Ide: Berita Sumber Peristiwa

Oleh Denny Prabowo

(www.taryncoxthewife.com)
Dalam workshop kepenulisan bagi nominator Sayembara Menulis Cerpen yang diadakan oleh Menpora bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI), Hamsad Rangkuti mengatakan, “Berita adalah kunci kontak kita menulis, dan SIM-nya adalah bahasa”.

Hamsad (2003:xxii) juga mengatakan: “‘Wedang Jahe’ (Salah satu cerpen Hamsad dalam buku Bibir dalam Pispot) lahir setelah saya membaca sebuah berita di koran yang memberitakan kesiapsiagaan warga sebuah desa di Jawa yang sangat berlebihan. Diberitakan bagaimana kesiapsiagaan itu dipaparkan. Penduduk sangat mencurigai para pendatang ke desa mereka. Pukul enam sore waga telah bersiap-siap menjaga kampung mereka dari orang yang tidak dikenal”. Fakta itu kemudian coba dihubungkannya dengan pengalamannya minum wedang jahe di warung lesehan Malioboro, Yogyakarta.

Yup! Salah satu unsur pembangun fiksi adalah peristiwa. Berita menawarkan banyak peristiwa. Dalam sebuah berita seluruh unsur fiksi telah terpenuhi. 5W + 1H adalah perinsip kerja wartawan. Dengan prinsip itu kita dapat memahami proses terjadinya cerita, yakni peristiwanya what (APA), yang terlibat who (SIAPA), terjadinya when (KAPAN) dan where (DI MANA), penyebabnya why (MENGAPA), lalu kejadiannya how (BAGAIMANA).

Hampir setiap hari kita melihat tayangan berita di televisi, membaca koran, atau mendengarkan radio. Ada anak membunuh bapaknya, ada paman memerkosa keponakannya, ada perampok nasabah ditembak kakinya, ada artis dipenjara karena kasus narkoba, ada anak kecil mencoba gantung diri karena belum membayar uang sekolah, ada sebuah desa terendam banjir, ada rumah teruruk longsoran sampah, ada pembantu disiksa majikannya, ada artis dipanggil polisi karena foto bugilnya, ada teroris melakukan aksi bom bunuh diri.

Wow! Begitu banyak peristiwa yang kita dapat dari media yang memberitakan sebuah kejadian. Kita hanya perlu memilih satu saja untuk dijadikan cerita.

Dalam sebuah wawancara majalah dengan Gubernur Timor Timur saat itu, Mario Viegas Carrascalao, didapatlah sebuah fakta:



Pada akhir Oktober saya menerima empat pemuda di ruangan saya, di antara mereka ada dua orang yang telinganya dipotong. Mereka suatu hari duduk di atas jembatan. Tiba-tiba muncul lima orang, tiga orang asal Timtim dan dua orang berasal dari luar Timtim. Langsung menangkap pemuda itu, dipukuli, dan telinganya dipotong. (Ajidarma, 2005: 189)



Bagi seorang penulis, laporan semacam ini menantang untuk digarap menjadi sebuah cerita. Diapakan telinga-telinga yang dipotong itu? Maka Seno Gumira Ajidarma (SGA) menuliskan sebuah cerita berjudul “Telinga” dalam kumpulan cerpen Saksi Mata (Jogja: Bentang, 1995), kisah seorang serdadu yang suka mengirimkan telinga kepada pacarnya, dan betapa bangga pacarnya menerima telinga-telinga itu.



Pada suatu hari yang indah, Dewi mendapat kiriman dari pacarnya yang sedang bertugas di medan perang. Kiriman itu adalah sebuah amplop cokelat. Ketika Dewi membukanya, ia melihat sepotong telinga. Sebuah teli­nga yang besar, bagus, dan belum mengering darahnya. Ada catatan pacarnya dalam amplop itu.

Kukirimkan telinga untukmu Dewi, sebagai kenang­-kenangan dari medan perang. lni adalah telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Kami memang biasa memotong telinga orang-orang yang dicurigai, sebagai peringatan atas resiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan. Terimalah telinga ini, hanya untukmu, kukirimkan dari jauh karena aku kangen padamu. Setiap kali melihat telinga ini, ingat­lah diriku yang kesepian. Memotong telinga adalah satu-satunya hiburan.

Dewi lantas menggantung telinga itu di ruang tamu. Kalau angin berhembus lewat jendela dan pintu, telinga yang digantung dengan seutas senar itu bergoyang perla­han. (Ajidarma, 2002: 15)



Lihat bagaimana SGA menerapkan prinsip realitas sebagai bahan mentah. Berita itu tidak direkonstruksinya. Tapi diolah kembali dengan mengajukan pertanyaan sederhana: diapakan telinga-telinga itu? Bagaimana jika telinga-telinga itu dikirimkan oleh seorang serdadu kepada pacarnya sebagai tanda cinta?

SGA tidak menelan mentah-mentah fakta itu, tetapi mencoba mencari kemungkinan cerita di balik fakta. Kamu tentu pernah mendengar tentang feature? Feature atau yang biasa disebut sebagai tulisan khas menurut Gunawan Mohammad, dkk (1996:20) adalah “teknik mengisahkan sebuah cerita”. Tidak seperti penulisan berita biasa (baca: hard news), penulisan feature dimungkinkan untuk mengkreasi sebuah cerita. Meski tentu saja dalam penulisan feature keakuratan data dan fakta harus tetap dipertanggungjawabkan. Tujuan dari penulisan feature selain memberikan informasi, juga untuk menghibur pembaca. Yang terpenting dari teknik ini bukanlah informasi aktualnya, melainkan apa yang menarik di balik informasi aktual tersebut. Teknik penulisan ini sangat berguna bagi kamu, ketika ingin menemukan bahan menulis fiksi dari sebuah berita.

Perhatikan berita kutipan berita di bawah ini:



Lagi, Perkelahian Pelajar, 1 Tewas

Jakarta Jakarta,
19 September 1996

Perkelahian pelajar yang marak akhir-akhir ini kembali menelan korban. Donny Osmond, 17, siswa SMU 70 kelas II Sosial 2, tewas dalam tawuran kemarin yang terjadi di bilangan Mahakam, Jakarta Selatan. Diduga ia tewas seketika akibat pukulan benda keras pada belakang kepalanya. Seperti tawuran-tawuran sebelumnya, tidak jelas apa pemicu perkelahian pelajar yang terjadi sekitar pukul 2 siang itu.

Menurut Ujang, penjual teh botol yang mangkal di sekitar Blok M Plaza, tawuran kali ini berlangsung demikian serunya sehingga banyak kaca mobil yang pecah. Mobil-mobil yang takut kena batu nyasar berbalik arah sehingga menimbulkan kemacetan. Selain batu, para pelajar yang berti­kai juga menggunakan pisau lipat, sabuk, pentungan, penggaris besi, dan botol yang dipecahkan menjadi bergerigi tajam. Ujang pun terkena getahnya. Beberapa pelajar yang lupa membekali diri dengan senjata menjarah botol-botol minuman dari kiosnya. Ia hanya bisa mengelus dada ketika botol-botol itu dipecahkan dan isinya tumpah membanjiri halaman kiosnya.

Seperti biasa polisi datang ter­lambat untuk menghentikan tawuran tersebut. Baru setelah polisi menem­bakkan senjata ke udara, perkelahian itu pun bubar. Para pelajar kocar-kacir melarikan diri ke segala arah. Sesaat sesudah itulah baru diketahui ada pelajar yang tewas. Ketika ditemukan polisi, jasad Donny Osmond sudah terkapar di aspal dengan darah yang mengalir dari kepala, telinga, dan hidungnya. Di samping jenazah malang itu meraung-raung seorang pelajar bernama Ali meratapi ke­pergian sahabatnya.
Jenazah dikebumikan di TPU Tanah Kusir setelah sholat dzuhur hari ini diiringi ratusan pelayat. Hujan gerimis dan suasana duka mewarnai prosesi penguburan Donny Osmond. Tampak beberapa pelajar putri tak kuasa menahan tangis. Ketika jenazah diturunkan ke liang kubur, ibu korban mendadak pingsan di tempat. Ternyata Donny adalah anak satu-satunya dan menjadi harapan keluarganya.


Berita tersebut, oleh SGA, dijadikan dasar penulisan cerpen “Kematian Donny Osmond”. Cerpen ini dimuat pertama kali dalam edisi khusus majalah Hai, Desember 1996. SGA bahkan tidak mengganti nama-nama pelaku utama yang muncul dalam berita itu, yakni Donny Osmond dan Ali. Perhatikan kutipan di bawah ini:


Donny Osmond turun dari bis. Ia ingin mencari Ali. Ia ingin mencari sahabatnya itu dan mengajaknya pulang.
Ia tak tahu, dari belakang, seorang pelajar berikat kepala merah dan tak berbaju, mengayuh sebuah pentungan besi.
Donny Osmond masih mendengar teriakan Ali.
“Donnnnyyyy!!!!” (Ajidarma, 2001: 111)


Kita masih dapat menemukan fakta seperti dalam berita. Namun, seperti penulisan sebuah feature, SGA berusaha mencari kemungkinan di balik peristiwa pemukulan itu. SGA memulai ceritanya dengan mimpi Donny Osmond ketika ia tertidur di atas sebuah bus. Ia menyaksikan bus yang ditumpanginya diserang pelajar dari sekolah lain, dan ia terjebak di dalam bus itu. Mimpinya itu terhenti ketika kernet menagih ongkos busnya.

Nah, sekarang kamu tahu kan, bagaimana harus mengolah fakta di dalam berita menjadi sebuah fiksi?

Apakah kamu masih ingat berita tetang seorang ibu bernama Anik, yang membunuh ketiga anaknya, karena ingin mengantarkan anaknya ke surga? Kalau kamu lupa atau bahkan tidak pernah mendengarnya, berikut cuplikan beritanya:


Waswas Tak Sanggup Membahagiakan, Anik Membunuh Anaknya
16/06/2006 17:43 | Kasus Pembunuhan

Liputan6.com, Bandung: Latar belakang pembunuhan tiga bocah oleh ibu kandungnya di Margahayu Raya, Bandung, Jawa Barat mulai terkuak. Anik Qoriah mengaku menghabisi ketiga buah hatinya karena takut tidak mampu membahagiakan mereka. “Tadi dia(Anik) bilang, ia sedang depresi dan paranoid yang berlebihan,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Bandung Timur, Ajun Komisaris Besar Polisi Edison Sitorus di Bandung, baru-baru ini.

Setelah lima hari menyelidiki pembunuhan berantai itu, polisi semakin yakin Anik pertama kali membunuh Umar. Bayi yang baru menginjak umur sembilan bulan itu dibekap sampai kehabisan napas. Korban berikutnya adalah Najib yang berumur empat tahun dan selanjutnya giliran Paras. Gadis umur enam tahun itu dihabisi setelah dia pulang sekolah (baca: Anik Diduga Membekap Ketiga Anaknya Hingga Tewas).

Anik masih mendekam di tahanan Polresta Bandung Timur. Namun, wartawan belum bisa mengorek keterangan dari tersangka karena kondisi jiwanya belum stabil. “Untuk sementara kami masih keberatan,” kata Adardam Achyar, pengacara Anik. Adradam juga mengaku belum mendapat izin dari pihak keluarga, terutama suami Anik, Imam Abdullah untuk melakukan wawancara.

Tetangga mengaku tak percaya Anik tega menghabisi ketiga anaknya, karena selama ini tersangka adalah sosok yang ramah. “Kalau ngobrol juga paling tentang anak,” kata Nyonya Djayusman. Sedangkan menurut sejumlah tetangga lain, Anik jarang bersosialisasi. “Anik orangnya tertutup,” ujar Yuni. (JUM/Wendy Surya)



Ketika terungkapnya peristiwa pembunuhan itu, hampir seluruh media baik cetak, radio, ataupun televisi, mengetengahkan berita tentang pembunuhan yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya itu. Berita itu sendiri sudah sarat dengan konflik. Di tangan Koko Nata, berita-berita itu menjadi cerpen yang sangat menarik dengan judul “Surga di Telapak Tangan Ibu”.


Footnote:
1) Mohammad, Gunawan dkk. 1996. Seandainya Saya wartawan TEMPO. Jakarta: ISAI dan Yayasan Alumni TEMPO

Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. 2001. Kematian Donny Osmond. Jakarta: Gramedia
________________. 2002. Saksi Mata. Jakarta: Gramedia
________________. 2005. Ketika JUrnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang Pustaka
Rangkuti, Hamsad. 2003. Bibir dalam Pispot. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini