Kakek dari Jamie Aditya
Pasti sering dengar nama Jamie Aditya, dong? Itu loh, mantan VJ MTV, musisi, dan aktor yang pernah jadi juri Indonesian Idol. Ati Ashyawati, putri Achdiat menikah dengan pria berkebangsaan Australia. Dari pasangan itu, lahirlah seorang anak bernama Jamie Aditya, cucu Achdiat.Seorang guru Taman Siswa
Setamat AMS (SMA zaman dahulu) jurusan Sastra-Budaya Timur, Achdiat bekerja sebagai guru Taman Siswa di daerah Kemayoran, Betawi. Ketika itu, ia digaji sebesar 20 gulden.
Buka warung kelontong
Setelah tidak menjadi guru, Achdiat tinggal di Bandung, tepatnya di gang Kebon Manggu. Di tempat itu, ia membuka warung kelontong yang menjual keperluan sehari-hari, seperti beras, kayu bakar, ikan asin, gula, garam, terasi, dan keperluan rakyat kecil lainnya. Di warung itulah, anak pertamanya dilahirkan.
Wartawan lepas pemilik pabrik kue dan roti
Setelah anak pertamanya lahir, Achdiat membeli pabrik kue dan roti dari seorang China yang bangkrut karena kalah judi. Sambil mengelola pabrik kuenya, ia menjadi wartawan freelance di berbagai surat kabar berbahasa Indonesia, Sunda, dan Belanda.Ditawari kerja di Balai Pustaka
Suatu sore di hari Sabtu, Achdiat kedatangan tamu dari Jakarta. Tamu itu bernama Raden Satjadibrata, seorang pengarang terkenal dari Sunda yang bekerja di Balai Pustaka. Ia datang sebagai utusan pemimpin Balai Pustaka untuk menawarkan pekerjaan kepadanya. Meski sebenarnya enggan menjadi ambtenar (pegawai pemerintah), ia menanyakan juga prihal jabatan dan gajinya. Kata Raden Satjadibrata, Achdiat akan bekerja sebagai volontair (pegawai magang) selama 3 bulan dengan gaji 40 gulden. Setelah itu, ia akan diangkat jadi adjunct hoofdredacteur (wakil redaktur kepala) dengan gaji 70 gulden.
Keuntungan Pabrik
Setelah mendengar pemaparan utusan Balai Pustaka, Achdiat masuk ke rumahnya mengambil buku catatan keuangan pabriknya. Menir Satja hampir tidak percaya ketika melihat jumlah keuntungan bersih pabrik itu sebesar 150 gulden perbulan. Untuk ukuran zaman itu, penghasilan segitu lebih dari lumayan untuk sebuah keluarga muda yang baru punya anak satu.Bekerja di Balai Pustaka
Meskipun enggan menjadi pegawai pemerintah yang penghasilannya lebih rendah dari keuntungan pabrik kue dan rotinya, Achdiat menerima juga tawaran tersebut. Ia menerima tawaran itu demi membahagiakan ibunya yang menginginkan anaknya menjadi ambtenar sebagaimana ayahnya.Di Balai Pustaka, Achdiat ditempatkan di bagian Sunda. Tugasnya menyeleksi naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi akan dimuat di majalah Parahiyangan atau diterbitkan sebagai buku.
Karya yang hilang
Selain menyeleksi naskah, Achdiat juga menulis sendiri karangan-karangan dalam bahasa Sunda. Salah satu yang pernah disusunnya adalah bunga rampai saduran cerita pantun Sunda yang terkenal, seperti Raden Mundinglaya di Kusumah dan Lutung Kasarung. Namun, ketika Jepang masuk dan menguasai Balai Pustaka, naskah itu hilang. Padahal, hanya tinggal naik cetak saja.
Menumpang di rumah H.B. Jassin
Setelah Jepang menjajah Indonesia, Achdiat keluar dari Balai Pustaka. Begitu pun ketika zaman Revolusi Kemerdekaan, ia tak berhubungan lagi dengan Balai Pustaka. Saat terjadi Konverensi Meja Bundar di Belanda, Achdiat bersama istri dan ketiga anaknya yang kecil-kecil, turun dari daerah griliyawan di lereng Gunung Telaga Bodas. Ia pergi ke Jakarta. Di Jakarta, mereka sekeluarga tinggal di rumah H.B. Jassin di jalan Rasamala, Tanah Tinggi.Menulis Atheis di halaman belakang rumah Jassin
Selama masa Revolusi Kemerdekaan, Jakarta dikuasi oleh Belanda. Sebagai kaum Republik, Achdiat enggan bekerja lagi untuk Belanda. Selama itu, ia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjual barang-barang miliknya. Kalau keuangan mereka menipis, kadang-kadang Jassin membantu.
Dalam suasana begitu, Achdiat menulis novel Atheis. Ia menulis di halaman belakang rumah Jassin, di bawah pohon jambu yang rindang. Novel itulah yang kemudian membuat namanya menjadi sangat terkenal sampai ke mancanegara.
Kembali ke Balai Pustaka
Saat tengah menulis novel Atheis, salah seorang penulis yang pernah menduduki jabatan penting di Balai Pustaka menemuinya. Nama pengarang itu, K. St. Pamuntjak. Ia juga seorang Republikan. Pada masa itu, para intelektual Indonesia terpacah dalam dua kutub yang berbeda, yakni kaum Republik dan kaum Federal.Pamuntjak mengajak Achdiat menduduki jabatan-jabatan penting di Balai Pustaka agar posisi itu tidak diisi oleh kaum Federal. Akhirnya, ia penuhi permintaan itu dan kembali ke Balai Pustaka.
Honor Atheis untuk bangun rumah
Atheis, novel pertamanya yang ditulis di halaman belakang rumah Jassin diterbitkan Balai Pustaka. Novel itu mendapat sambutan yang luar biasa. Dari novel itu, ia mendapat honor yang sangat besar. Honor itu cukup untuk membangun sebuah rumah di jalan Tembaga, Galur, Jakarta Pusat.
Menarik Atheis dari Balai Pustaka
Setelah mengajar di Australia, ada orang yang ingin membeli Atheis cetakan terbaru. Namun sayangnya, buku itu sudah lama tidak dicetak lagi oleh Balai Pustaka meski stoknya sudah habis. Penerbit Dian Rakyat milik Sutan Takdir Alisjahbana berminat sekali menerbitkan ulang buku itu. Akhirnya, Achdiat menulis surat ke Balai Pustaka. Taslim Ali, penyair mistikus, yang bekerja di Balai Pustaka membalas suratnya. Buku itu merupakan buku prestis bagi Balai Pustaka dan akan segera dicetak ulang. Demikianlah, hingga kini, buku tersebut masih dicetak ulang oleh Balai Pustaka. []
*Artikel ini pernah dimuat di spoila.net
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini