Oleh Denny Prabowo
Dimuat di buku La Runduma (Jakarta: Menpora-CWI, 2005)
“Di mana aku bisa bertemu dengan Tuhan?”
Seorang anak kecil mengantarkan aku ke sebuah surau, yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, beratap rumbia. Sunyi. Sepertinya tempat ini sudah lama dilupakan.
Orang-orang di desa itu sibuk menanam padi di sawah. Tak ada waktu untuk ibadah. Ibadah hanya untuk orang-orang yang banyak waktu. Tuhan bisa menunggu. Lapar tidak menunggu waktu. Orang hidup harus makan. Tak peduli halal. Tak peduli haram. Yang penting makan!
Dulu aku seperti mereka. Berkejaran dengan waktu. Berlomba-lomba memenuhi pundi-pundi harta. Tak punya waktu buat Tuhan. Aku menjadi hamba dari nafsuku sendiri. Diperbudak keinginan-keinginan duniawi. Aku anak tunggal yang mewarisi harta orangtuaku. Kedekatan keluargaku dengan poros kekuasaan membuat segalanya menjadi sangat mudah. Mungkin aku anak muda paling kaya di negeri ini. Aku belum menikah. Belum merasa perlu untuk menikah. Kalau aku butuh wanita, aku tinggal angkat telepon, dari yang berprofesi model, bintang sinetron, penyanyi, atau penjaja seks komersial bisa kudapatkan dengan mudah. Siapa yang tak silau dengan harta yang kupunya?
Sampai suatu ketika, kutemukan wajah lusuh itu kusyuk bersujud di beranda samping masjid di samping kantorku. Gurat-gurat kemiskinan lekat di wajah senjanya. Dari satpam kantorku, kutahu, dia lelaki tunawisma yang selalu menghabiskan malam-malamnya di teras-teras rumah ibadah. Yang ketika matahari bertahta di singgasana hari, mengais-ngais rejeki dari tong-tong sampah, berharap menemukan sekerat roti dan seteguk air untuk mengusir lapar dahaganya.
Apa yang sedang dilakukan lelaki itu? Aku jadi tertarik memperhatikannya. Aku merasa pernah menganal gerakan-gerakan yang dilakukannya. Tapi sudah terlalu lama. Aku sudah tak ingat lagi. Kalau tak salah, saat duduk di bangku SD aku mempelajari gerakan-gerakan itu. Tapi semenjak SMP tak ada pelajaran tentang itu di sekolahku. Aku disekolahkan orangtuaku di sekolah katolik.
Aku seolah melihat lelaki itu mengembara di belantara sunyi jiwa. Begitu tenang. Ke manakah tujuannya?
Kulihat lelaki itu menengok ke kiri dan ke kanan, lalu menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Wajah kumal itu menjadi begitu bercahaya! Sungguh! Begitulah yang tampak oleh mataku. Teduh sekali wajahnya. Seolah dia baru saja kembali dari suatu tempat yang membuatnya menjadi demikian berbahagia.
Kuhampiri lelaki itu.
“Apa yang membuat anda kelihatan sangat berbahagia?”
“Aku baru saja ‘bertemu’ dengan Tuhan.”
“Ah, jangan main-main! Tuhan… tuhan? S-siapa?”
“Allah SWT!”
“A… Allah?”
“Ya. Laa ilaha illallaah. Tiada ilah selain Allah! Dia yang mengatur semesta raya.”
“Tuhan?… Allah? Di… Dia…”
“Ya. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya, sebab Dia yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya.”
“Termasuk kita?”
“Tentu saja.”
Tiba-tiba saja aku merasa kecil di hadapan lelaki itu. Ah, belum pernah aku merasa seperti ini di hadapan seseorang. Apalagi di hadapan seorang tunawisma. Biasanya orang-orang yang yang selalu menganggap dirinya kecil di hadapanku.
“Anda tentunya beragama?”
“I-iya.”
“Apa agama Anda?”
Agamaku? Aku mengambil KTP dari dalam dompetku. Di sana tertulis kalau aku beragama islam.
Lelaki itu tersenyum. Lantas berlalu meninggalkanku.
Ah, aku lupa menanyakan bagaimana rupa Tuhan itu…
Segalanya telah kumiliki. Kecuali… Tuhan! Di mana aku bisa membelinya? Aku berani membayar berapa saja untuk dapat memilikinya.
“Sebuah patung tak mungkin membeli pemahatnya. Begitupula manusia, mustahil membeli Tuhan yang menciptakannya. Tuhan bukan untuk dimiliki. Dia bukan milik siapa-siapa. Karena Allah SWT, Sang Maha Pemilik segalanya. Dia yang menggengam kehidupan. Manusia hanya bagian kecil dari kehidupan,” kata Ustadz Ali, tetanggaku.
“Aku ingin berjumpa dengan-Nya!”
“Dirikanlah masjid!”
Mendirikan masjid? Ah, itu hal yang mudah bagiku. Dengan harta yang kumiliki, seribu masjid sekalipun, mampu kudirikan. Ya, akan kudirikan masjid!
Aku mulai dengan mendirikan sebuah masjid di halaman rumahku yang teramat luas. Tak puas hanya sebuah, aku membangun lagi. Sebuah lapangan bola, dalam sekejap, kusulap menjadi sebuah masjid.
Tapi… Tuhan belum sudi mampir ke masjid-masjid yang kudirikan. Bangunan itu berdiri kaku. Hampa. Tak berjiwa. Seperti raga yang tak memiliki ruh. Mayat!
Lalu aku membangun sebuah masjid di kampung tetangga.
Tapi… hasilnya tak jauh beda
Satu satu masjid berdiri di atas tanah lapang. Kubah-kubah megah menantang setiap kita untuk datang. Sajadah-sajadah panjang dibentang. Muadzin melantunkan seruan: ‘Hayya alash shalaah…’ Berkumandang dari seribu masjid yang kudirikan.
Tapi Tuhan belum mau datang kepadaku. Apa yang kurang? Seribu masjid yang kudirikan, belum mampu menghadirkan Tuhan dalam diriku. Aku seperti hantu. Bergentayangan di alam duniawi. Karena masjid hanya batu. Mungkin aku harus mempelajari gerakan-gerakan itu… Tapi apa kata orang nanti kalau aku, yang telah mendirikan beberapa masjid tak bisa melakukan gerakan-gerakan yang biasa dilakukan orang-orang di masjidku—mereka biasa menyebutnya sholat. Mereka pasti akan menertawaiku!
Aku pergi menemui seorang ulama ternama. Wajahnya sering muncul di layar kaca. Mungkin dia punya jawabannya.
“Mengapa Tuhan tak mau datang kepadaku?”
“Allah SWT tidak akan datang kepadamu. Datanglah kepada-Nya!”
“Di mana tempat tinggal-Nya?”
“Di jalan lurus, tempat kebaikan menjadi raja.”
“Bagaimana caranya agar aku bisa sampai ke sana?”
“Dirikanlah masjid!”
“Aku sudah mendirikan beberapa masjid. Harus berapa lagi yang kudirikan?”
Ulama itu mengernyitkan dahi, lalu tersenyum penuh arti kepadaku. Senyum yang tak kumengerti. Tapi tidak juga kucoba menanyakan artinya. Sebab aku malu terlihat bodoh di hadapannya.
Mungkin, aku harus mendirikan seribu masjid… Ya. Seribu masjid akan kudirikan!
Aku mulai membangun lagi masjid. Semua dana yang kumiliki, kualokasikan untuk mewujudkan keinginanku bertemu dengan Tuhan… Allah!
Satu satu masjid kudirikan. Sepuluh. Tiga puluh. Lima puluh. Seratus. Tiga ratus. Lima ratus… Seribu!
Tak ada lagi yang tersisa. Hartaku habis untuk membangun masjid-masjid itu. Aku jatuh bangkrut. Miskin harta. Tapi masjid masih saja batu. Beku. Dan Tuhan belum sudi mampir.
Menyerah?
Tidak! Sudah terlampau jauh aku melangkah. Tak mungkin lagi untuk berpaling kembali. Pencarianku akan Tuhan, tak akan berhenti. Walau lapar dan dahaga, seperti maut yang menari-nari di atas kepala. Kerinduanku pada Allah, sang penggenggam kehidupan, lebih berarti dari kehidupan itu sendiri.
Hari berganti hari. Lautan waktu aku seberangi. Tak letih aku mencari. Menggelandang dari kehidupan satu ke kehidupan lain. Rambutku memutih. Janggutku memutih. Kulitku lusuh digilas cuaca. Musim hujan. Musim kemarau. Silih berganti. Datang dan pergi sesuka hati.
Aku makan dari sisa-sisa kehidupan. Aku minum air hujan. Aku mandi debu-debu jalanan. Namun mulutku tak pernah letih melontar tanya: “Di mana aku bisa bertemu dengan Tuhan?”
“Aku tahu di mana tempat tinggal tuhan,” kata seorang wanita di pinggir jalan dengan gaun seperti iklan, yang mengajak setiap lelaki hidung belang datang menjamah tubuhnya.
“Antarkan aku ke sana!”
Dia menggandeng tanganku. Mesra. Bola matanya tak lelah menggoda. Diajaknya aku ke sebuah gubuk reot, di belakang stasiun kereta.
“Kau mau tahu di mana Tuhan berada?”
Aku mengangguk antusias. Tak sabar. Akhirnya…
Wanita itu mulai menanggalkan satu-satu pakaiannya. Telanjang!
“Tuhan tidak akan mempermalukan dirinya seperti itu!” kutinggalkan gubuk penuh maksiat. Wanita itu memaki-maki.
Aku melanjutkan pengembaraan.
Tiba di sebuah tanah lapang, suara musik meliuk-liuk. Muda-mudi, orang dewasa, sampai anak-anak ingusan, tumpah-ruah. Mereka semua bergoyang mengikuti irama gendang.
“Di mana aku bisa bertemu dengan Tuhan?”
“Lihat di sana!” kata seorang pemuda yang tengah asyik bergoyang. Dia menunjuk ke arah panggung. Di atas panggung, seorang biduanita melagu dendang, sambil memutar pantat ke bawah, ke atas, berulang-ulang.
“Aku tidak bodoh. Tuhan bukan tontonan. Tapi tuntunan! Kalau yang seperti di atas panggung itu bukan hanya bisa kumiliki, dulu, mereka bahkan sudi menjilati kakiku bila kumau.”
Pemuda itu tak peduli. Otaknya sudah diracuni minuman beralkohol. Dia hanya tertawa-tawa sambil terus bergoyang.
Ke mana lagi kakiku harus melangkah? Ke jalan lurus tempat kebaikan menjadi raja? Di mana?
Seorang pejalan kaki dengan wajah iba, melemparkan dua keping koin limaratus, ke arahku.
“Hei! Di mana aku bisa bertemu dengan Tuhan?”
“Gila! Jangan macam-macam. Cari saja makanan! Biar tidak hilang akal di kepalamu.”
Kota besar. Orang-orang sibuk. Bekerja. Cari uang buat makan. Kalau masih ada sisa, buat foya-foya. Cari hiburan. Biar fresh. Jadi tidak stres. Kemudian, bekerja lagi. Cari uang lagi. Tak ada waktu buat Tuhan.
Gila? Ya, gila! Kata mereka kepada orang yang merindukan untuk bertemu dengan Tuhan. Tapi kalau dengan gila bisa mengantarkan aku bersujud di bawah singgasana keagungan-Nya, biarlah aku menjadi gila di hadapan dunia. Mengembara dalam sunyi belantara jiwa. Kembali ketujuan akhir setiap makhluk ciptaan-Nya.
Ya… akulah si gila!
Anak-anak kecil melempari aku dengan kerikil.
Duhai Dzat yang mahaagung, betapa berat perjalanan ini.
Kukayuh langkah dalam diam. Tanpa kata. Tak suara. Sudah lelah aku bertanya. Karena setiap mereka yang kutanya, hanya mempertemukan aku dengan tuhan-tuhan yang lahir dari kebutuhan nafsu belaka. Mereka telah dibutakan kehidupan. Atau jangan-jangan, malah mereka yang membuat kehidupan menjadi buta?
Akan kutanyakan pada Tuhan. Nanti. Kalau aku bertemu dengan-Nya. Karena hanya Dia saja yang memiliki semua jawaban.
Lalu takdir melemparkan aku ke sebuah desa, nun jauh entah di mana. Jangan kautanyakan aku, bagaimana aku bisa sampai ke tempat itu. Aku tidak pernah membaca petunjuk jalan. Hanya berjalan. Biar saja Tuhan yang akhirnya menentukan, ke mana langkah kaki kubawa pergi.
Dan takdir pula yang mempertemukan aku dengan seorang bocah kecil. Yang mengantarkan aku ke sebuah surau terpencil—bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu. Kontras sekali dengan masjid-masjid yang kubangun.
“Kau yakin di sini tempatnya?” kataku kepada bocah itu tanpa menoleh. Tak ada yang menjawab. Lalu aku menoleh ke arah si bocah berdiri. Bocah kecil itu sudah tidak ada. Menghilang!
“Assalamu’alaikum!” sapa seorang pemuda, yang keluar dari dalam surau.
Sesaat, aku begitu terpesona dengan paras wajahnya. Wajahnya begitu bening. Terang. Membawa kedamaian bagi setiap yang memandang. Tak terkotori oleh nafsu duniawi.
“Assalamu’alaikum!” ulangnya.
“Wa… wa’alaikum sa… salam…,” jawabku. Terbata-bata.
Dia tersenyum.
“Anak kecil yang mengantarkanku ke sini mengatakan, kalau aku bisa bertemu dengan Tuhan di sini. Apakah anda…”
“Oh, bukan. Aku tak ubahnya seperti Bapak, hanya mahluk ciptaan-Nya.”
“Lalu di mana Dia?”
Pemuda berwajah bening itu membimbing aku masuk ke dalam Surau. Setelah sebelumnya, mengajak aku membersihkan hadas dengan air sumur. Kemudian menggelar sajadah di hadapanku.
“Tuhan sudah lama menunggumu. Mari kita sama-sama menemuinya.”
Rembang petang segera menghilang. Pemuda berwajah bening melantunkan Adzan. Suaranya lantang. Menggema di angkasa. Menyusup ke dalam telinga segenab insan. Mengajak setiap kita untuk datang ke gubuk milik Tuhan. Seperti yang sering kudengar dilantunkan dari masjid-masjid yang kudirikan.
Tak ada yang datang.
Kulihat dia menggeleng-gelengkan kepala. Pasrah. Lalu dia mulai berdiri di atas tikar sajadah. Sepertinya…
Kucolek lengan pemuda itu. Dia menoleh. “A-aku tak bisa gerakan-gerakan itu…”
Pemuda itu tersenyum.
“Ikuti saja apa yang aku lakukan dan ucapkan.”
“Baiklah.”
“Allahu’akbar!”
Aku mengikuti gerakan dan ucapannya dalam hati.
Lalu…
Aku seperti melangkah dalam sunyi jiwa. Perlahan-lahan memasuki jagad tanpa warna di belantara keagungan-Nya. Rasa haus rinduku, terobati seketika. Belenggu nafsu dan keinginan duniawi, seolah sirna. Menghilang!
Dan ketika sampai dahiku menyentuh lembar sajadah, tiba-tiba… aku merasa begitu kaya. Sebuah masjid megah berdiri di taman jiwa. Masjid sejati, yang tak lapuk dimakan cuaca. Masjid sejati, yang tak ambruk ketika datang badai menyapa. Masjid sejati, yang tak lekang dimakan usia. Mengabadi.
Lalu di setiap sujudku, berdiri masjid-masjid sejati. Yang menjadi ruh dari masjid-masjid batu yang telah kudirikan. Kini masjid tak lagi batu. Aku tak lagi hantu. Keduanya telah dipertemukan dalam sujud.
Dan wajah Tuhan… tiba-tiba wajah Tuhan ada di mana-mana! Allah?!... Ya! Karena tiada ilah selain Allah SWT.
Selesai aku mengucapkan salam, aku baru menyadari, pemuda berwajah bening di hadapanku, telah menghilang!
*Cerpen ini pernah dimuat di Annida. Setelah diedit, dikirim ke Sayembara Cerpen Menpora dan masuk nominasi.
Home / Cerpen /
Majalah Annida /
Portofolio /
Sayembara Cerpen Menpora-CWI 2005
/ Seribu Masjid yang Kudirikan
Langgan:
Catat Ulasan
(
Atom
)
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini