Cerpen Denny Prabowo
dimuat di Favorit
Zul memiliki seekor ayam jago. Namanya si Jalu. Tubuhnya tegap. Kalau berjalan dadanya membusung. Si jalu memiliki jengger yang lebar berwarna merah darah. Paruhnya sangat lancip seperti mata pisau. Sepasang kakinya besar dan kokoh. Pada kedua kakinya terdapat sepasang jalu yang panjang dan runcing.
Zul suka sekali mengadu ayamnya dengan ayam milik teman-temannya. Biasanya, sepulang sekolah, Zul pergi ke tanah lapang di dekat rumahnya. Di tempat itulah dia biasa menyabung ayam bersama teman-temannya.
“Zul, si Aming baru dibelikan seekor ayam bangkok sama bapaknya,” kata Restu, saat mereka sama-sama pulang dari sekolah.
“Terus kenapa? Mau diadu sama si Jalu?” tantang Zul.
“Ayam bangkoknya si Aming besar sekali, Zul!”
“Lebih besar dari si Jalu?”
“Lebih besar dari si Jalu!”
“Tapi aku yakin si Jalu bisa mengalahkannya!” Selama ini si Jalu memang selalu memenangkan pertarungan. Zul sangat membanggakan ayamnya itu.
“Kamu yakin Zul?”
“Bilang sama si Aming, nanti sore suruh bawa ayam bangkoknya ke tanah lapang!”
“Nanti aku bilang sama si Aming.”
Dan sore harinya, Zul pergi ke tanah lapang dengan membawa si Jalu. Di tempat itu sudah menunggu si Aming dengan ayam bangkoknya yang diberi nama si Jengger. Restu juga ada di sana bersama teman-teman yang lainnya. Mereka tentu tak akan begitu saja melewatkan pertarungan besar ini.
Begitu melihat kedatangn Zul, Aming langsung melepas ayam bangkoknya. Anak lainnya yang ada di sekitar segera berdiri membentuk lingkaran gelanggang.
“Ayo zul, lepas si jalu!” tantang Aming penuh percaya diri. Si Jengger memang kelihatan lebih besar dari si Jalu.
Seperti tahu kalu ia mau diadu, si Jalu berkokok lantang sambil mengepak-kepakkan kedua sayapnya, menantang. Siap untuk berlaga. Dan Zul pun segera melepaskannya ke tengah-tengah gelanggang.
Bulu-bulu di tengkuk kedua ayam itu mengembang, tanda mereka siap untuk bertarung.
“Ayo Jalu, hajar ayam itu! Bikin dia keok!” Zul menyeru memberi semangat pada ayamnya.
Aming tak mau kalah. Dia pun menyeru kepada ayamnya, “Ayo Jengger, kalahkan si Jalu! Patuk dia sampai berdarah-darah!”
Anak-anak lainnya ikut bersorak-sorang menyemangati.
Dan pertarungan antara si Jalu dengan si Jengger pun dimulai. Kedua ayam itu saling mematuk. Terbang menerjang dengan jalu-jalunya. Si Jalu yang tubuhnya lebih kecil dari lawannya sering terpelanting-pelanting. Baru kali ini dia mendapatkan lawan yang berat. Tapi si Jalu pantang meneyerah begitu saja. Dia tak mau kalah. Bulu-bulu mereka berontokan. Gugur ke tanah.
Zul, Aming, Restu dan teman-teman lainya terus bersorak-sorai kegirangan.
Cukup lama juga pertarungan antara si jalu dengan si Jengger berlangsung. Sampai akhirnya si Jalu, jago yang selama ini tak terkalahkan, lari terkeok-keok di kejar si Jengger. Dia sudah tidah tahan lagi menahan nyeri luka akibat patukan maupun hujaman jalu milik si jengger. Aming bersorak kegirangan karena ayamnya berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu. Dia mengelus-elus tengkuk si Jengger yang juga banyak luka-luka.
Zul kecewa. Dia menjadi geram dan marah-marah pada ayamnya.
Sepulangnya Zul ke rumah, si Jalu dimasukan begitu saja ke dalam kurungan dari bambu Padahal, biasanya, setiap selesai bertarung, dia selalu mengobati luka-luka si Jalu. Tapi kali ini tidak. Bahkan dia enggan memberikan si Jalu makan. Ayam jago yang dulu selalu dibangga-banggakannya itu tertunduk lesu. Mungkin karena rasa nyeri di tubuhnya. Dia tampak sangat lemah. Pasti dia juga sangat haus dan lapar. Tapi Zul sama sekali tidak peduli dengan keadaan ayam jagonya itu.
Si Jalu yang kesakitan merintih-rintih di dalam kurungan bambu. Saat malam datang, zul tak kunjung memindahkannya ke kandang. Bahkan Zul tidak menengok sama sekali keadaan si Jalu. Si Jalu harus puas tidur beralaskan tanah yang lembab dan dingin. Dia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mau memberikan keadilan kepadanya. Selama ini, dia sudah membuat Zul bangga karena selalu memenangkan pertarungan. Tapi giliran dirinya berhasil dikalahkan oleh si Jengger, Zul menyia-nyiakannya begitu saja. “Ah, kalau saja Zul bisa merasakan penderitaanku…,” keluah si Jalu.
^^^
Tengah malam, Zul terbangun dari tidurnya. Betapa tekejutnya dia, saat membuka mata, dirinya telah berada di dalam kurungan si Jalu. Bukan itu saja. Zul merasakan sekujur tubuhnya remuk-redam. Serasa tak memiliki rangka. Lemas. Dia juga merasakan nyeri sekali. Belum lagi hawa malam yang dingin, ditambah tanah lembab, membuatnya menggigil. Zul benar-benar merasa tersiksa. Dia berusaha berteriak memanggil kedua orangtuanya. Tapi suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar seperti kokokan seekor ayam. Seperti… kokakan si Jalu?!
Zul mendapati dirinya telah berubah wujud menjadi si Jalu!
Zul meronta-ronta di dalam kurungan bambu. Berusaha keluar. Dia terus berusaha sepanjang malam. Sampai akhirnya, menjelang Subuh, Zul yang telah berubah menjadi si Jalu berhasil keluar dari kurungannya. Dia berkokok keras sekali di depan jendela kamar kedua orangtuanya.
Zul mengepakkan sayapnya gembira, waktu dia melihat lampu kamar kedua orangtuanya menyala. Zul langsung berteriak begitu melihat wajah ayahnya muncul di jendela kamarnya. Tapi ayahnya tidak mengerti dengan ucapan Zul yang seperti suara kokokan ayam. Maka Zul melompat dan bertengger di jendela kamar ayahnya. Dan kelakuannya itu membuat ayahnya menjadi kesal. Dia mengusir Zul yang berwujud seekor ayam dengan sapu. Mendapat perlakuan seperti itu, Zul segera melarikan diri. Dia lari tunggang langgang, terbang ke pagar, dan melompat turun ke luar halaman rumahnya.
Tapi saat kakinya baru saja menjejak tanah, entah dari mana, tiba-tiba bermunculan puluhan ekor ayam. Si Jengger yang tubuhnya besar juga ada di sana. Ayam-ayam itu siap menyerang Zul yang telah berubah wujud menjadi si Jalu. Zul yang berwujud seekor ayam merasa ketakutan. Dia berusaha melarikan diri. Tapi ayam-ayam itu mengepungnya. Ayam-ayam itu maju selangkah demi selangkah ke arah Zul, siap mematuk dan melukai Zul dengan jalu-jalunya yang bertaji. Zul menjadi gemetar melihat taji yang tajamnya seperti sebuah silet. Dia berteriak-teriak. Sampai…
Duk!
“Aduh…” Zul terjatuh dari tempat tidurnya. Dia meringis kesakitan. Rupanya dia hanya bermimpi. Ah, bagaimana seandainya hal itu benar-benar terjadi… pikir Zul. Dia teringat dengan si Jalu, ayam kesayangannya. Semalaman dia tidak memasukkan si Jalu ke kandangnya. Tidak mengobati luka-lukanya. Dan membiarkan ayamnya kehausan serta kelaparan.
Pasti si Jalu sangat menderita, batinnya. Zul segera berlari ke halaman belakang. Tapi dia tidak menemukan si Jalu di dalam kurungan bambu. Jangan-jangan…
“Cari apa Zul?” tegur ayahnya yang sudah bersiap berangkat kerja.
“Si Jalu, Yah!”
“Itu di kandangnya.”
Zul melihat si Jalu berada di dalam kandangnya. Meringkuk kesakitan.
“Semalam Ayah yang memasukkan si Jalu ke kandangnya. Kamu habis mengadu si Jalu ya? Lihat, tubuh si Jalu penuh luka.”
Zul menganggukkan kepala. Menyesal.
“Ya sudah, sekarang kamu obati luka-luka si Jalu. Lalu beri dia makan biar kesehatannya lekas pulih kembali.”
Zul segera mengeluarkan si Jalu dari kandangnya. Dia mengelus-elus ayam kesayangannya itu. Dan berjanji dalam hati tak akan pernah menyabung ayam lagi.
Langgan:
Catat Ulasan
(
Atom
)
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini