nulisbuku.com |
Sejak jalan baru itu dibangun, Rojak harus
menyeberang jalan raya setiap pergi atau pulang sekolah. Sejak itu, ibunya
selalu berpesan setiap ia mau berangkat ke sekolah, “Jangan menyeberang jalan kecuali
di zebra cross!”
Rojak mengambil tangan ibunya, mencium punggung
telapak tangannya. Masih tersisa bau terasi di sela jemarinya. Namun, Rojak
sudah terbiasa. Bau terasi itu justru membangkitkan selera makannya. Ibunya
paling juara dalam membuat sambal.
Setelah berpamitan, Rojak menggendong tasnya yang
bergambar Lightning McQueen, mobil pembalap yang bisa bicara. Rojak suka
menonton film itu, bahkan sudah berkali-kali ia menontonnya. Ia sering bermimpi
jadi McQueen yang jago balap. Namun, ibunya tidak suka. Ibunya masih menyimpan
dendam pada pembalap-pembalap liar yang telah merengut nyawa suaminya, bapak
Rojak.
Waktu bapaknya sedang menyeberang jalan pada suatu malam,
dua motor yang tengah beradu kencang menyerempet tubuhnya. Waktu itu Rojak
belum bersekolah. Waktu itu juga Rojak belum kenal dengan Lightning McQueen.
“Bu, Rojak mau jadi mobil pembalap,” katanya, “kayak
McQueen.”
“Apa lu kata? Mau Jadi pembalap?” tanya ibunya.
Jidatnya berkerut. Matanya menyipit saat mengucapkan pertanyaan itu.
“Iya, Bu,” sahut Rojak polos. “Kayak mobil yang di
tas Ojak, nih.”
“Jangan mimpi jadi pembalap,” kata ibunya.
Telunjuknya menuding wajah Rojak. “Bapak lu mati ditabrak pembalap liar!”
Sejak itu, Rojak tidak pernah lagi mengungkapkan
keinginannya jadi pembalap. Ia tidak mau ibunya mengambil tasnya dan
menyembunyikan CD film McQueen miliknya, sebagaimana ancamannya.
Ibu yang memberikan CD dan tas McQueen itu, meski ia
tidak membeli dengan uangnya. Pak Somad, kepala sekolahnya, memberikan CD dan
tas itu saat Rojak naik kelas lima, padahal Rojak bukan juara kelas.
Pak Somad memang suka memberi hadiah untuk dirinya,
bahkan semua kebutuhan sekolahnya dibelikan oleh Pak Somad. Sampai-sampai,
teman-temannya mengejeknya sebagai anak Pak Somad. Namun, Rojak tidak ambil
pusing. Rojak suka membayangkan film McQueen saat teman-teman mengejeknya. Saat
itulah, ia melihat wajah teman-temannya berubah seperti sapi-sapi berwujud
traktor dalam film McQueen.
“Tin! Tin! Tin!” suara klason mobil mengejutkan
Rojak saat sebelah kakinya baru saja turun ke aspal jalan dan sebelahnya masih
di trotoar. Rojak buru-buru naik ke trotoar.
***
Pak Somad memasukkan anak kunci ke lubang starter, lalu memutarnya sambil
menginjak pedal gas. Suara knalpot mobil meraung. Ia tahan pedal gas itu
sementara tangan kirinya memegang setir dan tangan kanan memegang roti. Sambil
memanasi mobil, ia menyuap roti isi selai kacang ke dalam mulutnya.
“Kopinya, Pap!” Istrinya mengetuk jendela mobil
sambil menunjukkan gelas kopi yang dipegangnya.
Pak Soma lekas menurunkan kaca mobil. “Tidak sempat!”
“Dibawa saja,” kata istrinya.
Pak Somad mengambil gelas kopi dari tangan istrinya
dan menaruhnya di tempat gelas yang ia pasang di dashboard. Setelah itu, ia menaikkan jendela.
Sebelum jendela tertutup rapat, istrinya sempat
berpesan, “Jangan lupa diminum kopinya! Semalam Papah kurang tidur!”
Pak Somad tidak menjawab. Hanya tangannya saja
memberi isyarat, sementara matanya menatap ke depan. Kedua tangannya memegang setir. Ia baru saja
memindahkan perseneling ke gigi satu. Perlahan, ia tekan pedal gas sambil
mengangkat kaki kirinya yang menekan pedal kopling. MPV itu meluncur ke luar.
Lelaki bersafari itu melirik arloji. Pagi ini ada
rapat dengan kepala dinas di sekolahnya. Segalanya telah dipersiapkan dengan
matang. Namun, alarm ponselnya gagal membangunkan dirinya pagi tadi. Jadi, ia
terancam terlambat tiba di sekolah. Kalau sampai Pak Kepala Dinas sampai lebih
dulu ke sekolah, bisa gagal pencalonannya sebagai pengganti kepala dinas.
Begitu mobilnya masuk jalan raya, Pak Somad langsung tancap gas.
Semasa muda, ia memang dikenal sebagai macan
jalanan. Hobinya masih ia tekuni saat ia diterima jadi guru honorer. Pagi
mengajar, malam turun di arena balapan. Sebagai joki, penghasilannya cukup
lumayan sampai ia bisa mendirikan bengkel kecil-kecilan. Dari usahanya itu, ia
bisa membeli rumah dan mobil.
***
“Jangan menyeberang kecuali di zebra cross!” pesan ibunya kembali terngiang di telinga, padahal
sekolahnya ada di seberang jalan sana. Kalau lewat zebra cross, dia harus berjalan sekitar 300 meter.
Jam pelajaran pertama matematika. Ada ulangan. Kalau
terlambat, ia tidak boleh masuk kelas sampai jam pelajaran pertama selesai.
Artinya, ia tidak bisa ikut ulangan dan harus ikut ulangan susulan di kantor
guru. Rojak bukan anak yang sangat pandai, apalagi semalam ia tidak belajar.
Ulangan di kantor guru bukan pilihan terbaik bagi Rojak. Mana mungkin Bu Guru
mau memberikan jawaban soal seperti Radit, teman sebangkunya yang termasuk tiga
besar siswa terpintar di kelasnya.
Rojak melihat jalanan lengang. Ia bersiap
menyeberang. Namun, seorang pengendara motor meneriakinya, “Mau mati lu!”
Siswa kelas lima itu mengucap istigfar. Hampir saja
tubuhnya tersambar sepeda motor, seperti almarhum bapaknya. Lebih baik, ia
ulangan di kantor guru daripada harus disambar sepeda motor. Rojak memilih
untuk berjalan sekitar 300 meter agar ia bisa menyeberang di zebra cross yang berada di depan SMA
Merah Muda.
***
Semalaman, Pak Somad tidak tidur. Ia harus
mempersiapkan slide presentasi di
rapat hari ini dengan kepala dinas. Sejak ia diangkat sebagai guru PNS, ia
tidak pernah lagi turun di arena balapan liar. Usaha bengkelnya cukup menunjang
kehidupannya. Penghasilannya sebagai guru pun lumayan, apalagi setelah
mengikuti sertifikasi. Maka dari itu, ia tidak lagi terbiasa melek malam.
“Huaaaah!” Mulutnya menguap. Matanya memberat. Namun,
kakinya malah kian dalam menekan pedal gas. Mobil melaju kencang.
Kopi, bisiknya. Ia teringat dengan kopi buatan
istrinya. Ia mengambil kopi hitam dari dashboard mobil, masih hangat. Tangan
kanannya memegang setir, sambil tangan kirinya mendekatkan gelas ke bibirnya.
“Sluuurrrp.” Pak Somad menyeruput kopi hitamnya, bersamaan
dengan itu, seorang pengendara motor mendahuluinya.
Pak Somad lekas membuang setir ke kiri saat sepeda
motor itu nyaris tercium bemper mobilnya. Kopi di tangannya tumpah, membasahi
celananya. Pak Somad tidak memperhatikan jalan di depannya. Ia sibuk
membersihkan tumpahan kopi di celananya.
***
“Jangan menyeberang jalan kecuali di zebra cross!” Pesan ibunya itu selalu
Rojak patuhi. Ia takut, jika tidak mematuhi ibunya, ia akan mendapat celaka. Jam
pelajaran pertama pasti sudah dimulai. Teman-temannya pasti sedang sibuk
mengerjakan ulangan. Tidak mengapa, pikir Rojak, yang penting ia tidak celaka.
Dua orang siswa SMA Merah Muda menapakkan kakinya di
zebra cross. Rojak segera mengejarnya
agar ia bisa menyeberang bersama anak-anak SMA itu. Seorang di antara anak SMA
itu sibuk mainan ponsel sambil menyeberang, telinganya tersumbat ear phone. Rojak memilih melangkah di
sebelak anak SMA yang tidak memegang ponsel.
“Awas!” seru satpam SMA Merah Muda dari seberang
jalan saat Rojak dan kedua anak SMA itu tengah menyeberang di zebra cross.
Rojak melihat tangan Pak Satpam menunjuk ke arah
kiri. Rojak lekas menoleh, pun kedua anak SMA itu. Sebuah MVP melaju kencang ke
arah mereka. Rojak teringat bapaknya yang tertabrak motor saat menyeberang
jalan. []
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
MPV atau MVP yg bener bang? Soalnya ditulis beda2. Typo lainnya di dialog,“Bu, Rojak mau jadi mobil pembalap,” mungkin maksudnya pembalap mobil ya? Hehehe bisa jadi karena di kejar DL dan tergesa2 *sama saya juga. Moga kita menang bang hahha
BalasPadamBlog walking ke sini yuk: http://quadraterz.blogspot.co.id/2015/10/safety-first-jejak-di-bahu-jalan-ade.html
salah ketik :)
Padam