Memoar Seorang Pendaki

(Pendakian pertama saya ke Gunung Salak)

Sejak mendengar penuturan dari teman saya yang pernah melakukan pendakian ke Gunung Salak, saya dan teman-teman saya langsung menjadikan tempat itu sebagai target pendakian kami! Gunung Salak memiliki ketinggian 2211 mdpl. Dibandingkan dengan dua saudara terdekantnya Gunung Gede-Pangrango yang memiliki ketinggian tigaribuan, gunung Salak jadi nampak sangat kerdil. Meski begitu, si Kerdil jaul lebih menjanjikan tantangan dibandingkan dengan gunung Gede-Pangrango.

Hampir malam, ketika saya dan tiga teman saya: Aji, Amin dan Yoga sampai di bumi perkemahan Bukit Cangkuang, di desa Cidahu. Kabut memekat. Dingin merambati permukaan kulit. Selepas mengurus ijin pendakian, kami meniti jalan aspal yang menanjak. Mencari tempat untuk mendirikan tenda, sebelum malakukan pendakian esok hari.

Pagi hari, selepas mengisi perut kami dengan sarapan pagi, kami mengemasi perlengkapan kami ke dalam keril. Dari tempat kami mendirikan tenda, nampak sebuah puncak yang kami duga adalah puncak Gunung Salak yang sepertinya tidak terlalu jauh. Bahkan sempat kami meremehkannya, membandingkannya dengan puncak Gede yang sudah beberapakali kami daki, yang jauh lebih tinggi.

Setelah semua perlengkapan tertata rapi dalam keril, kami membuat lingkaran. Saya memimpin doa, sebelum siap melakukan pendakian hari itu. Baru saja kami akan mulai melangkahkan kaki, memulai pendakian hari itu, tiga orang pendaki berlari-lari seraya melambaikan tangan menghampiri kami.

“Mau ke puncak ya, Mas?” tanya salah seorang dari mereka yang langsung dijawab dengan anggukan oleh kami berempat.

“Boleh kami gabung?” mohon mereka, “sudah dua hari kami tersesat di gunung, dan tak berhasil menemukan jalur ke puncak.”

“Boleh aja,” jawabku, “tapi kami berempat juga baru pertama kali mendaki ke tempat ini. Jadi, kita cari sama-sama aja jalur pendakiannya ya.”

Keteranganku itu sempat membuat tiga pendaki yang berasal dari Indramayu itu menjadi ragu. Saya dan juga teman-teman memang baru pertama kali ke tempat itu. Kami mendaki hanya berbekal sedikit keterangan dari teman saya yang sudah beberapa kali mendaki gunung Salak. Tapi akhirnya, tiga pendaki yang masing-masing bernama: Adi, Selamet dan Ari itu memutuskan untuk sama-sama mendaki bersama kami.

Beberapa pendaki yang berpapasan dengan kami, rata-rata lebih memilih Kawah Ratu sebagai tujuan mereka. Beberapa kali kami bertanya pada para pendaki itu, ternyata, memang tak banyak yang tahu jalur menuju puncak Salak. Hari itu kami hanya meraba-raba berdasarkan keterangan dari teman saya. “Susuri saja jalan batu, kalau bertemu pertigaan, belok ke kanan!” begitu informasi yang disampaikan oleh teman saya. Kami terus berjalan. Sampai kami menemukan sebuah tanda di pohon yang bertuliskan TOP (puncak). Sesuai petunjuk itu, kami membelok ke kanan.

Tapi rupanya, jalur yang kami lalui itu merupakan jalur pelantikan yang memang sengaja dibuat sesulit mungkin. Semak belukar menghadang jalan kami. Daun-daun salak hutan berkali-kali menggores kulit kami. Dengan kontur tanah yang naik turun, pendakian hari itu sungguh-sungguh membuat kami keletihan.

Aku berjalan di depan rombongan, membuka jalan. Dan langkah kami harus terhenti di depan sebuah jurang yang nyaris saja menelan tubuhku, kalau saja aku tak lekas-lekas berpegangan pada belukar yang merimbun persis di gigir jurang. Kami putuskan untuk beristirahat sejenak. Sambil mencari-cari jalan, untuk menghindari jurang itu.

Adi, pendaki asal Indramayu menemukan jalur yang tertutup ranting-ranting pohon. Dengan menggunakan golok yang dibawanya, Adi membabat ranting-ranting pohon yang menjuntai, menghalangi jalan.

Tiba-tiba saya berdiri, berjalan menghampiri Adi. Langkah saya terhenti persis sejajar di sisi kirinya, bersamaan dengan tangan kanan Adi mengayunkan golok. Adi yang tidak melihat kedatangan saya, tak sempat menghentikan ayunan goloknya. Akibatnya, golok yang diayunkannya itu menyambar batang leher saya, sebelum terlepas dan terjatuh dari tangan Adi!

“Kamu gak papa? Kamu gak papa?” ucap Adi berkali-kali seraya memeriksa cemas betang leher saya. Saya meraba-raba leher saya yang tersambar golok Adi. Tak ada setetes darah pun yang menyembur dari batang leher saya yang tersambar golok Adi. Sempat terselip kecemasan, kalau darah akan segera menyembur beberapa saat setelahnya. Tapi bukan hanya tak ada darah yang menyembur, bahkan tak segores luka yang membekas di batang leher saya! Ah, kalau saja saya setapak lebih maju lagi, mungkin ceritanya akan berbeda…

Mahasuci Allah yang di tangan-Nya tergenggam takdir tiap manusia. Sungguh bukan karena saya punya ilmu kebal, atau melakukan amalan-amalan yang membuat tubuh saya jadi tak mempan senjata. Apalagi sampai bersekutu dengan syetan demi memiliki kekuatan itu. Tidak. Sama sekali tidak. Hari itu Allah Swt benar-benar telah menjadi penolong dan pelindung nyata bagi saya, karena saya tak pernah mengambil pelindung selain dari-Nya. Hasbunallaah wa ni’mal wakiil (Ali Imran:173). Ni’mal maulaa wa ni’man nashiir (Al Anfaal:40).

Dan saat itu, Allah bukan saja melindungi serta menolong saya dari sebuah petaka yang mungkin sekali merengut nyawa saya, tapi Dia juga mengijinkan saya menjejakkan kaki untuk yang pertama kalinya di puncak setinggi 2211 Mdpl itu, Gunung Salak. Dan peristiwa itu, menebalkan keyakinan saya pada pertolongan Allah Swt bagi mereka yang istiqomah melangkahkan kaki di jalan-Nya, jalan lurus tempat kebaikan menjadi raja. Mahasuci Allah yang ditangannya tergenggam hidup dan mati kita.


Rumah Cahaya, 11 November 2005
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini