Sunrise di Puncak Gede



Derak angin mengantarkan gigil ke tubuhku. Kurapatkan jaket parasut yang kukenakan. Sejenak kuhempaskan tubuhku di atas tanah. Melepas lelah. Kuteguk air mineral langsung dari botolnya sampai tinggal setengah.

Cahaya bulan menerobos celah dedaunan. Sesaat kemudian menghilang. Sejumput awan kelabu menghalangi lingkaran berwarna keperakan sebesar bola sepak itu. Malam kembali pekat.

Seleret cahaya dari lampu senter menuluh bola mataku. Aku terpicing karenanya. Tak berapa lama, dua orang pendaki melintas di depanku. Seperti terkejut mereka melihatku sendiriran.

“Sendirian, Bang?” tanaya salah seorang dari mereka yang berjaket kuning, melepaskan kerilnya dan duduk di dekatku.

“Iya, nih.”

“Kok bisa?” mereka agak keheranan melihatku bisa mendaki sendirian. Peraturan di Gunung Gede-Pangrango memang tidak memperbolehkan pendakian dilakukan seorang diri. Minimal tiga orang.

“Molos. Habis malas booking.”

“Iya, Bang. Mendingan begitu. Emangnya gunung ini punya mereka? Bikin peraturan seenaknya aja.”

“Sebenarnya niatnya sih baik. Membatasi jumlah pendaki. Tapi prakteknya, malah sering dijadikan objekan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Saya aja waktu naik sama teman-teman beberapa bulan yang lalu pernah ditawarin sama satpam di Visitor Center, Cibodas, mereka bisa mengusahakan saya masuk, tapi harus bayar duapuluh ribu rupiah per orang!”

“Korupsi udah jadi budaya di negeri ini, Bang!” geram seorang diantara mereka yang memakai jaket merah.

“Tadi aja, ada rombongan dari Makassar yang gagal mendaki, gara-gara mereka belum membooking! Kasihan kan mereka udah jauh-jauh ke sini,” kata yang berjaket kuning.

“Terus?”

“Katanya sih, mereka mau ke Gunung Salak, bareng rombongan anak Jakarta yang juga gagal mendaki. Di sana nggak perlu booking.”

“Semestinya, anak-anak Makassar itu diberi dispensasi.”

“Harusnya begitu, Bang.”

“Kalian sendiri dari mana? cuma naik berdua?”

“Kita dari Depok, Bang. Rombongan. Ada sepuluh orang. Tuh dia teman-teman saya!” kata yang berjaket merah begitu melihat teman-temannya tiba di tempat itu.

Setelah rombongan mereka lengkap, mereka melanjutkan pendakian. Meninggalkan aku bersama kesendirian. Aku tidak sedang terburu-buru. Masih banyak waktu sebelum sunrise di Puncak Gede. Aku mau menikmati matahari merangkak perlahan dari balik tebing cakrawala, untuk menyinari bumi hari ini.

Ah… tiba-tiba saja aku teringat dengan kenangan setahun yang lalu. Di tempat ini, tepat setahun yang lalu, aku bertemu dengan seorang gadis manis. Gadis itu bernama Riyanni. Tubuhnya tinggi semampai. Rautnya cantik serupa bidadari penghuni kayangan. Senyumnya sesejuk surga. Membuat aku ingin tinggal di dalamnya. Rambut legamnya tergerai hingga melebihi punggungnya. Dia mendaki bersama dua orang temannya. Namanya… O ya, nama kedua temannya Irma dan Doddy.

Aku masih ingat bagaimana dia menyapaku setahun yang lalu.

“Bisa minta airnya nggak, Mas?” katanya sambil memprlihatkan senyumnya yang serupa surga.

“Kok tahu sih kalo nama saya Thomas?”

“Lho, bukannya Mastur?” katanya dengan mimik muka lucu, “Wah… saya salah orang nih…”

“Sembarangan!” sungutku. Gadis manis itu tertawa cekikikan.

Tak berapa lama, dua orang temannya datang. Wajah-wajah mereka bagai huma yang merindukan sang hujan. Kerontang. Kuberikan botol minumanku yang masih penuh kepada mereka. Dalam sekejap, air mineral di dalamnya lesap tak bersisa setetes pun!

“Masih ada lagi?”

Kuberikan sebotol lagi kepada mereka. Untungnya persediaan airku berlebih. Aku memang sengaja membawa persediaan air lebih. Pengalamanku setiap kali mendaki melalui jalur Gunung Putri, selalu saja berpapasan dengan rombongan pendaki yang kehabisan air. Sepanjang jalur pendakian ke Alun-alun Surya Kencana memang tak terdapat mata air. Mata air baru ada di pos Kali Mati yang berada di alun-alun barat Surya Kencana. Berbeda dengan jalur wisata Cibodas, hampir di setiap shelter terdapat mata air. Pasti mereka termasuk pendaki yang biasa menggunakan jalur Cibodas, pikirku.

Puas menumpas dahaganya, kami berkenalan.Riyanni, begitu gadis yang pertama kali menyapaku memperkenalkan namanya. Sedang dua orang teman yang bersamanya bernama Irma dan Doddy. Ketiganya merupakan mahasiswa fakultas sastra, Univesitas Negeri Solo. Mereka sedang liburan semester. Kebetulan Riyanni asli Bogor.

“Sepertinya aku nggak mampu lagi melanjutkan pendakian,” kata Irma tiba-tiba. Gadis yang tubuhnya mungil itu tampak sudah kepayahan.

“Memangnya masih jauh ya, Mas? Tanya Riyanni kepadaku.

“Yah… tanggung! Lewat satu shelter lagi kita sampai di Alun-alun Surya Kencana.”

“Tuh kan, Ir… sedikit lagi kita sampai.”

“Aku benar-benar udah nggak sanggup lagi. Dadaku sesak. Sulit bernafas. Mataku sulit sekali dibuka. Maunya selalu terpejam. Ngantuk.”

Apa yang dirasakan Irma memang sering kali terjadi pada para pendaki yang memilih melakukan pendakian pada malam hari. Udara yang tipis menyebabkan pasokan oksigen ke paru-paru menjadi berkurang, belum lagi harus berebutan dengan tumbuh-tumbuhan sekitar yang juga menghisap oksigen pada malam hari, membuat mata menjadi mudah sekali mengantuk

“Ya… kita nggak jadi lihat sunrise, dong?” keluh Riyanni.

“Habis gimana, dong? Masa’ mau dipaksakan?”

“Gimana, Dod?” Riyanni minta pertimbangan pada temannya yang laki-laki.

“Aku sih terserah kalian aja.”

“Harus lihat sunrise ya, Ri?” tanya Irma.

“Sudah lima kali aku mendaki ke tempat ini, tapi belum sekali pun aku menyaksikannya.”

“Masa’ sih? Kamu belum pernah lihat sunris di Puncak Gede?” selaku.

“Iya, Mas. Makanya aku penasaran banget. Teman-teman bilang, sunrise di Puncak Gede bagus banget!”

“Jangan pakai ‘mas’ dong. Paling usia kita hanya terpaut setahun dua tahun,” pintaku.

“Nggak mau dibilang tua ya?” ledek Riyanni.

“Emangnya udah kelihatan tua?”

“Nyaris!” sambarnya. Aku hanya meringis. Kami tertawa-tawa.

“Tapi teman-teman kamu nggak bohong,” kataku, “Sunrise di tempat ini emang bagus banget!”

“Tuh kan, Ir…”

“Ri, aku benar-benar udah nggak sanggup. Memangnya kamu mau menggendong aku sampai ke puncak?”

“Begini aja deh,” kataku menyela, “Kalau kamu mau, kamu boleh melanjutkan pendakian bareng aku.” Aku menawarkan solusi pada Riyanni.

“Gimana, Dod?”

“Terserah kamu.”

“Nggak pa-pa kamu tinggal di sini?”

“Habis mau gimana lagi? Kalau aku ikut, siapa yang mau jagain Irma?”

“Ya udah, kamu pergi aja, Ri. Besok pagi, aku sama Doddy nyusul kalian. Jalurnya nggak bercabang-cabang kan?”

“Nggak kok,” jawabku, “Kalian ikuti aja jalan ini, sampai kalian ketemu lembah yang banyak bunga edelweissnya. Terus, ikutin aja jalan setapak di tempat itu. Nanti kamu ketemu satu-satunya sumber air di tempat itu, Kali Mati. Dari tempat itu jalur pendakian yang menuju Puncak Gede sudah kelihatan.”

Akhirnya, setelah kami selesai mendirikan tenda untuk Irma dan Doddy, aku dan Riyanni melanjutkan pendakian ke Puncak Gede. Ah, rasanya seperti mendapat undian berhadiah, bisa mendaki berdua bersama gadis semanis dirinya! Kecantikan gadis itu tak semewah Tamara Blezensky atau Arzeti. Tapi wajah eksotisnya seperti magnet yang membuat mataku tak bosan melekatkan pandang ke arahnya!

Sepenjang perjalanan kami banyak bertukar cerita. Dari pengalaman mendaki, sampai bicara soal sastra. Kebetulan aku juga seorang penulis dan penikmat karya-karya sastra. Jadi klop baget denganya.

“Kamu udah baca Sepotong Senja Untuk Pacarku?” tanyanya, saat kita telah sampai di Puncak Gede. Langit mulai kemerahan saat itu. Kami duduk di atas sebongkah batu besar.

“Seno Gumira Ajidarma kan?”

“Iya.”

“Pasti udah dong. Aku kan penggemar berat karya-karyanya!”

“O ya?” katanya seperti tak percaya, “Kalo gitu kita sama, dong?”

“Dari semua cerpen yang ada di dalam buku itu, cerpen mana yang paling kamu suka?”

“Aku suka cerpen yang berjudul: Hujan, Senja dan Cinta. Andai aku menjadi tokoh ‘Ia’ di dalam cerita itu, aku tak akan menyia-nyiakan cinta yang dicurahkan tokoh ‘Dia’ yang digambarkan bagai hujan yang selalu menaunginya kapan dan di manapun ‘Ia’ ada.”

“Terkadang, manusia harus kehilangan dulu untuk bisa mengerti arti memiliki. Seperti tokoh ‘Ia’ yang baru menyadari cintanya justru saat ‘Dia’ tak lagi mengirimkan hujan kepadanya, yang berarti ‘Dia’ tak lagi mencintainya.”

Riyanni memandangku, takjub.

“Hei, lihat!” kataku mengalihkan pandangnya.

“Sunrise!” jerit Riyanni.

Lingkaran sebesar bola sepak berwarna kuning kemerahan itu merangkak perlahan dari balik tebing cakrawala, seperti bidadari yang muncul dari balik tirai panggung kehidupan, untuk mementaskan tarian selamat datang pagi. Mengubah wajah cakrawala yang semula kemerahan, menjadi keemasan.

Riyanni merebahkan kepalanya di pundakku. Kurengkuh pundaknya dengan tangan kiriku. Ah, saat itu kami benar-benar seperti sepasang kekasih berhati renjana. Yang menyambut datangnya pagi. Padahal, kami baru saja saling mengenal…

Ah… andai saja tak harus ada perpisahan pada setiap pertemuan…

Namun, seerat apa pun keinginan kita untuk tetap bersama, kami harus tetap berpisah. Sebuah perpisahan, seindah apa pun cara kita melewatinya, tetap takkan mampu menepikan rasa kehilangan.

Aku melepasnya dengan senyuman, sebelum Riyanni dan kedua temannya turun dari bus yang kami tumpangi di depan pintu tol Ciawi. Menjadi akhir dari kemesraan yang terjalin antara aku dengannya.

Tapi siapa akan menghalangi kami untuk tetap menjalin komunikasi? Ribuan jarak tak lagi berarti kini. Teknologi telekomunikasi mampu mendobrak bentangan jarak selebar apa pun. Bahkan para astronot yang sedang menjalani misi luar angkasanya pun, bisa bertukar sapa dengan sanak keluarga yang ada di bumi! Apalagi aku dan Riyanni yang hanya dipisahkan antara Jakarta-Solo? Kecuali…

Astagfirullah! Aku lupa menayakan nomor telepon dan alamat tempat tinggalnya yang di Solo maupun di Bogor!

^^^

Pukul 04:00 WIB. Aku sampai di Kali Mati. Kupenuhi kembali botol minumanku yang telah kosong. Kemudian, aku bergegas melanjutkan pendakian ke Puncak Gede. Dan aku hanya butuh waktu 20 menit untuk menjejakkan kakiku di sana.

Meski matahari belum menampakkan wajahnya, cahayanya mampu menyepuh gumpalan mega-mega menjadi kemerahan.

Aku menghempaskan tubuhku di atas batu besar, di Puncak Gede. Di tempat itu setahun yang lalu, aku dan Riyanni duduk berduaan menanti matahari terbit. Berada di tempat itu, aku seperti dibawa pada suasana mesra setahun yang lalu. Sepotong kemesraan yang hanya bisa kubayangkan kini. Mengantarkan aku pada kerinduan yang tak terperi. Kerinduanku pada Riyanni.

“Elang?” suara itu berasal dari balik punggungku. Terdengar agak ragu menyebut namaku. Sepertinya kau mengenali suara itu.

Ah… jangan-jangan hanya halusinasiku saja. Rasa rindu yang terlalu membuatku berharap apa yang kudengar barusan sungguh nyata adanya. Tapi…

“Elang?!” sekali lagi suara itu sampai ketelingaku. Kali ini terdengar lebih tegas. Meyakinkan aku kalau telingaku masih cukup normal untuk tidak menganggap suara itu sebagai halusinasiku saja.

Maka, segera kupalingkan kepala ke belakang.

“Elang…!!!” gadis manis itu melojak kegirangan begitu melihat wajahku.

“Riyanni?!” aku masih belum percaya dengan penglihatanku. Gadis di depanku itu mengangguk meyakinkan aku, sebelum menghambur ke dalam pelukanku.

Ah, rasanya tak lagi ada secuil keraguanku atas kuasa-Nya.

Lalu kami duduk berdua mengulang kemesraan yang pernah terjadi setahun yang lalu di tempat itu.

“Apakah belum terlambat bagiku mengirimkan hujan untukmu?”

“Setahun aku menantikan kamu mengirimkan hujan untukku.”

“Sungguh?”

“Sungguh. Dan aku tak akan sebodoh tokoh ‘Ia’ di dalam cerpen Hujan, Senja Dan Cinta-nya Seno Gumira Ajidarma. Aku tak perlu merasa kehilangan sebelum menyadari kalau aku… aku mencintaimu,” ucapnya syahdu.

“Aku juga mencintaimu, Riyanni.”

Dari balik tebing cakrawala, matahari merangkak perlahan menampakan wajahnya yang keemasan.[]
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini