Bukan SIM Tembakan

(radarbangka.co.id)
Awal mula adalah firasat. Lalu sebuah kecelakaan di pertigaan dan STNK ditahan.

Begitulah, satu tahun lebih lelaki bernama Denny Prabowo itu mengendarai sepeda motor dari rumahnya di Depok ke kantornya di Gunung Sahari tanpa megantongi SIM.

Dua kali dia mengalami kecelakaan: yang pertama menyenggol stang motor orang, yang kedua disenggol ban belakangnya oleh ban depan motor orang. Namun, kejadian itu tak sampai membuatnya ditilang.


Sampai sore itu, lampu lalu lintas di pertigaan Gunung Sahari berwarna kuning, dia mempercepat laju kendaraannya. Seseorang terlihat ragu hendak menyeberang. Lawat zebra cross, lampu berwarna merah. Seseorang menyeberang dengan keraguannya. Mereka bertemu pada satu titik. Untung saja, dia masih sempat menghindar ke kanan, hanya ujung stang kirinya menghantam penyeberang ragu. Lalu motornya terjatuh. Terseret beberapa meter. Alhamdulillah tak ada yang luka serius. Polisi menahan STNK-nya.

Apakah kejadian itu yang kemudian menumbuhkan kesadarannya untuk membuat SIM? Sebelum kecelakaan itu, sesungguhnya dia telah bertekat menuruti ajakan sahabatnya, yang sudah tiga kali gagal tes praktek untuk kebutuhan membuat SIM. Namun, Allah seperti ingin menegurnya. Satu tahun lebih dia mengendari motor tanpa SIM, satu tahun lebih dia tak pernah ditilang polisi. Bukankah itu alasan yang masuk akal untuk sombong? Padahal, sombong jelas dilarang untuk alasan apa pun.

Sembilan hari setelah kejadian itu, dia pergi ke Polres Depok ditemani istri dan sahabatnya—yang harus mengikuti tes praktek untuk keempat kalinya—untuk membuat SIM C. Ini bukan pengalaman pertamanya membuat SIM. Tahun ’98 dia pernah membuat SIM A di tempat yang sama. Namun, ini merupakan pengalaman pertamanya membuat SIM melalui jalur yang seharusnya: ikut tes teori dan praktek mengendari motor.

Hal pertama yang dilakukannya setelah sampai di Polres, mengambil formulir di loket pendaftaran dengan menyerahkan uang sebesar 75 ribu rupiah. Lalu namanya dipanggil dan petugas menyerahkan kartu asuransi bagi pemegang SIM setelah dia membayar uang sejumlah 15 ribu rupiah. Selanjutnya mengisi formulir. Lalu diserahkan ke loket pendaftaran tes teori.

Begitulah, 3 jam dia harus menunggu giliran tes teori. Sementara itu, sahabatnya mengikuti tes praktek. Menjelang zuhur, sahabatnya kembali dengan membawa SIM. Akhirnya, gue lulus! Begitu kata sahabatnya. Bada zuhur, namanya dipanggil. Dia masuk ke ruang tes teori. Ada 30 pertanyaan. Salah lebih dari 12 dinyatakan tidak lulus. Sahabatnya hanya butuh satu kali tes teori. Dan katanya, kelewatan kalo lo nggak lulus, Mas!


Alhamdulillah, dia berhasil melalui tes itu dengan selamat. Dari 30 soal yang diberikan, dia benar 19. Hanya 11 jawaban yang salah. Dan dia pun berhak mengikuti tes teori. Banyak yang gagal melewati jalur balok yang telah diset untuk kebutuhan praktek pembuatan SIM C.

Istrinya menungguinya dengan gelisah. Sahabatnya sudah lebih dahulu meninggalkan Polres dengan mengantongi SIM baru.
Dia berpikir, satu tahun lebih dia mengendarai sepeda motor dari rumahnya di Depok ke tempat kerjaannya di Gunung Sahari. Jalur rintangan itu semestinya bukan persoalan yang sulit. Jika sahabatnya harus mengulang sampai 4 kali, itu sangat wajar sebab belum lama mengendarai sepeda motor.

Namun, kenyataan itu tak membuatnya lebih percaya diri. Pikirnya, kalo gue nggak lulus, bisa malu sama sahabat gue yang baru bawa motor nih. Kenyataan itu malah menjadi semacam beban.
Banyak yang gagal melewati rintangan balok itu.

Namanya dipanggil. Dia memilih untuk menggunakan motor bebek yang disediakan untuk kebutuhan tes itu. Motor itu dijalankannya dengan sangat tenang menuju garis start. Ia memandang jalur di depannya sebagai sirkuit balap yang harus dimenangkannya. Setelah mengucap basmallah, dia mulai tes menjalankan sepeda motor dengan gigi dua. Kaki kanan serta tangan kanannya sesekali menekan rem.

Alhamdulillah, dia berhasil melalui tes itu dengan selamat, tanpa satu balok pun yang terjatuh karena tersenggol motornya. Dengan begitu, dia terhindar dari menanggung perasaan malu pada sahabatnya yang lebih dulu lulus tes praktek itu.
Pukl 3.00, namanya dipanggil untuk dipotret dan direkam sidik jarinya.

Begitulah, dia kini telah mengantongi SIM C, setelah satu tahun lebih dia mengendarai sepeda motor dari rumahnya di Depok ke tempat kerjaannya di Gunung Sahari tanpa SIM. Bukan SIM tembakan seperti ketika dia membuat SIM A. Ada semacam sensasi tersendiri di dalam dirinya ketika dia berhasil mendapatkan SIM melalui jalur yang resmi.


Sebelum mengantongi SIM C, dia termasuk pengemudi yang cukup taat pada peraturan lalu lintas sampai kecelakaan di pertigaan lampu merah. Aku katakan cukup, sebab sesekali dia juga menerobos lampu merah dan masuk ke jalur bus transjakarta. Namun, semua itu tidak dilakukannya sebelum ada yang lebih dahulu melakukannya.

Apakah setelah mengantongi SIM yang diperolehnya lewat jalur resmi, dia akan menjadi lebih taat mematuhi peraturan lalu lintas? Atau sebaliknya, SIM yang dikantonginya menjadi semacam legalisasi untuk melanggar lalu lintas? Sebab kepanjangan dari SIM bisa berarti: Surat Izin Melanggar (lalu lintas). Entahlah, kita lihat saja nanti ….


Tebing Cakrawala,
30 Januari 2009
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini