(ucs.ac.uk) |
“Sejarah bagaikan aliran sungai, catatan yang kita baca adalah sekadar catatan dan bukan peristiwa sejarah itu sendiri, karena peristiwanya sudah mengalir ke laut, hanya untuk menguap, hilang lenyap seperti asap—tetapi sejarah artinya memang sesuatu yang ditulis, sengaja dicatat untuk diingat, dan setiap pencatat mempunyai kepentingannya sendiri.”
(Seno Gumira Ajidarma)
Apakah kamu termasuk orang yang malas membaca buku sejarah? Jika jawabanya “ya” maka kita memiliki kesamaan. Entahlah, sejak dari sekolah saya lebih suka pelajaran bahasa dan pengetahuan alam. Saya tidak tertarik pada sejarah, karena malas menghafal tanggal-tanggal, bulan, dan tahun. Mungkin itu masalahnya. Kita sama-sama tidak menyukai sejarah karena hanya bergaul dengan sejarah sebatas tanggal, bulan, dan tahun-tahun di mana peristiwa masa lalu itu berlangsung. Kita tidak membaca peristiwanya.
Fiksi dan sejarah pada hakikatnya memiliki kesamaan. Di manakah kesamaannya? Fiksi dan sejarah sama-sama bersumber dari peristiwa. Oleh sebab itu, keduanya ditempatkan sebagai karya yang merekam peristiwa. Bedanya, peristiwa dalam sejarah harus dapat dipertanggungjawabkan kebenaran faktanya. Sedang peristiwa dalam sastra terbentuk melalui peniruan realitas (baca: pengalaman) yang telah mengalami proses pengamatan, perenungan, penghayatan, dan pengevaluasian, untuk kemudian coba dihadirkan kembali melalui proses pengimajinasian.
Menurut Maman S. Mahayana (2005:362—363), dibandingkan dengan sejarawan, sastrawan sebenarnya memiliki ruang yang lebih leluasa ketika ia hendak menyampaikan refleksi evaluasinya tentang masa lalu. Secara subjektif, ia dapat memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah menurut kepentingannya. Ia juga dapat menyampaikan alternatif lain di balik peristiwa-peristiwa sejarah.
Nah, kalau kamu bingung mau menulis apa, kamu bisa menengok ke masa lalu. Kamu bisa memulainya dengan mengumpulkan buku-buku sejarah kamu. Apakah ada peristiwa yang menarik minatmu? Lupakan dulu tanggal, bulan, dan tahun-tahun yang tercatat dalam buku-buku sejarah. Fokus hanya pada latar, tokoh, dan peristiwa sejarahnya.
Kamu bisa menengok ke masa yang sangat jauh, seperti yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer ketika menulis novel Arok Dedes. Tepatnya tahun 1220 M, ketika seorang anak muda bernama Ken Arok menggulingkan singgasana Tunggul Ametung serta merebut istrinya, Ken Dedes. Pram menulis novel itu berdasarkan catatan sejarah, yang terdapat pada Candi Kemenangan Ken Arok atau yang biasa disebut Candi Tumapel dan karya Mpu Tanakung, “Lubdaka”, yang ditulis pada masa hidup Ken Arok.(1)
Novel sejarah karya Pram itu, ditafsir ulang oleh Sapardi Djoko Damono dengan menampilkan gaya kekinian menjadi cerpen “Hikayat Ken Arok”.(2)
Sejak melihat betis Ken Dedes, istri Pak Bupati, dalam sebuah arak-arakan keliling kota itu, Ken Arok tidak pernah bisa memejamkan mata dengan tenang lagi. Betis yang mulus bagai telur itu memancarkan sinar yang dalam benak Ken Arok sama persis dengan berbagai dongeng dari Parsi mengenai cahaya yang memancar dari tubuh putri-putri yang disimpan raja-raja kaya dalam kaputren. (Damono, 2003: 32)
Berbeda dengan Pram yang dalam pengantar novelnya membuat kronologi tahun-tahun di mana peristiwa itu berlangsung, dalam “Hikayat Ken Arok”, Sapardi tidak mencantumkan tahun-tahun. Bukan tahun-tahun itu yang penting, tetapi tokoh dan peristiwanya. Tahun-tahun bisa dicari dalam buku sejarah.
Dan Brown, penulis asal Amerika menulis novel The Da Vinci Code. Dalam novel itu, Dan Brown menceritakan tentang seorang ahli simbologi yang dituduh sebagai pembunuh kurator senior di Museum Louvre, Paris. Kurator tersebut meninggalkan serangkaian petunjuk tersembunyi di balik karya-karya terkenal Leonardo Da Vinci. Petunjuk tersebut membawa Langdon kepada sebuah kaitan yang mengejutkan: mendiang kurator itu terlibat dalam Biarawan Sion—sebuah kelompok persaudaraan rahasia yang nyata. Petualangan Langdon memecahkan teka-teki Da Vinci berujung pada terkuaknya misteri kebenaran yang disembunyikan rapat-rapat selama berabad-abad.
Di dalam buku tebal tersebut disebutkan mengenai fakta sejarah yang dipakai oleh Dan Brown, di antaranya Biarawan Sion, Prelatur Vatikan (Opus Dei), karya seni Leonardo Da Vinci, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia. Fakta sejarah tersebut lalu dipelajari, direnungkan, dihayati, dan dimajinasikan oleh Dan Brown. Ia lalu menciptakan tokoh Langdon (tokoh fiktif) yang berani membuka rahasia sejarah yang tertutup berabad-abad.
Kemunculan novel The DaVinci Code bahkan melahirkan buku-buku lainnya, yang mencoba mengkaji fakta-fakta sejarah dalam novel tersebut.
Salah satu cara menulis fiksi sejarah, yaitu dengan menghadirkan tokoh-tokoh fiktif, seperti yang dilakukan oleh Dan Brown. Meski tokoh-tokoh dalam novel itu fiktif, Dan Brown (2006: 8) mengakui bahwa, “Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia dalam novel ini adalah akurat.”
Ada juga novel sejarah yang tidak mengangkat peristiwa sejarah yang besar. Kamu bisa mengambil sejarah suatu tempat sebagai latar peristiwa seperti dalam novel Mirah dari Banda karya Hanna Rambe. Dari judulnya saja kita bisa tahu bahwa kemungkinan besar cerita ini berkisar di daerah Banda. Memang benar! Fakta sejarah mengatakan bahwa Banda merupakan perkebunan pala terbaik di masa lalu. Dan ternyata, pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Banda menjadi tempat perbudakan. Manusia pada masa itu mengalami tragedi kemanusiaan, di antaranya menjadi kuli kontrak oleh Belanda, romusha oleh Jepang, jugun yanfu (wanita penghibur bagi tentara Jepang), atau nyai untuk simpanan Belanda. Semua fakta sejarah itu terangkum dengan dihadirkannya tokoh fiktif yang diberi nama Mirah. Mirah membawa fakta sejarah dalam hidupnya yang juga ia alami. Dengan kata lain, Mirah menjadi jembatan untuk menyatukan fakta sejarah dan fiksi di dalam sebuah karya.
Setiap benda, setiap tempat, memiliki sejarah. Di balik nama sebuah kampung Peca’ Kulit, di kota Batavia, ternyata terdapat fakta sejarah yang sangat menarik. Konon nama itu terambil dari peristiwa eksekusi mati Pieter Erberveld. Pieter, seorang pengusaha penyamakan kulit, dituduh akan melakukan makar terhadap pemerintah Kompeni Belanda. Akibatnya, ia dan beberapa orang temannya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Tangan dan kakinya diikat, kemudian ditarik ke arah berlawanan dengan menggunakan kuda. Hancurlah tubuh Pieter. Sejak kejadian itu, kampung tempat Pieter tinggal dinamakan Peca’ Kulit.
Saya menemukan fakta lain tentang asal-usul nama kampung itu yang terambil dari usaha penyamakan kulit yang diwarisi Pieter dari ayahnya. Penyamakan dalam bahasa Betawi menjadi pecak, pengucapannya peca’. Kemudian saya mengajukan pertanyaan begini, “Bagaimana jika ternyata Pieter tidak pernah dieksekusi karena diselamatkan oleh anak-anak Untung Surapati?”.
Ada seorang penyair Belanda terkemuka di zaman itu tinggal di Batavia, bernama Jan de Marre. Ia menulis buku berjudul Batavia sebanyak enam jilid. Dalam bukunya itu terdapat syair mengenai Pieter Erberveld yang menunjukkan kemuakannya pada penguasa pada zaman itu, yang telah merebut tanah Pieter, dengan cara menuduhnya melakukan makar.
Saya kemudian memanfaatkan tokoh itu sebagai narator atau pencerita dalam cerpen saya, yang juga telah membantu pelarian Pieter. Tak ada keterangan yang menyatakan bahwa Jan pernah berhubungan dengan Pieter. Begitulah saya memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah, serta menyampaikan alternatif lain di balik peristiwa-peristiwa sejarah asal-usul kampung Peca’ Kulit. Hasilnya sebuah cerpen berjudul, “Pieter Akan Mati Hari Ini”.
Footnote
(1) Lihat Arok Dedes. Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002; hlm. 3
(2) Di bawah judul cerpen itu tertulis nama Pram, agaknya cerpen itu merupakan “dialog” budaya antara Sapardi dengan Pram.
(3) Pembahasan mengenai ini dapat dilihat dalam Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi—Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata, 1987; hlm. 181—189
Daftar Pustaka
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Rambe, Hanna. 2003. Mirah dari Banda. Magelang: Indonesia Tera.
Saidi, Ridwan. 1987. Profil Orang Betawi—Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat. Jakarta: PT Gunara Kata.
Toer, Pramudya Ananta. 2002. Arok Dedes. Yogyakarta: Hasta Mitra.
Damono, Sapardi Djoko. 2003. Membunuh Orang Gila. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini