(www.myfreephotoshop.com) |
Mereka
tergabung di Forum
Lingkar Penyunting. Setiap senja, mereka
berkumpul di sebuah kedai untuk ngopi-ngopi
sambil ngobrolin buku. Namun, entah siapa yang memulai, senja itu mereka
tidak membicarakan sejudul buku pun. Ada topik lain yang lebih menarik untuk
diobrolkan: kesetiaan!
Perbawa menganggap
kesetiaan sebagai fondasi pernikahan. Baginya, kesetiaan adalah kesungguhan untuk
memenuhi hak pasangan. Tanpa itu, mustahil sebuah rumah tangga dapat
ditegakkan. Namun, Koko yang hidup terpisah dengan istrinya karena pekerjaan
memiliki pandangan lain. Ia menganggap kesetiaan sebagai sebuah komitmen untuk
sehidup semati, meski salah satu dari pasangan terhalang melaksanakan kewajiban
terhadap pasangannya.
Noor H. Dee yang senja itu datang
bersama istrinya, tidak mengungkapkan pendapatnya. Ia memilih
mempertontonkan kemesraannya. Baginya, itu sudah cukup menjelaskan kesetiaannya
kepada Fifi, nama panggilan istrinya.
Pekik yang beberapa bulan lagi akan
melangsungkan pernikahan menceritakan godaan-godaan yang kerap mendatanginya.
Sejak ia melamar calon istrinya, banyak teman-teman wanitanya yang tiba-tiba
menjadi akrab dengannya, bahkan ada yang terang-terangan menyatakan ingin
menjadi istrinya. Sampai detik ia bercerita, ia masih bersetia pada rencana pernikahannya.
“Bagaimana
pendapatmu, Git?” tanya Koko. Maka, Igit pun bercerita tentang ketidaksetiaan. Begini ceritanya.
***
Kalian tahu, laki-laki diuji olah Allah dengan wanita?
Saya percaya, kalian tidak membutuhkan kutipan untuk mengamini perkataan saya
ini. Sebagai lelaki, tentu kalian tahu betapa beratnya ujian ini.
Setiap hari saya harus naik kereta listrik untuk sampai
ke tempat kerja. Sekolahan tempat saya mengajar ada di daerah Salemba,
sementara rumah kos saya di Margonda. Jakarta memang macet luar biasa, tapi
alasan itu bukan satu-satunya yang mendasari keputusan saya menggunakan kereta.
Saya tidak punya sepeda motor. Kalaupun saya punya, alasan kemacetan itu sudah
cukup bagi saya memilih kereta listrik.
Sejak PT KAI menerima Public Service Obligation (PSO),
mereka menurunkan harga tiket. Akibatnya, gerbong padat. Siapa yang tidak mau
ongkos murah? Apalagi, seorang guru honorer dan editor pemula seperti saya.
Setiap hari saya naik kereta dari Pondok Cina. Stasiun
itu paling dekat dengan tempat kos saya. Kalau saya ingin mendapat posisi yang
bagus untuk bisa membaca, saya harus naik kereta dari arah Jakarta yang akan
mengakhiri perjalanan di stasiun Depok. Seperti hari ini, saya dapat tempat
persis di tepi pintu yang tidak digunakan untuk naik turun penumpang di setiap
stasiun. Saya bersandar pada tiang pembatas kursi penumpang. Lumayan, saya bisa
membaca Sang Alkemis karya Paulo
Coelho.
Dulu, saya pernah baca buku itu. Sekarang, saya ingin baca ulang.
Di stasiun Depok, seorang wanita naik ke dalam gerbong
yang saya tumpangi. Wanita itu tidak terlalu tinggi tidak terlalu pendek. Ia
berdiri persis di sisi kanan saya, berkaus hitam berlapis blazer abu-abu, bermata sipit, dan berkerudung merah. Ia mengenakan
celana panjang warna hitam.
Awalnya, saya tidak terlalu memperhatikannya. Saya
terlalu asyik
dengan Sang Alkemis. Namun, ketika
pintu kereta terbuka di stasiun Depok Baru, para penumpang yang menunggu di
stasiun itu berhamburan masuk. Wanita di sisi kanan saya itu terdesak hingga
tubuhnya memepet tubuh saya.
“Maaf,” katanya. Mungkin ia merasa bersalah karena mengganggu
keasyikan saya membaca buku. Mungkin ia merasa bersalah karena tanpa
sekeinginannya ia mendesak tubuh saya. Tidak saya tanyakan kepadanya, mana di
antara dua kemungkinan itu yang paling mendekati benar. Namun, saat itulah,
seingat saya, untuk pertama kalinya, saya memperhatikan wajahnya yang cantik,
setidaknya berdasarkan ukuran saya.
Saya menyunggingkan senyum sebagai jawaban atas
permohonan maafnya, lalu kembali membaca Sang
Alkemis. Namun, saya tidak benar-benar bisa membaca seutuhnya. Pupil mata saya selalu tertarik ke ujung mata sehingga
tampak wajah wanita cantik itu yang tengah tersenyum ke arah saya. Lagi-lagi,
saya hanya bisa membalas senyumnya.
Saat kereta berhenti di stasiun Pondok Cina, gerbong
semakin padat. Sekali lagi, wanita di sisi saya terdorong hingga posisi
berdirinya berubah. Wanita itu berdiri tepat di depan saya. Kami hanya
dipisahkan oleh tas punggung yang saya gendong di depan. Saat itulah saya
teringat kepada istri saya.
Nabi Muhammad pernah melihat wanita cantik, lalu dia
mendatangi istrinya. Katanya, apa yang ada pada wanita itu, ada pula pada
istrinya. Oleh karena itu, saya teringat istri saya. Saya segera mengirimkan
BBM kepada istri saya. Rupanya, ia sudah meninggalkan rumah beberapa menit
sebelum menerima BBM saya. Padahal, saya ingin kembali ke rumah. Saya lupa, hari ini jadwal ia datang ke kantor penerbitan yang menggajinya sebagai
publisis.
“Saya juga suka Sang
Alkemis,” kata wanita berkerudung merah di hadapan saya. Wajahnya hanya
beberapa senti saja dari wajah saya. Saking dekatnya, saya bisa merasakan aroma
papermint dari mulutnya. Sepertinya,
dia sedang mengunyah permen.
“Kenapa suka?” tanyaku.
“Semesta mendukung,” jawabnya singkat.
“Aku juga suka karena itu,” kataku.
Kereta berhenti di stasiun Cawang. Banyak penumpang yang
turun di stasiun itu. Gerbong terasa lebih lengang. Namun, aku sudah tidak
berminat melanjutkan bacaanku. Wanita di hadapanku membagi semua pengetahuannya
tentang novel itu kepadaku. Semakin ia banyak bicara, semakin banyak aroma papermint keluar dari mulutnya yang
berpulas lip gloss sehingga bibirnya
tampak selalu basah. Apalagi, meski gerbong sedikit lebih lengang, ia tidak
berusaha melebarkan jarak antarwajah kami.
Perbincangan kami terputus, setelah kereta tiba di
stasiun Manggarai. Pintu kereta yang ada di sisi kami berdiri terbuka. Ia turun
dari kereta. Saya lupa menanyakan namanya, tapi dia tidak lupa memberikan pin
BB-nya kepada saya. Belakangan, saya mengetahui namanya. Nindi Fanswari, begitu
ia memperkenalkan namanya melalui BBM beberapa saat setelah kereta meninggalkan
stasiun Manggarai. Ia berjanji akan melanjutkan kisah Santiago sepulang kerja.
Tiba-tiba, saya merasa merindukan aroma papermint
dari mulutnya.
Nindi Fanswari, namanya terdengar seperti Fansuri,
penyair yang mengarang Syair Perahu.
Barangkali, semasa hidup, Fansuri suka naik perahu. Saat saya tanyakan melalui
BBM, apakah Fanswari pernah menulis Syair
Kereta, ia malah mengajak bertemu di peron enam stasiun Manggarai.
Senja itu, kami bertemu di peron enam stasiun Manggarai.
Pertemuan itu disusul pertemuan-pertemuan lainnya dengan skenario yang sama,
kereta yang sama, gerbong yang sama, pada waktu yang sama. Namun, tentu saja
cerita dalam
novel yang berbeda.
Sampai suatu malam, istri saya yang sebenarnya tidak
kalah cantik dengan Fanswari memeluk tubuh saya saat saya sedang mengedit
naskah anak pesanan Koko Nata. “Maafkan saya,” katanya lirih di telinga saya.
Tentu saja saya bingung bukan kepalang. Seharusnya saya
yang meminta maaf kepadanya, bukan dia. Saat saya tanyakan mengapa dia meminta
maaf kepada saya, dia makin mengeratkan pelukannya. Katanya, “Mulai besok, saya
tidak akan pergi ke kantor penerbitan lagi.”
Saya menanyakan apakah ia berhenti kerja. Ia menjawab,
“Tidak.” Lalu mengapa ia memutuskan tidak akan pergi ke kantor penerbitan? Saat
saya menanyakan hal itu, ia mengatakan, “Mbak Rahmadianti, Manajer Promosi di
penerbitan itu, membolehkan saya bekerja di rumah saja.”
Paginya, saya menerima BBM dari Fanswari. Dalam pesannya
itu, ia mengatakan, “Seseorang yang mengaku bernama Pangesti Utami mengirimkan
pesan melalui BB-mu.” Saat itu juga, saya teringat kepada istri saya. Rupanya,
ia sudah mengetahui hubungan saya dengan Fanswari. Sejak hari itu, saya tidak
lagi bertemu dengan Fanswari. Hubungan kami tamat.
Jujur saja, saya merindukan aroma papermint dari mulut Fanswari. Kerinduan itu, tentu saja membuat saya merasa bersalah kepada Pangesti Utami yang telah
mengorbankan pekerjaannya demi suaminya. Di mana saya bisa bertemu wanita
sebaik dirinya?
Sampai suatu hari, selepas subuh, kereta yang mengawali perjalanannya dari Dipo
stasiun Depok berhenti di Pondok Cina. Saya menaiki kereta yang lengang meski
tak menyisakan kursi. Saya naik di gerbong tempat saya biasa bersua Fanswari.
Seorang wanita seperti Fanswari, tapi bukan Fanswari, berdiri di sisi pintu
yang hanya akan terbuka di stasiun Manggarai. Saya berdiri di muka wanita yang menggendong tas punggungnya
di depan
itu. Ia tengah asyik membaca novel Sang Alkemis.
“Saya juga suka Sang
Alkemis,” kataku. Wanita seperti Fanswari tapi bukan Fanswari itu menatapku
antusias.
“Kenapa suka?” tanyanya.
“Semesta mendukung,” jawab saya singkat.
“Aku juga suka karena itu,” katanya.
Ia mengirup udara dalam-dalam, lalu mengatakan, “Aku juga suka aroma papermint
dari mulutmu.”
Cerita selanjutnya, kalian sudah tahu.
***
Igit Rijal mengakhiri ceritanya, beberapa detik sebelum
seorang wanita yang berprofesi sebagai publisis di kantor Noor H. Dee
menghampiri meja mereka. Wanita itu menyapa mereka. Setelah itu, ia pergi
bersama Igit
Rijal.
“Siapa, Yang?” tanya Fifi kepada suaminya.
“Pangesti Utami,” jawab Noor H. Dee sambil merangkul istrinya.
“Istrinya Git?” tanya istrinya penasaran.
“Bukan,” kata Pekik. Ia menuntaskan suapan
nasi goreng terakhirnya.
“Calon istrinya,” tambah Koko Nata
tanpa mengalihkan pandangannya dari BB-nya.
“Jadi, karena itu Igit belum melamar Pangesti Utami?” tebak Pekik.
“Takut selingkuh?” Noor H. Dee mempertegas pertanyaan
Pekik.
Saat mengatakan itu, ia menolehkan wajahnya ke arah istrinya.
“Menurutku,” kata Perbawa, “bukan karena itu.”
“Jadi, karena apa?” tanya Pekik. Setelah
itu, ia menyedot jus mangga yang baru diantar pramusaji.
Perbawa tersenyum. Ia mengambil cangkir kopinya yang isinya
hanya tinggal sepertiga, lalu menyeruputnya hingga
tandas. “Sudah waktunya pulang!”
Bunga, 11—13 Februari 2014
Cerita yang menyentuh mas 😁
BalasPadamthanks Bai
Padam