Manusia Gerobak


Menurut data Bank Dunia, pada kwartal pertama 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 6,2%. Namun, apakah angka tersebut berarti bagi Agus Muhammad dan keluarganya? 
Siang itu, matahari menyengat Jakarta. Setelah menyeret-nyeret gerobaknya sepanjang pagi, Agus memilih menepi. Ia memarkir gerobaknya di depan pagar rumah di kawasan Utankayu. Reranting pohon yang menjuntai keluar pagar, menjadi atap bagi Agus dan keluarganya. Istrinya, Sukarti yang tengah mengandung anak ketiga tampak kelelahan dijerang matahari sejak pagi. Ia beserta kedua anaknya yang masih balita, meyertai Agus menyusuri jalan-jalan ibukota.
Sebelum menjadi pemulung, Agus pernah bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah perusahaan di Bekasi. Namun, usia merentakan tubuhnya. Ia terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya itu karena tak mampu menjalankan tugasnya. Sejak keluar dari pekerjaan lamanya, Agus memilih memulung. Agus menarik-narik gerobak, mencari rezeki dari sisa-sisa kehidupan. Sementara itu, kedua anaknya, Agung dan Adriansyah yang masih kecil, naik ke dalam gerobaknya.
Istri Agus setia mendampinginya meski tengah mengandung. Jika Agus sakit, istrinya itu yang menggantikan Agus mendorong gerobak demi mencari sesuap nasi. Sesungguhnya ia merasa berat, tapi apa boleh buat ia harus mencari makan untuk kedua buah hatinya. 
 “Kalau ada duit saya belikan susu, tapi kalau tidak ada saya kasih teh manis tidak mau,” ujar istri Agus. Anak pertamanya menggelendoti tangannya sambil merengek-rengek.
Sudah satu tahun Agus dan keluarganya tinggal di jalanan. Mereka tinggal di gerobak. Jika malam datang, Agus dan istrinya menggelar tikar di trotoar, sedangkan kedua anaknya tidur di dalam gerobak. Hidup di jalanan selalu membuat Agus dan istrinya khawatir. Sudah banyak kawan-kawannya yang terjaring razia satpol PP. Gerobak mereka disita. Dengan apa Agus akan mencari rezeki jika gerobaknya diambil paksa?
Dinas sosia DKI Jakarta mencatat, sekurang-kurangnya ada 48 titik di Jakarta yang menjadi tempat berkumpul pemulung, pengamen, gelandangan, dan anak jalanan. Dinas sosial kerap merazia tempat-tempat itu. Mereka yang terazia diberikan pelatihan keterampilan seperti mengemudi mobil. Mereka yang sudah dapat mengemudi dan memperoleh SIM akan dipekerjakan sebagai supir taksi di perusahan Bluebird.
Pelatihan-pelatihan itu menurut Edi Saidi, Koordinator Uraban Poor Consortium, tidak menyelesaikan masalah. Pelatihan yang diberikan oleh dinas sosial terkesan dipaksakan karena tidak memperhatikan kebutuhan dan kepentingan tuna wisma.
“Orang dipaksa untuk memilih salah satu keterampilan yang sudah disediakan pemerintah: jahit, bengkel, dan seterusnya,” kata Edi, “bagaimana orang yang kecendrungannya main musik? Pengamen itu kan enggak suka bengkel. Dia sukanya main musik. Mengapa dia tidak dilatih bermain musik yang baik?”
Agus dan istrinya hanya bias berharap, mereka tak akan terjaring razia. Bagaimana nasib kedua anak mereka jika kedua orang tuanya harus terjaring razia? Apakah kehidupan mereka akan ditanggung pemerintah? Pikiran-pikiran itu yang membuatnya selalu waspada agar terazia.
Senja memang belum menampakkan rupanya di langit Jakarta. Kedua anak Agus naik ke dalam gerobak. Bersama Sukarti, ia menarik gerobak demi mencari rezeki di tetumpuk sampah sisa-sisa kehidupan. Istrinya masih memendam harapan, “Pengin kerja. Ya, kalau ada yang menyuruh jadi pembantu saya mau. Biar cukup buat anak-anak.” 
Agus menarik gerobaknya, Sukarti mendorong gerobak dari belakang, Agung dan Adriansyah bercanda-canda di dalam gerobak. Mereka bergerak menjauh dan semakin jauh, memburu harapan yang terasa kian jauh. Barangkali mereka bukan bagian dari Indonesia yang berhak menikmati pertumbuhan ekonomi yang naik menjadi 6,2% pada kwartal pertama 2011.
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini