Dimuat di Majalah Annida
“Karena gunung itu ada di sana!” begitu jawab George Leigh Mallory ketika didesak wartawan yang menanyakan, mengapa dia begitu berhasrat ingin menaklukkan puncak Everest yang berada pada ketinggian 8.850 Mdpl.
8 Juni 1924.
Mallory dan Andrew Irvine meninggalkan tendanya di base camp, menuju puncak
tertinggi di dunia, Sagarmatha atau dewi langit, begitu penduduk Nepal menamai
gunung itu. Sedang penduduk Tibet menamainya dengan Jomolugma yang artinya sang
dewi, ibu dunia.
Kabut yang
menyelimuti bagian atas piramid, menyebabkan gerak kedua pendaki yang berasal
dari Inggris itu sulit dipantau oleh rekan-rekan setim mereka yang berada di
base camp. Pukul 12.58 siang, untuk sesaat awan tebal yang menyelimuti puncak gunung
tersibak oleh angin. Salah seorang anggota tim, Noel Odell melihat sekilas
namun jelas, sosok Mallory dan Irvin yang bergerak lamban, jauh di lereng
sekitar puncak. Dan itu merupakan kali terakhir kedua pendaki itu terlihat.
Mereka tak pernah kembali ke basecamp. Keduanya raib ditelan badai. Mengapa
kedua pendaki itu memilih melanjutkan pendakian, padahal cuaca sangat tidak
memungkinkan?
Seperti George
Leigh Mallory, mungkin aku akan menjawab yang sama jika seseorang menanyakan
kepadaku, mengapa aku begitu menyukai kegiatan mendaki. Ya. Because it’s there!
Karena gunung itu ada di sana. Aku tidak akan pernah bisa menjawab, kenikmatan
apa yang aku dapat dari pendakian-pendakianku ke puncak gunung. Aku hanya bisa
merasakan tanpa bisa mengungkapkan dengan bahasa kata atau apapun juga.
Mendaki gunung
membuat aku seperti memiliki tujuan. Puncak! Tapi itu dulu, ketika baru pertama
kali aku menjejakkan kaki di Gunung Gede. Kini, aku baru tahu, apa sesungguhnya
tujuan dari pendakian setelah beberapa kali aku menjejakkan kaki di puncak
gunung. Pada hakekatnya, tujuan dari pendakian bukanlah puncak, tapi proses
menuju puncak dan kembali ke tengah-tengah keluarga dengan selamat! Bukan.
Bukan puncak gunung yang harus kita taklukkan. Tapi diri kita sendiri! Ya, diri
kita sendiri. Karena hanya orang-orang yang mampu mengalahkan dirinya sendiri
akan mampu menjejakkan kaki di puncak gunung.
Terlalu banyak
tragedi yang terjadi dalam pendakian ke puncak-puncak gunung. Bukan hanya
pendaki-pendaki pemula saja yang mengalaminya. Tahun 1996, gunung Everest
menelan korban pendaki-pendaki terbaik. Rob Hall, Andy Haris, Scott Fisher dan
masih banyak lagi. Di gunung Gede, tak terhitung jumlah prasasti yang tersebar
di lembah Surya Kencana ataupun Mandalawangi demi menghormati mereka yang tawas
dalam pendakian ke tempat itu. Mengapa tragedi itu bisa terjadi?
Mendaki gunung
bukan kegiatan orang nekat. Dibutuhkan persiapan baik fisik, mental,
pengetahuan medan, dan logistik. Dan yang tak kalah penting adalah perhitungan
yang matang. Kapan pendakian harus dilakukan. Dan kapan harus dihentikan. Untuk
itu semua, dibutuhkan kejujuran pada diri sendiri. Yang kejujuran! Aku pernah
mengalami keletihan yang sangat ketika mendaki puncak gunung, dan aku tetap
memaksakan kakiku untuk melangkah. Kalau saja tak ada seorang temanku yang
meminta pendakian dihentikan untuk kemudian dilanjutkan kembali esok paginya,
mungkin aku akan ambruk, dan menjadi masalah bagi teman-temanku yang lain.
Mengapa aku memaksakan diri waktu itu? Gengsi! Itu yang ada di hatiku. Aku
merasa malu mengakui kalau aku sudah tidak sanggup melanjutkan pendakian malam
hari itu. Dan perasaan semacam itu yang banyak merengut nyawa para pendaki.
Jadi, tak ada yang lebih penting dalam sebuah pendakian dari kejujuran pada
kemampuan diri sendiri. Puncak itu tak akan lari ke mana. Kita masih bisa
mencobanya lain waktu. Untuk itu memang dibutuhkan jiwa besar.
Mallory dan Irvine
memilih terus mendaki menuju puncak Everest padahal, mereka tahu cuaca saat itu
tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendakian hingga ke puncak yang
hanya beberapa meter saja di depan mereka. Tapi mereka tetap nekat. Dan
kematian menjadi kado paling mungkin yang mereka dapatkan dari ketidak jujuran
mereka pada diri sendiri. Karena mereka meletakkan puncak sebagai tujuan,
mereka tidak berhasil menaklukkan diri sendiri!
Depok, 7 Juni 2005
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini