Antara Theisme dan Atheisme dalam Novel Atheis


Atheis diterbitkan Balai Pustaka pertama kali tahun 1949. Novel satu-satunya karya Achdiat K. Mihardja yang terbit di Indonesia. Novel keduanya, Debu Cinta Bertebaran terbit pertama kali di Singapura.

Kemunculan filsafat eksitensialisme dan marxisme selepas kehancuran perang dunia ke-2, sedikit banyak mempengaruhi pemuda-pemuda Indonesia yang hidup ketika itu. Dengan Atheis, Achdiat seolah hendak memotret kondisi zaman ketika karya ini dituliskan. Tema yang ketika novel ini diterbitkan, merupakan tema yang sama sekali baru.

Hasan dibesarkan ditengah keluarga yang menganut tarekat.Setelah dewasa, Hasan mengikuti tarekat seperti yang diamalkan oleh kedua orang tuanya. Meski sesungguhnya keterlibatannya dalam tarekat itu sebagai kompensasi dari kekecewaannya karena harus kehilangan kekasihnya, Rukmini. Namun, sejak ia menganut ilmu mistik makin rajinlah ia beribadah. Bahkan amalan-amalan mistik yang berat pun ia jalankan, seperti berpuasa sampai tujuh hari tujuh malam lamanya (hlm. 24), mandi di kali Cikapundung sampai empat puluh kali selama satu malam dari sembahyang isya sampai subuh (hlm. 24—25), mengunci diri dalam kamar, tiga hari tiga malam lamanya, dengan tidak makan, tidak tidur, tidak bercakap-cakap sama orang lain (hlm.24).

Dengan menjalankan amalan-amalan tarekat tersebut, Hasan merasa seolah-olah sudah menjadi seorang-orang yang sudah sempurna dalam hal berbakti kepada Tuhan (hlm. 23). Oleh karena itu, Hasan merasa, “Perasaan ”sempurna” itu membikin aku berangan-angan ingin menginsafkan orang lain akan kebaikan dan kebenaran ilmu tarekat yang kupeluk itu”. (hlm. 23)

Suatu hari, Hasan bertemu dengan Rusli, teman kecilnya, di Kantor Jawatan Air. Rusli memperkenalkan Hasan pada seorang wanita yang bersamanya, Kartini. Hasan seolah menemukan sosok Rukmini pada diri Kartini. Ia jatuh cinta pada bekas istri rentenir tua keturunan Arab itu.

Kahidupan Rusli dan Kartini yang demikian bebas, membuat Hasan bertekad untuk menyadarkan mereka. Namun, menghadapi Rusli yang memiliki pemikiran rasional dan tahu banyak mengenai matrialisme, tekad Hasan jadi porak-poranda. Hasan yang dibesarkan dalam lingkungan mistisme, terbiasa melakukan amalan-amalan yang tidak logis, tak berdaya berhadapan dengan seorang matrialis seperti Rusli yang berpegang pada paham Nietzshe, “Ah, mengapa Saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan tidak ada, Saudara!” (hlm. 67) Hasan tidak mampu membantah argumentasi-argumentasi yang dikemukakan oleh Rusli. Bahkan, Rusli malah balik mengkhotbahi dirinya.

Sejak kecil Hasan terbiasa mendapatkan pelajaran agama melalui dogma dan dongeng-dongeng mengenai surga dan neraka. Setelah besar pun, ia menerima saja perintah gurunya untuk melakukan amalan-amalan mistis yang tentu saja tak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu, keyakinan agamanya tidak didasari argumentasi-argumentasi yang kuat dari Al-Qur’an dan As Sunnah. Akibatnya, keyakinannya seperti rumah laba-laba, rapuh dan mudah hancur. Perdebatannya dengan Rusli berdampak pada keyakinannya. Pikirannya diganggu oleh perkataan-perkataan Rusli. Mendenging-denging lagi suara Rusli yang mengatakan bahwa kita, harus pandai meneropong soal-soal hidup dengan pikiran yang bebas lepas, dengan pikiran dan penglihatan yang tak boleh dibikin kabur oleh fanatisme dan dogma.(hlm. 74)

Perkataan-perkataan Rusli itu menjelma jadi badai di kepalanya. Pertemuannya dengan Anwar yang mengatakan, “Tuhan itu adalah aku sendiri…” (hlm. 109), kian menghadirkan pergulatan pemikiran di kepalanya. Kehadirannya dalam pertemuan dengan Bung Parta yang memiliki pemikiran, “Tekniklah Tuhan kita.” (hlm. 121) di rumah Rusli, makin menghancurkan sendi-sendi keimanannya.

Suatu ketika ia pulang ke rumah di kampungnya bersama Anwar. Ayahnya melihat perubahan pada diri Hasan. Namun, ketika ayahnya berusaha menasihati Hasan, ia malah menentang ayahnya dengan pemikiran-pemikiran yang diajarkan oleh teman-teman barunya. Penentangan itu kian dipertegas dengan rencananya menikahi Kartini. Orang tuanya yang berharap Hasan menikah dengan Fatimah, saudara angkatnya, tentu tidak merestui rencana itu. Namun, Hasan tetap nekad menikahi Kartini.

Perkawinan Hasan dengan Kartini ternyata tidak membuahkan kebahagiaan seperti yang mereka dambakan. Kartini meneruskan kebiasaan hidup bebasnya, pergi tanpa suaminya dengan siapa saja. Hal itu membuat Hasan dibakar cemburu. Pada suatu hari, tengah Hasan menunggu kedatangan istrinya itu, Kartini datang bersama-sama dengan Anwar. Kemarahan Hasan memuncak, ia memukuli istrinya itu. Kartini meninggalkan rumahnya. Ia pergi tanpa tujuan. Di jalan ia bertemu dengan Anwar. Atas bujukan Anwar, Kartini mau diajak bermalam di suatu hotel bersama-sama dengan Anwar. Oleh karena Anwar berusaha untuk memperkosanya, Kartini lari dari penginapan itu dengan meneruskan perjalanannya ke Kebon Manggu.

Hasan menyesali perbuatannya selama ini. Ia mengutuki teman-temannya yang telah membawanya ke jalan sesat, jalan yang membawa dirinya menjadi seorang atheis. Hasan berusaha kembali ke jalan hidup semula, hidup dengan berpegang pada ajaran agama Islam.

Mendengar kabar bahwa ayahnya sedang sakit parah, Hasan pulang menjenguknya.Menjelang ajalnya, ayahnya masih sempat mengusir Hasan yang menungguinya. Setelah Hasan keluar dari kamar tidur, ayahnya meninggal dengan tenang.

Ketika pulang ke Bandung, terjadilah kusukeiho. Hasan terpaksa mencari tempat berlindung di suatu bunker bersama-sama dengan orang-orang yang senasib. Di tempat perlindungan itulah terngiang-ngiang suara ayahnya di hatinya, menasihati, memarahi, mengutuk-ngutuk perbuatannya yang telah menyimpang dari ajaran agama Islam. Penyakit tbc. yang menyerang Hasan kambuh. Ia merasa tak kuat melanjutkan perjalanan. Hasan pun mencari penginapan terdekat untuk beristirahat. Ia sampai pada sebuah penginapan. Dari daftar tamu di penginapan itu, didapatinya nama Kartini dan Anwar. Setelah mendapat penjelasan dari pelayan hotel, Hasan semakin yakin bahwa Kartini telah berbuat serong dengan Anwar. Meledaklah amarahnya, ia lari keluar pada malam gelap untuk membalas dendam pada Anwar.

Sementara itu, sirene mengaung-ngaung tanda bahaya udara. Semua lampu dimatikan, setiap orang mencari perlindungan. Hasan sudah gelap mata, ia tidak lagi pedulikan tanda bahaya. Ia terus berlari menerobos gulita.

Tiba-tiba .... Tar! Tar! Aduh! Hasan jatuh tersungkur. Paha kirinya tertembus peluru. Hasan berguling-guling sebentar di atas aspal, sebelum melepaskan kata-kata, ”Allahu akbar!” Lalu tak bergerak lagi. ”Mata-mata, ya! Mata-mata, ya! Orang jahat! Bakeru!”

Subagio Sastrowardoyo dalam “Pendekatan kepada Roman Atheis” (Sastra Hindia Belanda dan Kita. Balai Pustaka, 1990; hlm. 179) mengatakan saya setuju dengan Boen S. Oemarjati, yang mengatakan bahwa judul Atheis tidaklah ditujukan kepada “tokoh tertentu yang dipertentangkan terhadap tokoh utama Hasan, melainkan persoalan kehidupan yang dihadapi seorang Hasan”. Karena Hasan sendiri tidak pernah menjadi atheis benar yang sama sekali tidak percaya adanya Tuhan. Roman Atheis menggambarkan jiwanya di dalam proses terombang-ambing antara theisme dan atheisme. Antara keimanan dan kekufuran, sedang pada akhir hayatnya Hasan tidak mau disebut kafir oleh “saya” dan mengucapkan “Allahu Akbar!” sebelum hilang kesadarannya tertembak serdadu Jepang.

Apa penyebab keterombang-ambingan Hasan tersebut?

Dia seorang pencari. Dan sebagai seorang pencari, maka ia selalu terombang-ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Tapi suatu kesan pula bahwa ia bukan seorang pencari yang baik. Artinya, ia bukan seorang ahli pikir atau penyelidik yang radikal, yang sanggup menyelami dan memeriksa hal-hal yang menjadi salnya itu sampai kepada akar-akarnya. Baginya, agaknya cukuplah sudah, kalau dia dalam mencari itu banyak bertanya-tanya kepada orang-orang yang dianggapnya lebih tahu daripada dia. (hlm. 7)

Tokoh Hasan sesungguhnya merupakan potret sebagian besar umat Islam di Indonesia, yang beragama hanya sekadar mengikut tradisi, bukan berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Maka wajar saja, jika pondasi keimanannya tidak kokoh sehingga mudah digoyahkan.

Keberhasilan novel Atheis terletak hampir pada semua unsurnya. Penggunaan teknik cerita berbingkai dengan beberapa sudut pandang, memungkinkan setiap peristiwa yang terjadi di dalam novel ini seolah-olah berlaku di luar diri pengarangnya dan di luar campur tangannya.

Pemilihan latar cerita dalam novel ini pun mendukung perkembangan watak tokoh-tokohnya. Seakan-akan watak-watak tokohnya tidak diciptakan oleh pengarang, tetapi lahir akibat peran lingkungannya. Latar cerita daerah Pasundan dengan berbagai tradisi keagamaannya, memperkuat karakter Hasan di awal yang digambarkan sangat religius.

Keseluruhan unsur itu secara padu mendukung tema yang menyuguhkan ketegangan antara keyakinan theisme dan atheisme. Dengan segala keunggulan itu, wajar saja jika Atheismemperoleh Hadiah Tahuan Pemerintah pada tahun 1969. Bahkan Maman S. Mahayan dalam Ringkasan dan Ulasan Novel Modern Indonesia mencatat, tahun 1972 Atheis diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh RJ Maguire. Dalam edisi bahasa Melayu, novel ini mengalami cetak ulang ke-3 pada tahun 1970 dan hingga kini masih terus dicetak ulang. Pada tahun 1974, Suman Djaya mengangkat novel ini ke layar lebar dengan judul yang sama. Tokoh Hasan diperankan oleh Deddy Sutomo. Hingga kini Atheis masih terus dibaca dan dibicarakan.

Gunung Sahari, 20 Agustus 2010


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini