Elegi Hari Ini

Cerpen Denny Prabowo (Majalah Cinta, edisi 13 th. 2004)


Seraut wajah lesi, seonggok tubuh membeku terbujur di depanku. Wajah yang dua tahun ini telah menjadi bagian dari embus napasku. Ada desakan kurasa di dadaku, menekan sampai ke paru-paru, membuat aku sulit untuk bernapas, saat tak kutemukan kemanjaan serupa merpati pada dirimu. Kau hanya terbujur. Diam saja. Di mana ceria  kausimpan?
Aku merogoh kantung-kantung masa lalu. Ah, kamu masih ada di situ. Senyumku mengembang mengenang semua hal yang pernah kita lakukan bersama. Sesuatu yang kelak hanya bisa kunikmati saat aku membuka file masa lalu di dalam komputer otakku, meng-klik folder yang berisi semua dokumen yang mengabadikan senyum, tawa, canda, tangis, air mata, duka dan segala hal tentang dirimu dan kebersamaan kita selama dua tahun masa yang telah kita lewati. Saat kau adalah bagian dari embusan napasku. Tapi sampai kapan komputer otakku mampu menyimpan semua kenangan yang bisa mengingatkan aku kepadamu?
Kita bertemu dua tahun yang lalu. Saat kau berjuang menaklukkan letih dan rasa putus asamu. Saat napasmu satu-satu, meniti setapak yang menanjak, membelah hutan, menyeberangi sabana, melintasi danau, merayapi bebatuan di lereng Semeru.
Kau berempat dengan teman-temanmu yang kesemuanya perempuan. Sementara aku hanya seorang diri. Aku memang terbiasa mendaki gunung seorang diri. Menikmati sentuhan tangan-tangan Ilahi pada pepohonan, bebatuan, riak mata air, kicau burung, lenguh angin, letup kawah dan cakrawala ketika fajar dan senja mementaskan teater jingga menjadi akhir dan awal kembara hari sang mentari.
Arloji di pergelangan tanganku menunjuk angka 02.00, saat kau dan ketiga temanmu meninggalkan Arcopodo menuju Puncak Semeru. Aku ada beberapa langkah di belakangmu. Butuh waktu tiga sampai empat jam untuk dapat tiba di Mahameru dari Arcopodo yang merupakan batas vegetasi.
Kabut memagut. Menusuk. Melesakkan butir-butir embun sampai ke tulang. Menggigilkan. Pelan-pelan kaupijaki batuan pasir yang mudah menggelincir. Aku sesekali terpaksa harus menghindar dari runtuhan kerikil yang kaupijak.
Setelah dua jam berjalan nyaris tanpa istirahat yang berarti, langkahmu mulai tertinggal beberapa kaki di belakang ketiga temanmu. “Jalan aja terus! aku nggak apa-apa!” kau meneriaki ketiga temanmu yang tak sabar menunggumu.
“Air?” kutawarkan botol minumanku kepadamu.
“Wah, kebetulan!” kauambil botol air mineral dari tanganku. Lalu bagai huma yang merindukan renik hujan, kautuang sebotol  air mineral ke dalam kerongkongmu yang lepuh.
“Ups…,” kau pertontonkan raut bidadarimu dengan mimik yang lucu, “habis…,” kau meringis menanti reaksi dariku.
Segaris senyum terbit di raut letihku. 
Ah, kau memang gadis yang sangat lucu.
“Lanjut?” tantangku.
“Siapa takut!” kau menukas. 
Lalu kita melanjutkan pendakian.
“Masih berapa lama lagi?”
“Kalau nggak terlalu banyak istirahat, nggak lebih dari sejam kita sudah sampai ke Mahameru untuk menyaksikan sunrise.”
“Wah… masih cukup jauh, ya?”
“Lumayan. Kenapa? Mau nyerah?” godaku.
“No retread! No surrender!” tegasmu.
Aku kagum melihat kobaran semangat di bulat telur matamu.
“Tapi…” Tiba-tiba kau loyo lagi.
“Kenapa lagi?”
“Masih punya air?”
“Tenang aja, masih ada sebotol lagi.”
“Yes! Aman.” Lagi-lagi mimik lucumu membuat aku tak mampu menahan senyum.
Teja sempurna membakar cakrawala. Menyemburat. Mengurai mega yang arak berarak. Setelah tiga jam lebih berjalan dari Arcopodo, kita berhasil menyinggahi Mahameru, dataran tertinggi di pulau jawa. 
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutmu. Kau seolah tak menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan keindahan yang membentang di pelupuk matamu. Tak bedanya dengan aku. Meski waktu itu merupakan kali kedua aku menjejakkan kaki di puncak itu.
Dan tanpa kita sadari, kita telah duduk berjajar hanya dipisahkan oleh keril, memandang keindahan fajar nan membentang. Aku bagai merpati berhati renjana, mengagumi keindahan raut bidadarimu. Ah, seandainya kau tahu apa yang kurasa saat itu…
Lucu, memang. Kita bahkan belum saling menyebutkan nama. Padahal, sepanjang sisa pandakian saat itu, kita banyak bertukar cerita.Tapi kita malah lupa saling memperkenalkan nama kita. Kalau saja ketiga temanmu yang sudah lebih dulu sampai tidak mengerumuni kita dengan mata-mata yang memeram ribuan tanda tanya, melihat keakraban kita, mungkin kita tak akan pernah menyadari kalau kita memang belum saling berkenalan secara resmi. Kita begitu terbawa suasana. Ah, siapa yang tidak?
“Eh, so..sori…?” katamu dengan rona muka yang memerah dadu, serupa dengan wajahku saat itu. Lalu kita sama-sama terjebak dalam kekakuan yang membingungkan. Celetukan-celetulan jahil segera berhamburan dari mulut ketiga temanmu.
“Sendirian?” tanya seorang temanmu yang berwajah oriental, berjilbab ungu, mencairkan kebekuanku.
“Berdua dengan porter,” kataku, “dia nunggu di Arcopodo.”
Kemudian kita saling berkenalan.
Ah, aku selalu tak mampu menahan tawa setiap kali terkenang awal pertemuan kita…
Aku tak membutuhkan waktu lama untuk menyadari, bahwasannya cinta telah menentukan pilihannya. Kubiarkan sayap-sayap cinta menerbangkan kepingan hatiku yang renjana.
Aku baru saja tiba di rumahku setelah pendakian itu. Aku bahkan belum sempat menemui kedua orangtuaku. Ketika kutekan nomor telepon yang kauberikan kepadaku. Kau sendiri yang mengangkatnya. Dan aku tak membuang waktu menyatakan kinginanku untuk meminangmu!
Kau sangat terkejut waktu itu. Cukup lama kau membisu, sebelum akhirnya berucap, “Apa tidak terlalu cepat? Kita baru bertemu… Beri aku waktu?”. Kau langsung memutuskan sambungan telepon. Kuletakkan gagang teleponku.
Hanya beberapa detik setelah itu, teleponku berdering. Aku segera mengangkatnya. Ternyata dari kamu. Lalu malu-malu kau mengatakan, “Kau sungguh-sungguh?”
“Insya Allah aku tak pernah bermain-main dengan perasaanku.”
“Kapan kau akan menemui kedua orangtuaku?”
Ah, kalau saja tak dipisahkan oleh ratusan mil jarak antara tempat tinggalku dan tempat tinggalmu, aku pasti akan berlari ke rumahmu saat itu juga. Aku akan menikahimu saat itu juga. Aku sangat BAHAGIA!
Beberapa bulan setelah itu, janur kuning melengkung di depan rumahmu, dan kita duduk di pelaminan mempertontonkan senyum bahagia pada mereka yang datang untuk memberi selamat.
Mulai detik itu, kau adalah bagian dari embusan napasku. Hidup di organ paru-paruku. Menjelma udara di sekitarku. Menyatu dalam setiap tarikan napasku. Kapan pun dan di mana pun aku, selama napas ini masih berembus, maka kau akan selalu ada dalam diriku. Tak peduli ratusan mil jarak yang membentang di antara kita. Kita akan selalu bersatu, sampai Izrail menemukan nama salah satu di antara kita tertulis di atas daun yang jatuh di kakinya.
Dua tahun masa yang bahagia. Kalau kebahagian memang benar nyata adanya. Masa yang hampir sempurna. Kesempurnaan yang tentunya tak akan tersempurnakan kini. Sebab yang tertinggal hanya kegetiran menyaksikan seraut wajah lesi dan seonggok tubuh membeku terbujur di hadapanku.
Semestinya ini hari yang sangat bahagia. Kebahagian yang sudah aku angankan. Aku impikan. Telah kutempuh ratusan mil jarak yang membentang antara Jakarta-Yogyakarta hanya untuk berbagi kasih sayang di hari jadi pernikahan kita yang Pertama, dengan seseorang yang selama ini menghuni organ paru-paruku, menjelma udara di sekitarku, menjadi bagian dari embusan napasku dan menyatu dalam setiap tarikan napasku. Sebab kau adalah kekasihku. Bidadariku. Pekerjaanku di jakarta yang memaksa jarak antara kita. Tapi apa artinya jarak, kalau kita saling mencinta? Semuanya tak lagi berarti. Karena hati kita selalu menyatu. Hanya kebahagiaan yang kita punya selama masa dua tahun pernikahan kita.
Tapi terkadang keinginan tak segaris dengan kenyataan. Kemarin, kutinggalkan Jakarta dengan sebuah harapan untuk dapat berbagi kebahagian denganmu hari ini. Merasakan dirimu seutuhnya, bukan dirimu yang menjelma udara di sekitarku. Aku ingin menyentuh wajahmu dengan jemariku, merasakan desah napasmu di telingaku, membenamkan tubuhmu ke bidang dadaku, lalu kita menyatu dalam setiap tarikan napas. Seperti Sam Pek-Eng Tay, kita akan menjelma sepasang merpati berhati renjana, bercinta di layar jingga cakrawala ketika fajar memendar dari balik puncak gunung.
Kenyataannya… hari ini aku harus berhadapan dengan kepahitan. Kepahitan yang menyudutkan aku. Mencampakkan aku dalam kegetiran. Kenyataan itu memaksamu minggat dari organ paru-paruku, sehingga tak kutemui lagi dirimu di setiap embusan napasku. Kenyataan yang membekap hidungku, hingga aku tak mampu menghirup dirimu yang menjelma udara di sekitarku. Kenyataan yang… Ah, sial! Dia telah merengutmu dari mimpi-mimpi indah kita! Menyisakan bayangan serupa dirimu, tapi jelas bukan dirimu, menari-nari di kantung masa laluku.
Dua tahun kita berbagi suka dan duka. Dua tahun kaurahasiakan sakitmu kepadaku. Bertahun-tahun kangker itu telah menghuni otakmu. Aku tahu mengapa kau melakukan itu. Aku tahu betapa cinta yang kaupunya untukku, tak mampu membuatmu merusak senyum bahagiaku, dengan mengatakan penyakitmu itu kepadaku. Aku tahu. Aku tahu. Meski aku masih merasa perlu bertanya mengapa. Ah…
Terima kasih, Arin… Terima kasih atas semua kenangan indah yang pernah kau berikan kepadaku.
Sudah ya, sayang… awan hitam telah menyelimuti langit di atas kepalaku. Sebentar lagi hujan akan turun.***

Sumber: Majalah Cinta Edisi 13/2004

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini