Idrus Memotret Kehidupan


Karya sastra merupakan cermin masyarakat, potret kehidupan, dan gambaran semangat zamannya. Pembabakan dalam antologi Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma[1] yang dimulai dari “Zaman Jepang” sampai “Sesudah 17 Agustus 1945”, sedang di antara keduanya terdapat “Coret-Coret di Bawah Tanah”, menunjukan sebuah periode singkat sejarah Indonesia.
Sebagai sastrawan, Idrus adalah saksi mata dari setiap peristiwa dalam dua belas cerita di buku ini. Dengan kata lain, setiap karangan di dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma merupakan laporan aktual dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Dalam melaporkan peristiwa tersebut, Idrus tak berdiri di luar sejarah. Ia menjadi bagian dari sejarah itu sendiri.
Melalui kata pengantar buku ini, HB Jassin menobatkan Idrus sebagai pembaharu prosa. Katanya, “Pembaharuan itu tidak berarti sekiranya hanya mengenai bentuk belaka, tetapi dalam hal ini perubahan lahir itu berakar pada perubahan jiwa.” (hlm. Vii) Pembabakan dalam buku ini juga menunjukan periodesasi kepengarangan Idrus.
“Ave Maria” yang membuka buku ini, memperlihatkan gaya romantiknya. Cerpen ini dibuka dengan pelukisan alam yang menunjukan benang merah kepengarangannya dengan pengarang Pujangga Baru. “Ave Maria” berkisah tentang kisah cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Pengakuan Wartini, istrinya, yang mencintai Zul dan Syam, membuatnya merelakan istrinya pada adiknya itu. Zulbahri sendiri kemudian memilih untuk mengabdi pada tanah air dengan bergabung dengan heiho, tentara bentukan Jepang.
Persoalan cinta segitiga kembali ditampilakan Idrus dalam drama “Kejahatan Membalas Dendam”. Cinta Kartili pada Setilawati membuatnya mengkhianati Ishak, sahabatnya sendiri. Sugesti dan obat-obatan yang diberikan pada Ishak membuat sahabatnya itu makin depresi. Cerita ini ditutup dengan terbongkarnya kedok kejahatan Kartili yang telah berkeluarga sehingga membuat Kartili menjadi gila. Walaupun masih terasa gaya romantiknya, drama ini lebih memperlihatkan pendalaman ke dasar jiwa tokoh-tokohnya.
Idrus menulis bagian pertama Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma sebelum kemerdekaan, ketika segala bentuk kesenian berada dalam pengawasan ketat sensor Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan Jepang. Segala macam bentuk seni dan sastra yang tak sesuai dengan semangat Asia Timur Raya pada masa itu, terancam kena sensor.
Dua karangan di bagian “Zaman Jepang” itu tak dapat diterbitkan karena terkena cekal. Seperti majalah Pujangga Baru, keduanya dianggap terlalu individualistis dan tak memiliki semangat “ketimuran”. Meski tokohnya dalam “Ave Maria” bergabung dengan tentara bentukan Jepang, judul cerpen ini dianggap “kebarat-baratan”.
Bagian kedua buku ini, “Coret-Coret di Bawah Tanah” tentu mengingatkan kita pada judul cerpen Notes from The Underground-nya Fyodor Dostoyevsky, pengarang besar Rusia yang mengusung gaya realis. Cerita-cerita dalam bagian kedua ini menunjukan periode kepengarangan Idrus yang mulai meninggalkan gaya romantiknya menuju kepada corak baru yang oleh HB Jassin disebut “kesederhanaan baru”.
Cerpen “Kota-Harmoni” mengetengahkan fragmen dalam sebuah trem. Suasan trem yang penuh sesak, bau keringat dan terasi, memberi gambaran realitas ketika itu. Dalam “Jawa Baru” Idrus berhasil memotret kemelaratan semasa pendudukan Jepang. Beras-beras yang diangkuti dari Pulau Jawa ke Tokyo membuat rakyat kesulitan pangan. Setiap pagi kelihatan di Noordwijk anak-anak miskin berbaris ke rumahnya dari gereja. Muka mereka itu pucat, badannya kurus … kurang makan. (hlm. 88)
Kemelaratan seperti tergambar dalam “Jawa Baru”, pada akhirnya membuat rakyat mencari peruntungan dari bermain judi, seperti tampak dalam cerpen “Pasar Malam Zaman Jepang”. Mereka menyebutnya sebagai “Obat mujarab untuk memberantas inflasi.” Akibatnya, di kampung si anu, si anu telah menggantung diri, karena … kalah main rolet! (hlm. 92)
Cerpen “Sanyo” dan “Fujinkai” menunjukan keterasingan rakyat Indonesia di negerinya sendiri. Kadir yang tak tahu istilah Sanyo mengira Sanyo sebagai tukang catut, akibatnya ia ditangkap karena dianggap menghina Dai Nippon dan dituduh mata-mata. Para anggota Fujinkai dipaksa merogoh saku lebih dalam untuk merayakan perang Nippon dengan Amerika.
Gaya realis Idrus yang satire makin memenemukan bentuknya dalam cerpen “Oh… Oh… Oh!”. Dalam perjalanan kereta api antara Sukabumi-Jakarta, kematian seorang penumpang berkaki sebelah yang terjatuh dari atas kereta dianggap peristiwa biasa saja. Kereta api berhenti sebentar. Kondektur membuat beberapa catatan. Kereta api berjalan lagi. Bahkan, ada penumpang orang Indonesia yang menanggapi dingin, “Aku lebih senang mellihat ia mati begitu daripada melihatnya mati di pinggir kali Ciliwung di Jakarta nanti.” (hlm. 106)
Cerpen “Heiho” mengisahkan seorang lelaki yang menjadi anggota Heiho karena berharap bisa membela Tanah Air. Namun, oleh istrinya sendiri, ia malah dituding sebagai antek penjajah. Ironis mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan kondisi lelaki lugu yang di akhir cerita, dikisahkan tewas dalam sebuah pertempuran. Dan sang istri, kawin lagi dengan lelaki lain. Cerpen ini pernah dimuat di Pantja Raja. Di penghujung November 1946, seorang bekas Heiho mengirimkan surat ke redaksi, mengecam karangan Idrus itu karena dianggap mencemooh Heiho.
Setelah Jepang angkat kaki, sikap Idrus tidak berubah. Ia tetap menunjukkan sikap mencemooh. Pada bagian ketiga buku ini, “Sesudah 17 Agustus 1945”, Idrus banyak mengkritisi sikap rakyat Indonesia yang mengalami uforia selepas perang. Melalui “Kisah Celana Pendek” Idrus mencemooh sikap Kusno yang sengsara, tapi hidup bangga dengan celana 1001 made in Itali-nya. Istilah anak sekarang, “biar miskin yang penting gaya!”. Di dalam novelet “Surabaya”, Idrus menunjukan sikap skeptisnya, ia seolah tak peduli dengan gegap-gempita revolusi. Sikap skeptisnya itu sudah ditunjukan sekal awal novelet ini. Orang-orang dalam mabuk kemenangan …. Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang … (hlm. 118)
Pada akhirnya, perang telah melahirkan tokoh absurd seperti Open dalam “Jalan Lain ke Roma”. Open yang mula-mula jadi guru sekolah rakyat, setelah itu jadi mualim, lantas jadi pengarang, kemudian jadi tukang jahit. (hlm. 152) Cerpen ini juga memperlihatkan pergeseran gaya kepengarangan Idrus. Ia seperti hendak memandukan romantisme seperti dalam “Zaman Jepang” dengan realisme “Coret-Coret di Bawah Tanah” seperti yang dikatakan Jassin.
Demikianlah Idrus memotret kehidupan pada sebuah rentang antara zaman Jepang sampai selepas kemerdekaan. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma memang mustahil menampilakn potret kehidupan zamannya secara lengkap. Fakta yang ditampilkan tentu telah diseleksi dan mengalami proses penghayatan, penafsiran, serta pemaknaan dari pengarangnya. Meski begitu, seperti yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma dalam endorsement buku ini, “Jika ilmu sejarah kini menuntut perubahan sudut pandang dalam penulisan sejarah, yakni bukan sekadar memeriksa kejadian-kejadian penting tentang para pemimpin, melainkan segala sesuatu—betapapun tidak pentingnya—yang mampu mengungkapkan kembali gambaran aktual pada masa lalu, maka buku ini adalah jawabannya!”

Gunung Sahari, 6 September 2010



[1] Jakarta: Balai Pustaka, 2010
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini