Perjodohan, Materialisme, dan Praktik Perdukunan dalam Azab dan Sengsara

Esai Denny Prabowo

Balai Pustaka menerbitkan Azab dan Sengsara pertama kali tahun 1920. Novel ini merupakan karya kedua dari Merari Siregar, setalah tahun 1918 menerbitkan novel saduran, Si Jamin dan Si Johan.

Azab dan Sengsara dianggap sebagai tonggak lahirnya novel modern di Indonesia. Selain karena penggunaan bahasa Melayu Tinggi, karya Merari ini tak lagi berbetuk hikayat. Walau apabila ditinjau dari segi ceritanya, masih mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari seperti dalam hikayat. Namun, berbeda dengan hikayat yang selalu mengungkapkan dunia istana, Azab dan Sengsara justru memaparkan dunia orang biasa, serta menampilkan unsur-unsur kritik sosial yang tidak pernah ditampilkan dalam hikayat.

Merari Siregar menulis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pengamatannya terhadap kehidupan masyarakat Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara. Di tempat itulah ia dilahirkan dan dibesarkan sehingga terbiasa dengan adat masyarakatnya. Namun, ketika ia telah memperoleh pendidikan, ia mulai kritis terhadap adat masyarakat Sipirok yang dinilainya tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal inilah yang menggugah dirinya untuk menulis sebuah karya sastra, seperti diakui sendiri olehnya.


Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini, meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca, adalah benar belaka, Cuma waktunya terjadi kuatur—artinya dibuat berturut-turut—supaya cerita ini lebih nyata dan terang. (hlm. Vii)

Azab dan Sengsara mengetengahkan kisah cinta antara Aminu’ddin dan Mariamin. Novel ini dibuka dengan tradisi martandang, yaitu kunjungan pemuda ke rumah pemudi baik sebagai teman biasa, maupun telah menjadi kekasih. Hal ini termasuk adat pergaulan muda-mudi yang berlaku di Batak Angkola. Aminu’ddin menemui Mariamin di rumahnya untuk berpamitan. Ia akan bekerja di Medan demi mewujudkan cita-citanya menikahi kekasihnya, Mariamin.

Amidu’ddin dan Mariamin berkawan sejak mereka masih kecil. Namun, kehidupan mereka amat berbeda. Ayah Aminu’ddin, Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang kaya dan terhormat. Masyarakan Sipirok amat segan dan hormat kepadanya. Sementara Mariamin, hidup dalam kemelaratan bersama ibunya. Ayahnya, Sutan Baringin, telah meninggal dunia.

Dahulu, sesungguhnya keluarga Mariamin kaya. Namun, semasa hidupnya, Sutan Baringin terkenal boros dan serakah. Ia sering berperkara dengan orang lain mengenai harta. Sikapnya yang demikian sesungguhnya akibat dari pola asuh di keluarganya. Saat kecil, orang tua Sutan Baringin begitu memanjakannya. Semua yang diinginkan oleh Sutan Baringin selalu dipenuhi. Akibat kesalahan dalam pola asuh dari orang tua Sutan Baringin, Mariamin beserta ibunya harus menanggung azab dan sengsara.

Meski begitu, Amidu’ddin tak pernah mempermasalahkan kemiskinan keluarga Mariamin. Pertemanan yang dibina sejak kecil itu, menumbuhkan perasaan cinta dalam diri Aminu’ddin dan Mariamin. Maka ketika Aminu’ddin telah beroleh pekerjaan di Medan, ia mengutarakan niatnya untuk menikahi Mariamin di Medan. Ibunda Mariamin tidak keberatan dengan niat Aminu’ddin, apalagi ia merasa berhutang nyawa pada kemenakannya itu. Saat Mariamin terjatuh ke sungai, Aminu’ddin yang menyelamatkannya. Ibunda Aminu’ddin pun menyetujui niat anaknya menikahi Mariamin. Biar bagaimana pun, Mariamin masih keponakannya. Dan pernikahan itu dapat membantu kehidupan anak dari kakaknya tersebut.

Namun, Baginda Diatas memiliki pendapat berbeda dengan istrinya. Pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin akan merendahkan derajat serta martabat keluarganya. Menurutnya, putranya lebih pantas menikahi wanita dari keluarga kaya dan terhormat.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajak istrinya menemui seorang dukun untuk mengetahui nasib anaknya jika menikah dengan Mariamin. Dukun itu mengatakan, apabila Aminu’ddin menikahi Mariamin ia akan mengalami nasib buruk dan tak bahagia selamanya. Sebenarnya perkataan dukun itu tipu muslihat karena sebelumnya ia telah mendapat pesan dari Baginda Diatas. Ibu Aminu’ddin masuk dalam perangkap, ia memercayai perkataan dukun itu dan menyerahkan urusan pernikahan anaknya kepada Baginda Diatas.

Tanpa sepengetahuan Aminu’ddin, Baginda Diatas meminang seorang gadis yang berasal dari keluarga bangsawan kaya. Melalui surat, Aminu’ddin diberitahu bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Tentu saja Aminu’ddin gembira. Sudah lama ia membayangkan akan menikah dengan Mariamin. Namun ketika Aminu’ddin menjemput di stasiun, ternyata bukan Mariamin yang datang besama ayahnya, melainkan seorang gadis lain yang bermarga Siregar.

Meski kecewa, Aminu’ddin tidak dapat menolak keinginan ayahnya. Ia mematuhi ayahnya bukan karena tidak setia pada Mariamin. Jika ia menolak menikahi gadis itu, keluarganya akan mendapat malu. Belum pernah terjadi dalam adat mereka, seorang gadis yang telah dijemput dikembalikan kepada keluarganya. Dengan keterpaksaan, Aminu’ddin menikah dengan gadis pilihan ayahnya.

Setelah pernikahan itu, Aminu’ddin meminta kedua orang tuanya membawakan nasi bungkus kepada ibu Mariami sebagai permohonan maaf. Saat itulah ayah Aminu’ddin melihat perilaku Mariamin yang serba baik dan wajah rupawannya yang jarang ditemukan pada gadis-gadis lain. Mereka pun menyesal. Namun, nasi telah menjadi bubur.

Setelah mendengar pernikahan Aminu’ddin, Mariamin sangat terpukul hingga ia jatuh sakit. Ia merasa begitu kecewa. Saat Aminu’ddin pergi ke Medan, banyak pemuda yang melamar dirinya, tetapi ia selalu menolaknya. Namun, kesetiaannya harus dibayar dengan kekecewaan.

Tidak lama selepas pernikahan Aminu’ddin, Mariamin menikah dengan Kasibuan, lelaki pilihan ibunya. Mariamin tidak dapat menolak permintaan ibunya untuk menikah, dengan lelaki yang bekerja sebagai kerani di Medan itu. Ibunya berharap, pernikahan itu akan mengurangi penderitaan anaknya.

Selepas menikah, Kasibuan membawa Mariamin ke Medan. Ternyata pernikahan mereka tidak seperti yang diharapkan oleh ibu Mariamin. Kasibuan menderita penyakit kelamin yang dapat menular. Oleh sebab itu, Mariamin selalu menolak ketika Kasibuan mengajaknya berhubungan intim. Mariamin meminta Kasibuan untuk menyembuhkan dahulu penyakitnya.

Saat mengetahui Mariamin tinggal di Medan, Aminu’ddin datang megunjunginya. Ketika itu Kasibuan sedang tidak di rumah. Kedatangan Aminu’ddin itu ternyata sampai ke telinga Kasibuan. Mariamin berusaha menjelaskan bahwa kedatangan Aminu’ddin tak lain hanya untuk meminta maaf. Namun, Kasibuan terlanjur dibakar cemburu. Terjadilah pertengkaran. Kasibuan menganiaya Mariamin!

Karena tak kuat menanggug siksa dari suaminya, Mariamin melapor tindakan suaminya itu ke polisi. Kasibuan pun ditangkap. Ia harus membayar denda dan memutuskan tali pernikahan dengan Mariamin.

Setelah bercerai dengan suaminya, Mariamin kembali ke Sipirok membawa rasa malu. Perasaan malu tersebut yang membuat dirinya tertekan dan pada akhirnya meninggal dunia dengan membawa semua penderitaannya. Pengarang mengakhiri novel ini dengan ungkapan, “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad badan yang kasar itu”.

***

Dari rigkasan cerita di atas, jelas bahwa Merari Siregar hendak mengangkat persoalan perjodohan yang berlaku di Sipirok. Dalam masyarakat Batak Angkola yang menganut sistem patrelineal, seorang ayah memiliki otoritas yang tinggi dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya.


“Benar perbuatan kami ini tiada sebagai permintaan Ananda, tetapi janganlah anakku lupakan, kesenangan dan keselamatan anak itulah yang dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itu pun harapan bapak dan ibumu serta sekalian kaum-kaum kita anakku akan menurut permintaan kami, yakni ananda terimalah menantu Ayahanda yang kubawa ini!” (hlm. 136)

Sayangnya, dalam penentuan calon tersebut, seorang ayah—yang dalam novel ini diwakili oleh Baginda Diatas—sering hanya melihat pada aspek material saja. Kemiskinan menjadi faktor utama Baginda Diatas berusaha keras menentang pernikahan putranya dengan Mariamin, meski sesungguhnya Mariamin memiliki bangsa yang tinggi. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini.

Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tidak mungkin karena tidak patut! Bukankah orang itu telah hina di mata orang, lagi pula tak berada, boleh dikatakan orang yang semiskin-miskinnya di daerah Sipirok? Orang begitukah yang akan menjadi tunangan Aminu’ddin? Oo, sekali-kali tidak boleh; Aminu’ddin seorang anak muda, belum tahu ia membedakan bangsa, haruskah didengar permintaannya itu? Betul anak gadis itu bagus rupanya, lagi masuk kaum mereka juga, akan tetapi kaum tinggal kaum, perempuan yang elok dapat dicari. (hlm 122)

Sikap Baginda Diatas yang menghalangi pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin itu, sesunggunya bertentangan dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Angkola. Sebab hubungan Aminu’ddin dengan Mariamin bukanlah hubungan cinta berahi, dan bukan pula hubungan semarga yang memang tidak dibolehkan dalam masyarakat Batak Angkola. Akan tetapi, hubungan mereka didasari oleh kedekatan keluarga. Ayah Mariamin adalah kakak dari ibunda Aminu’ddin sehingga meski Mariamin sepupu Aminu’ddin, tetapi marga mereka berbeda. Marga Aminu’ddin mengikut pada ayahnya Baginda Diatas, sedang Mariamin turut marga Sutan Baringin. Dalam adat masyarakat Batak Angkola, Aminu’ddin memanggil Mariamin Boru Tulang (anak perempuan dari saudara laki-laki pihak ibu). Sedangkan Mariamin memanggil Aminu’ddin Anak Namboru (anak laki-laki dari saudara perempuan ayah).

Jika mengacu pada adat yang berlaku, orang tua Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan hubungan anaknya dengan Mariamin. Bahkan harus menikahkan keduanya. Pernikahan semacam ini disebut perkawinan manyonduti (kembali ke pangkal keluarga). Tujuannya seperti yang dikatakan pengarang salam novel ini, “Tali perkauman bertambah kuat” (hlm. 33).

Namun, karena persoalan material, Baginda Diatas tidak mengindahkan adat tersebut. Ia malah memilih gadis kaya dari keluarga Siregar. Persoalan materi juga yang menyebabkan Sutan Baringin berlomba-lomba memperbanyak harta dengan cara yang tidak baik sehingga berakibat buruk bagi anak dan istrinya di kemudian hari. Pernikahan paksa yang dialami Mariamin dengan Kasibuan pun bersumber pada persoalan materi ini.

Persoalan nikah paksa seperti yang dialami oleh Aminu’ddin dan Mariamin telah menjadi tradisi dalam masyarakat Sipirok ketika itu. Nuria, ibunda Mariamin juga secara paksa dinikahkan dengan Sutan Baringin, orang yang sama sekali tidak dicintainya. Jadi, pernikahan semacam ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak kakek-nenek mereka.

Selain persoalan perjodohan, Merari Siregar juga menyoroti kebiasaan masyarakatnya yang menggantungkan nasibnya pada kekuasaan datu (dukun). Hal itulah yang dimanfaatkan oleh Baginda Diatas untuk memperdaya istrinya, seperti dalam kutipan di bawah ini:

“Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik menantu kita pergi mendapatkan Datu Naserdung, akan bertanyakan untung dan rezeki Aminuddin, bila ia beristirahat Mariamin.”

Pada keesokan harinya pergilah kedua laki-laki itu membawa nasi bungkus ke rumah datu itu. Setelah habis makan mereka itu pun menceritakan maksud kedatangan mereka. Datu itu pun bertanya nama yang laki–laki dan orang tuanya, nama anak gadis itu serta orang tuanya pula. Kemenyan pun dibakarlah, sehingga rumah itu penuh dengan asap dan bau kemenyan.Beberapa lama dukun itu mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan serta berbisik–bisik membaca doa dan mantera. Kemudian ia membuka buku yang terletak di bawah perdupaan itu, lalu dibacanya ayat yang ditulis di dalamnya.

“Maksud itu kurang baik. Awalnya laki-laki selamat dan beruntung. Lepas dua tahun, lahir seaorang anak laki–laki, tetapi baru-baru ia berusia tujuh tahun, anaknya meninggal dunia. Kata datu itu lambat-lambat tetapi terang dan nyatanya suara” (hlm. 123).

Setelah kedatangan mereka ke rumah datu itu, meski kesal karena maksudnya tak sampai, ibunda Aminu’ddin memercayai perkataan dukun itu. Ia kemudian menyetujui rencana suaminya yang hendak menjodohkan Aminu’ddin dengan gadis lain. Bisa dikatakan, kepercayaan kepada dukun ini menjadi salah satu sebab penderitaan yang harus dialami Aminu’ddin dan terutama Mariamin, selain tradisi kawin paksa yang berlaku dalam masyarakat Sipirok ketika itu.

Tokoh utama dalam novel ini, Aminu’ddin dan Mariamin tak berdaya menentang adat yang berlaku, meski mereka telah berpendidikan. Bahkan, Aminu’ddin yang sudah memiliki penghidupan sendiri, tidak menumpang pada orang tua, juga tak mampu melawan kehendak ayahnya! Melalui kondisi tokoh yang demikian, agaknya pengarang ingin mengetengahkan penderitaan akibat sistem perjodohan, sikap materialistis, dan kepercayaan pada dukun.


Gunung Sahari, 23 Juli 2010


Daftar Pustka

Siregar, Merari. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka, 2005, cet.25
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini