Oleh Depo
Suara ringtone HP-ku memaksa aku membuka mata. Kulirik jam di atas meja rias di samping ranjang tidurku. Siapa sih yang nelepon tengah malam begini? Runtukku dalam hati, menambah kedongkolan yang sejak siang tadi menyelimuti hatiku. Aku baru saja ketiban sial. Dompetku hilang di diskotik. Memang tak banyak uang tunai di dalamnya. Tapi banyak surat-surat berharga di dalam dompet itu.
Dengan mata setengah terpejam, kuraih ponsel di atas meja riasku. Tapi belum sempat kujawab, suara ringtone sudah berhenti berbunyi. Kutunggu sampai beberapa saat, tak juga kembali berbunyi. Kuletakkan kembali ponselku. Kupejamkan mata.
Namun, baru beberapa kejap mataku terpejam, suara ringtone HP-ku kembali berbunyi. Kuraih kembali ponselku. Tapi lagi-lagi, belum sampai kujawab, suaranya sudah berhenti. Kesal karena merasa dipermainkan, kumatikan saja handphoneku.
Pagi harinya.
+628179957887. Begitu nomer yang terekam di HP-ku. Nomer siapa ya? Ah, mungkin saja ada temanku yang ngisengin aku pakai ponsel milik temannya atau saudaranya… Tapi waktu kutanyakan kepada teman-temanku, tak seorang pun yang mau mengaku. “Kenapa kamu nggak coba menghubungi nomer itu?” saran teman sebangkuku. Ah, kenapa nggak terpikirkan olehku ya…
Kucoba menghubungi nomer itu. Tapi berkali-kali, hanya nada tulalit yang terdengar. Ah, ngapain juga repot-repot menghubungi. Kalau si pemilik nomer merasa perlu denganku, nanti juga dia bakal menghubungiku kembali.
Tapi sampai malam harinya, pemilik nomer itu tak juga menghubungi aku kembali. Penasaran juga sih… jarum jam di ruang kamarku menunjuk angka sembilan. Kembali kucoba menghubungi nomer misterius itu. Ternyata tersambung! Terdengar nada tunggu. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara di seberang, “Hi hi hi hi hi hi….!” Suara itu terdengar khas. Melengking. Seperti suara… kuntilanak! Kurasakan bulu-bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Kuputus sambungan. Kuhapus nomer misterius itu dari phonebook HP-ku.
Hari-hari berlalu. Aku sudah melupakan nomer misterius itu. Sampai pada suatu hari, aku baru kembali dari clubbing di diskotik dengan teman-teman sekolahku. Sudah lewat malam saat aku sampai di rumah. Bik Inah yang membukakan aku pintu. Papa dan mamaku sudah lelap dalam mimpinya masing-masing. Kedua orangtuaku itu cukup memberikan aku kebebasan. Mungkin mereka sudah terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Tapi walaupun demikian, aku tetap berusaha untuk tak membuat mereka malu dengan terlibat dalam penggunaan narkoba, alcohol, apalagi malakukan seks bebas. Hiiii… ngeri! Baru saja hendak merebahkan tubuhku di atas ranjang, HP-ku berbunyi. Keningku berkerut melihat nomer yang tampil di layar monitor handphoneku. +628179957887. Nomer itu… tiba-tiba aku teringat kembali dengan suara cekikikan khas kuntilanak, beberapa malam yang silam saat aku menghubungi nomer itu!
Bulu kudukku meremang. Aku hanya diam terpaku sambil memandangi nomer di layar ponselku. Kuputuskan untuk tidak menerimanya, maka kutekan tombol cancel. Tapi tak berapa lama berselang, HP-ku bunyi kembali. Masih nomer yang sama. Antara perasaan takut dan penasaran, kuterima juga panggilan itu. Dadaku berdebar-debar.
“H-halo… siapa ya?”
Terdengar suara cowok di seberang sana. “Apa betul ini nomernya Sheila?”
“Iya,” kataku agak sedikit lega. “Saya bicara dengan siapa ya?”
“Nama saya Dheny. Saya pernah menghubungi kamu beberapa malam yang silam.”
“Saya masih ingat. Jadi kamu yang ngerjain saya?! Pakai belaga jadi kuntilanak segala lagi…”
“Kuntilanak?” terdengar dia tertawa, “mungkin temanku yang ngerjain kamu.”
“Ngomong-ngomong, kamu dapat nomer HP saya dari mana?”
“Dari kartu nama kamu.”
“Kartu nama? Saya kok nggak ingat ya, kalau pernah memberikan kartu nama kepada kamu…”
“Saya kan nggak mengatakan mendapat kartu nama itu dari kamu.”
“Lalu, dari mana kamu mendapatkannya?”
“Dari dalam dompet kamu. Kamu merasa kehilangan dompat nggak?”
“Ooo… jadi kamu yang nyopet dompet saya?!”
“Seenaknya aja nuduh! Buat apa saya repot-repot nelepon kamu, kalau akhirnya hanya dituduh pencopet.” Cowok bernama Dheny itu memutus sambungan telepon. Aku jadi ngerasa nggak enak. Lekas-lakas kuhubungi dia kembali. Setelah dibiarkan lama menunggu, akhirnya dia menerima teleponku.
“Kenapa? Kamu mau laporin saya ke polisi?” tukasnya.
“Duh… segitu marahnya. Saya kan cuma bercanda. Maafin, deh?”
“Kalau mau minta maaf, tunggu lebaran aja!”
“Jadi, ceritanya kamu mau balikin dompet saya, nih?”
“Tadinya. Tapi berhubung kamu udah nuduh saya macem-macem, mending saya buang aja dompet kamu ke selokan.”
“Eee… jangan, dong! Daripada kamu buang ke selokan, mending dikembalikan ke saya aja… dijamin bakal dapat pahala!” di seberang sana, kudengar tawanya meledak.
“Ternyata kamu lucu juga ya…,” katanya, “Kamu tenang aja, saya pasti pulangin dompet kamu utuh!” terdengar suara tuuuuuttttt. Dia memutuskan sambungan teleponnya.
Keesokan paginya, saat aku ingin berangkat ke sekolah, aku menemukan dompetku sudah tergeletak di lantai teras depan rumahku! Aku memeriksa isi di dalam dompet itu. Aku menarik nafas lega. Ternyata Dheny benar-benar menepati janjinya untuk mengembalikan dompetku dalam keadaan utuh. Semuanya masih lengkap di sana. Aku segera menghubungi Dheny di nomer HP-nya. Tapi seperti yang lalu, ponselnya tak bisa dihubungi. Cowok misterius!
Lewat tengah malam, cowok bernama Dheny itu kembali menghubungi aku. Aku banyak-banyak mengucapkan terima kasih kepadanya. Berkat dia, aku tak perlu repot mengurus surat-surat pentingku. Aku tanyakan bagaimana cara dia mengembalikan dompetku secepat itu. Dia hanya mengatakan kalau dirinya adalah hantu yang dapat menembuas ruang dan waktu. Oyee…?! Jelas saja aku tak percaya dengan bualannya. Tapi harus kuakui kalau Dheny asyik diajak bicara.
Mulai detik itu, kami jadi berteman sangat akrab. Dia hampir selalu menghubungi aku setiap malam. Kami sering berbincang sampai larut. Kami sering berbagi kisah. Dia sangat terbuka sekali denganku. Dia ceritakan tentang keluarganya yang tak pernah mempedulikannya. Papinya seorang pengusaha kaya. Maminya sibuk mengurusi usaha butiknya. Kakak perempuan satu-satunya memilih kuliah di luar negeri. Tinggallah dia seorang diri. Kesepian. Untuk membunuh rasa sepi, setiap malam dia berkeliling dari satu diskotik ke diskotik lainnya. Tenggelam dalam dunia gemerlap yang membuatnya mampu melupakan perasaan sepinya.
Persoalan yang kami hadapi hampir serupa. Mungkin perasaan senasib itu yang membuat kami jadi mudah saling terbuka. Perlahan tapi pasti, bunga-bunga cinta di taman hatiku mulai bermekaran. Aneh! Memang kedengarannya aneh. Selama ini kami hanya berhubungan lewat telepon. Itu pun hanya bisa malam hari. Kalau siang hari, HP-nya tak bisa dihubungi. Kami sama sekali belum pernah bertemu muka. Tapi ada sesuatu yang membuat aku yakin dengan perasaanku. Sesuatu yang tak terdifinisikan oleh kata. Sesuatu yang hanya bisa dirasa. Sesuatu… Ah, inikah yang dinamakan cinta?
“Sebaiknya kamu jangan sering-sering ke diskotik,” nasihatnya padaku suatu ketika.
“Kenapa? Bukannya kamu sendiri sering pergi ke diskotik?”
“Kita berbeda. Semuanya sudah terlambat bagiku. Tapi kamu… masih banyak kesempatan untuk meninggalkan hura-hura yang hanya mampu membunuh perasaan sepimu sesaat saja. Kamu bisa mencari kompensasi yang lebih positif. Jangan sampai menyesal sepertiku.”
“Kenapa kamu merasa semuanya sudah terlambat bagimu? Apa yang sudah kamu sesali?”
Lama dia membisu, sebelum akhirnya mengatakan kepadaku, “Aku sorang user,” terdengar getir ucapannya, “bertahun-tahun aku terbenam dalam mimpi-mimpi semu yang ditawarkan bubuk haram itu. Kehidupan malam telah berjasa memperkenalkan aku pada narkoba. Mulanya, benda-benda itu mampu membuat aku terbang melayang. Aku merasa ringan. Bebanku seperti menghilang. Aku terus-terusan menggunakan bubuk-bubuk setan itu. Dan tanpa aku sadari, aku telah berada di dalam cengkeramannya. Sulit bagiku untuk melepaskan diri. Sampai…” dia tak meruskan kata-katanya.
Aku tak terlalu terkejut mendengar ceritanya. Di balik gemerlapnya dunia malam, terdapat lumpur kelam yang siap membenamkan siapa saja. Kalau tak hati-hati, kita bisa terperosok ke dalamnya. Aku hanya sedikit orang yang beruntung. Tapi sampai kapan? Banyak teman-temanku yang mengalami hal serupa dengan Dheny. Mungkin aku hanya tinggal menunggu waktu saja…
Pelan-pelan, aku mulai meninggalkan gemerlap dunia malam. Awalnya memang tak mudah. Tapi dorongan dari Dheny membuat aku mulai bisa mencari kompensasi yang jauh lebih positif. Kusibukkan diriku dengan banyak mengikuti kursus-kursus seusai jam sekolah.
Tanpa terasa, dua bulan sudah sejak Dheny membangunkan tidurku malam itu. Ada desakan hebat kurasakan dalam diriku. Keinginan yang tak bisa kubendung lagi. Aku ingin sekali bertemu muka dengannya. Mau tahu sebabnya? Tadi malam cowok misterius itu terang-terangan mengungkapkan perasaannya kepadaku. Dia mencintai aku! Bukan main senangnya. Rencananya, malam nanti kami janjian bertemu di suatu tempat.
Ah, aku tak sabar menanti sampai saat itu.
Kuraih ponselku. Kucoba menghubungi nomer HP-nya. Tadinya aku berikir ini akan sia-sia. Seperti yang sudah-sudah, HP-nya tak pernah bisa dihubungi sebelum matahari terbenam seutuhnya di balik cakrwala. Tapi tetap kulakukan juga. Habis rindu, sih…
Di luar dugaanku, terdengar nada sambung. Cukup lama juga sebelum akhirnya kudengar suara seorang wanita di seberang. Wanita?
“Halo,” sapanya, “siapa ya?”
Aku sempat bingung juga. Jangan-jangan wanita itu kekasihnya Dheny. Kalau begitu... dia sudah membohongi aku selama ini! Tapi…
“Halo!” sapanya lagi.
“I-iya… bisa saya bicara dengan Dheny?”
“Dheny?”
“Iya. Ini benar nomer HP-nya Dheny kan?”
“Betul. Saya kakaknya Dheny.” Aku merasa lega mendengar itu. Berarti Dheny tidak mendustaiku.
“Nama saya Sheila, Mbak. Saya temannya Dheny. Saya ada janji dengan Dheny nanti malam. Saya hanya ingin memastikan saja. Bisa bicara dengan Bagasnya, Mbak?”
“J-janji… kamu nggak salah nomer, kan? Jangan-jangan Dheny yang lain…”
“Tapi selama ini saya selalu menghubungi Dheny di nomer ini…”
“T-tapi… Dheny… Ah, sebaiknya kamu datang saja ke rumah kami.” Kemudian dia menyebutkan alamat rumahnya.
Sore itu aku datang mengunjungi kediaman keluarga Dheny. Mbak Rini—yang menerima teleponku tadi siang—menyambut kedatanganku. Aku dipersilahkan duduk di ruang tamu yang sangat megah dan mewah. Kedua orangtua Dheny juga ada di sana. Mereka memperlihatkan aku foto-foto Dheny. Ternyata cowok itu sangat tampan. Lalu berceritalah aku pada mereka tentang awal perkenalanku dengan Dheny dua bulan yang lalu. Mereka tampak kurang percaya dengan ceritaku. Aku berusaha meyakinkannya. Kuperlihatkan padanya nomer Dheny yang terekam di HP-ku. Dengan begitu aku bisa membuktikan kalau selama ini aku dan Dheny sering telpon-telponan.
“Aneh…,” kata Mbak Rini, “selama ini saya yang memegang HP milik Dheny. Saya tak pernah mengaktifkannya. Baru hari ini saya mengaktifkan HP ini.”
“Apa nggak mungkin kalau Dheny diam-diam mengaktifkannya. Dan menggunakan telepon itu untuk menghubungi saya, Mbak?”
“Nggak mungkin..,” Mbak Rini tertunduk lemas. “Dheny… Dheny kami sudah meninggal tiga bulan yang lalu karena over dosis!”
“Apa?!” lemas rasanya aku mendengar itu. Kalau begitu, siapa yang selama ini berbicara denganku di telepon???
Malam harinya, perasaanku benar-benar tak menentu. Gelisah.
Suara ringtone HP-ku berbunyi. Ragu-ragu, kuraih juga HP-ku.
+628179957887 tampil di layar monitor ponselku.
“Dheny?!?!?”
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini