menyaru dari satu peran ke lain peranan. Sampai aku menemukan Ajichāya di Bukit Aksara. Jarum jam seolah berputar berlawanan arah. Waktu surut ke belakang. Dalam diri pendekar belia itu, aku menemukan diriku.
Aku tidak tahu, matahari telah sampai di garis waktu yang mana, ketika aku tiba di kaki Bukit Senja. Bukankah tempat itu hanya mengenal waktu senja? Kabut tebal yang menyelimuti bukit itu sia-sia menampakkan wujudnya. Ia hanya bisa dirasa melalui dingin yang merambati permukaan kulit, tanpa bisa dikenali bentuknya. Segalanya senja di bukit itu sehingga aku tak mampu membedakan waktu.
Tak ada tetanda yang bisa jadi isyarat kehadiran Ajichāya di bukit itu. Apakah dia tak berhasil menemukan tempat ini? Melihat kesempurnaan jurus-jurus pedangnya, agaknya bukan hal mengherankan jika ia bisa menemukan tempat ini. Barangkali aku harus menunggu.
Entah sudah berapa detik yang dilepaskan dari busur waktu. Tak sejenak pun pandang kualihkan dari Bukit Senja. Telinga dan indera perasaku bersiaga menangkap tiap perubahan gerak dan suhu di kaki bukit itu. Akhirnya, tanda itu datang juga. Kuperhatikan reranting pohon bergoyang ke arah Bukit Senja. Telingaku menangkan gerik-gerak yang betapapun kedapnya tak mebuatku alpa mendengarnya. Kulihat Ajichāya melesat dari atas pundak kudanya, mendaki Bukit Senja dengan pedang najma yang telah keluar dari sarungnya.
Aku bergegas mencabut pedang matari dan bersegera mengejar Ajichāya. Namun, baru saja hendak kujejak tebing cadas menuju puncak bukit itu, mataku menangkap bebeberapa sosok bayangan melesat memburu ke arah Ajichāya. Sosok yang betapun lesatnya, masih mampu kukenali gerik-geraknya di balik topeng ninja itu. Aku memang telah lama meninggalkan dunia persilatan, tapi bukan hal yang terlalu sulit mengenali sosok-sosok itu. Agaknya, hampir seluruh pendekar titisan Empu Ajidarma hadir di Bukit Senja. Barangkali mereka yang telah menghambat hingga Ajichāya terlambat datang ke tempat ini.
Ah, sepertinya tak perlu kulanjutkan pengejaranku. Mereka pasti mampu menamatkan riwayat Ajichāya. Tak ada di antara kami yang bersedia mati. Bukankah kematian Empu Ajidarma bisa berarti kematian seluruh titisannya? Kusarungkan kembali pedang matari sambil meninggalkan bukit itu.
Balai Pustaka, 11 Juli 2011 16:06 WIB
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini