Saat Bunda Pergi ke Pasar

Oleh Denny Prabawa


Sudah pukul 6 pagi, tapi Tabing dan Rayya belum bangun tidur. Biasanya, jam segitu kakak beradik itu sudah mandi. Ayah sudah berangkat kerja sejak pukul 5 pagi. Setelah Ayah berangkat, Bunda beres-beres rumah. Hingga Bunda menyelesaikan pekerjaan rumah, anak lelaki berusia 4 tahun dan anak perempuan berusia 2 tahun itu belum juga bangun.
Bunda jadi bingung karena ia harus pergi ke pasar. Kalau menunggu kedua anaknya bagun, pasti kesiangan ke pasar. Kalau kesiangan, nanti tidak kebagian sayuran dan ikan segar. Bunda sudah berusaha membangunkan Tebing dan Rayya, tapi tidak berhasil. Mau membangunkan paksa, ia tidak tega. Wajah Tebing dan Rayya tampak sangat kelelahan.
Bunda mendengar suara pintu pagar rumah dibuka. Ia lekas mengenakan jilbab sebelum keluar rumah. Ternyata, pagar rumah sebelah yang dibuka. Zavira, sepupu Tebing dan Rayya yang tinggal bersebelahan, sedang menyapu jalanan. Kebetulan! Ujar Bunda dalam hati.
“Kakak Zavira, Bude mau pergi ke pasar,” katanya, “bisa titip Tebing dan Rayya sebentar?”
“Siap, Bude Hafi,” jawab Zavira.
“Kakak Zavira tolong dengar-dengar saja,” ujar Bunda, “kalau dengar suara tangisan, tolong Kakak temani adik-adik dulu ya.”
Zavira mengacungkan jempolnya. Bunda sedikit lebih tenang. Begini keuntungan bertetangga dengan keluaraga sendiri. Bisa saling bantu. Tapi… pukul 7.30 Zavira harus pergi ke sekolah. Ia sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Jadi, Bunda harus sudah kembali sebelum ia berangkat ke sekolah. Bunda tidak membuang waktu lagi, ia segera berangkat ke pasar.
Setengah jam setelah Bunda berangkat ke pasar, Tebing ngulet-ngulet di atas kasurnya. Barangkali karena tidak mendengar suara siapa-siapa, Tebing jadi curiga. Ia segera membuka mata lalu bangkit dari tidurnya. 
“Bun… Bunda!” panggil Tebing. Tapi tidak ada jawaban. 
Tebing beranjak dari kasurnya. Ia melihat Rayya masih tertidur di kasur Bunda. Rumah mereka memang tidak memiliki kamar. Hanya sekat-sekat saja untuk membatasi antara ruang tamu, ruang untuk tidur, dan dapur. Karena hawa panas, Tebing dan Ayah menggelar kasur dekat jendela. Setiap malam, jendela itu dibiarkan sedikit terbuka agar angin bisa masuk. Bunda dan Rayya tidur di kasur lainnya.
Tebing berpikir, barangkali Bunda sedang masak atau mandi. Ia berlari ke ruangan paling belakang. “Bun… Bunda!”
Di dapur, Tebing tidak menemukan Bunda. Ia melongok ke dalam kamar mandi yang lampunya menyala tapi pintunya dibiarkan sedikit terbuka. Bunda juga tidak ada di sana. Oya, ada satu ruangan lagi di rumah Tebing. Di ruangan itu terdapat lemari-lemari pakaian. Ruangan itu persis di sebelah dapur. Tadi, Tebing melewatinya, tapi karena lampu ruangan itu padam ia mungkin tak melihat Bunda. Ia segera berlari ke ruangan itu. Bunda juga tidak ada di sana.
Tiba-tiba saja Tebing merasa ketakutan. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun, belum sempat ia menangis, ia mendengar suara adiknya memanggil-manggil Bunda, minta dibuatkan susu. Tebing segera menghampiri Rayya yang masih berguling-guling di atas kasurnya.
“Sus! Sus!”
“Ayya mau minum susu?” tanya Tebing. Rayya tidak menyahut. Ia terus berguling-guling sambil menangis memanggil-manggil bundanya. 
 Tebing segera berlari ke belakang. Dibukanya pintu kulkas. Di dalam kulkas ada beberapa susu kotak. Tebing mengambil rasa strawberi 1 dan rasa cokelat 1. Setelah itu, ia kembali menghampiri Rayya.
Melihat Tebing membawa susu kesukaannya, Rayya berhenti menangis. Rayya bangkit dari tidurnya. Ia duduk di tepi kasur. 
Tebing mencabut sedotan lalu membuka plastiknya. Susah payah ia mencobloskan sedotan itu ke dalam kotak susu cair. Berhasil! Tapi wajahnya terciprat air susu. Melihat wajah Tebing belepotan susu, Rayya tertawa terbahak-bahak. Tebing ikut tertawa. Ia menyerahkan susu strawberi kepada Rayya. Setelah itu, kembali mencobloskan sedotan ke susu kotak rasa cokelat miliknya. Sekali lagi, wajahnya kecipratan air susu. Sekali lagi, kakak beradik itu tertawa-tawa. 
Barangkali, Zavira mendengar suara tawa adik-adik sepupunya itu. Ia segera membuka pintu rumah. Melihat Zavira datang, Tebing dan Rayya berlari menghampiri kakak sepupunya itu. Dengan bangga, mereka memperlihatkan susu kotak yang sedang mereka minum. 
“Kakak! Kakak!” kata Rayya kepada Zavira sambil menunjuk-nunjuk wajah tebing yang berlumuran susu.
Zavira tertawa melihat wajah Tebing. Rayya ikut tertawa. Begitu juga dengan Tebing. Zavira segera mengambil handuk kecil dari jemuran yang ada di teras rumah. Ia membersihkan wajah Tebing dari cipratan susu.
“Bunda!” teriak Tebing. Rayya dan Zavira menoleh keluar rumah. Bunda tengah menaiki undakan di muka rumah sambil menenteng belanjaan. Melihat anak-anaknya tidak menangis karena ditinggalkan ke pasar, Bunda tampak bahagia.
“Tebing pintar, Bunda!” kata Tebing.
“Sus! Sus!” Rayya mengacungkan susu kotak yang sudah habis diminumnya.
“Tebing yang ambilin susu untuk Rayya, Bude,” terang Zavira, “wajahnya sampai kecipratan susu.”
“Sus! Sus!” Rayya menunjuk-nunjuk wajah Tebing.
“Muka Tebing kena sus-sus, Bunda!” ujar Tebing sambil tertawa girang.
“Tebing pintar!” puji Bunda, “Rayya dan Kakak Zavira juga pintar!”
Bunda menurunkan kantong belanjaannya. Ia mengambil es krim dari dalam salah satu kantong plastik. “Satu untuk Tebing, satu untuk Rayya, dan dua untuk Kakak Zavira.”
“Kakak kok dapat dua, Bude?” tanya Zavira.
“Satu untuk Zahira,” kata Bunda.
“Oh, iya,” ujar Zavira, teringat kepada adiknya yang seumuran dengan Rayya. “Terima kasih, Bude.”
“Terima kasih juga ya,” kata Bunda, “Kakak Zavira sudah bantu jagain Tebing dan Rayya.”
Mereka kemudian menikmati es krim pemberian Bunda.



Jalan Bunga, 20 November 2013
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini