Layar Terkembang, Potret Wanita Modern di Mata Takdir

Oleh Denny P. Cakrawala

Dimuat di angsoduo.net, Wednesday, 23 February 2011 14:33

Layar Terkembang disebut-sebut sebagai novel pembuka periode Pujangga Baru. Balai Pustaka menerbitkan novel karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) ini pertama kali tahun 1936. Tidak seperti novel-novel pendahulunya yang banyak mengambil latar tempat di Minangkabau, Layar Terkembang mengambil setting di pusat kota yang pada masa itu bernama Batavia, lengkap dengan nama-nama jalan atau gang berbahasa Belanda, seperti Berendrechtslaan, Molenvliet West, Harmonie, dsb.

Novel ini pernah dijadikan sebagai buku wajib untuk bacaan sastra di sekolah-sekolah menengah atas. Oleh sebab itu, pada tahun 1938 sudah megalami cetak ke-8. Rusman Sutiasumarga dalam Aneka Pustaka (Balai Pustaka, 2001) mengatakan, kalau buku ini tidak terlarang untuk sementara waktu, karena situasi politik pasti sekarang sudah cetakan ke-10 atau ke -11.

Maman S. Mahayana dalam Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Grasindo, 2007) mengatakan, pada tahun 1963, novel ini terbit dalam bahasa Melayu di Kuala Lumpur pada tahun 1963 dan hingga kini masih terus dicetak ulang.

Cerita novel ini sangat sederhana, terlalu sederhana untuk dapat dikatakan sebagai sebuah cerita yang menarik. Bahkan Idrus berpendapat Layar Terkembang adalah roman yang terlalu banyak mengemukakan “kebetulan-kebetulan”. Namun, dalam roman ini, STA membeberkan pemikirannya mengenai wanita modern dengan sangat baik.

Novel ini berkisah tentang Tuti, putri sulung Raden Wiriatmadja. Seorang gadis pendiam yang berpendirian teguh itu aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Tuti mengajar di HIS Arjuna yang berlokasi di Petojo. Ia memiliki seorang adik bernama Maria yang lincah dan periang. Maria masih duduk sebagai murid di HBS Carpentier Alting Stichting. Kedua kakak beradik itu bagai langit dengan bumi. STA menggambarkan karakter tokoh Tuti sebagai berikut:

Seorang tegap dan kukuh pendirian, tak suka beri-memberi, gelisah bekerja dan berjuang untuk cita-cita yang menurut pikirannya mulia dan luhur. (hlm.5)

Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap serta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebab ia jarang memuji. Tentang apa saja ia mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasarkan pertimbangan yang disokong oleh keyakinan yang pasti. Jarang benar ia hendak lombar-melombar, turut-menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai dengan kata hatinya. (hlm. 4—5)

Meski aktifitas sebagai guru dan ketua organisasi kewanitaan, Tuti tidak mengabaikan tugas domestik. Tuti bahkan digambarkan sangat memperhatikan kebersihan serta kerapian rumah.

Meskipun banyak ia tidak mengerti perbuatan dan kegemarannya tetapi sutu pasal harus diakuinya; segala isi rumahnya beres sejak diselenggarakan oleh Tuti, jauh lebih beres dan rapi dari ketika mendiang istinya masih hidup. Dan hal ini mendamaikan sebagai ayah terhadap kepada berbagai-bagai pekerti dan perbuatan anaknya itu yang tiada sesuai dengan pikirannya. Dalam hati kecilnya timbul suatu perasaan percaya, yang lahir oleh perasaan tiada kuasa untuk menunjukan yang lebih baik, ah Tuti tentu tahu sendiri apa yang baik bagi dirinya.(hlm.15)

Kepiawaian Tuti dalam menangani masalah-masalah domestik ini, tentu kian menyempurnakan karakternya sebagai wanita modern. Penggambaran sifat Tuti yang demikian, nyaris membuat tokoh itu seperti kartikatur, bukan manusia yang memiliki kompleksitas persoalan hidup. Sejak halaman-halaman awal novel ini, tampak sekali STA menjadikan tokoh Tuti sebagai juru bicaranya. Melalui tokoh Tuti, gagasan mengenai emansipasi diucapkan.

Saat Tuti dan Maria asyik melihat-lihat akuarium di pasar ikan, mereka bertemu dengan seorang pemuda bernama Yusuf, mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta, putra seorang demang di Martapura, Sumatra Selatan. Mereka saling berkenalan. Yusuf mengantar pulang Tuti dan Maria. Pertemuan itu rupanya meninggalkan kesan mendalam di hati Yusuf. Pemuda itu terpikat pada sosok Maria yang digambarkan sangat berlawanan dengan Tuti.

Sebaliknya, Maria seorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Sebelum selesai berpikir, ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang bergelora, baik waktu girang maupun waktu kedukaan. Air mata dan gelak berselisih di mukanya sebagai siang dan malam bermesra-mesra dan sebentar ia berderam gelaknya yang segar oleh kegairahan hatinya yang remaja. (hlm. 5)

Kehadiran Maria yang sangat bertentangan tentu mempertegas karakter Tuti. Melalui pertentangan ini, STA seolah hendak menyuguhkan dua model wanita, (1) Tuti yang mewakili model wanita masa kini dan yang akan datang, dan (2) Maria yang mewakili model wanita di masa lalu.

Katika Yusuf pergi kuliah, secara kebetulan ia bertemu kembali dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Dengan senang hati, Yusuf mengantar kedua kakak beradik itu jalan-jalan. Sejak pertemuan kedua itu, Yusuf makin sering bersua dengan Maria. Hubungan mereka kian karib. Sementara itu, Tuti terus disibuki berbagai kegiatan. Pada Kongres Putri Sedar, Tuti berpidato mengenai emansipasi. Ia mengemukakan pikiran-pikirannya demi memajukan kaum wanita.

Saat Yusuf berlibur di Martapura, ia terus dibayang-bayangi wajah Maria. Perasaan rindu kian menyerbu, ketika Yusuf mendapat kiriman kartu pos dari Maria. Surat Maria yang datang kemudian, membuat Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta, dan menyusul Maria yang tengah berlibur bersama Tuti di Bandung. Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Saat mereka jalan-jalan di sekitar air terjun di Dago, Yusuf menyatakan cintanya pada Maria.
Hari-hari Maria dengan Yusuf semakin hangat. Sementara Tuti, lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Kesempurnaan karakter yang dimiliki Tuti, tak mampu mengikis kodratnya sebagai wanita. Ketika menyaksikan kemesraan Maria dengan Yusuf, diam-diam hatinya merintih. Sebagai wanita normal, tentu keinginan Tuti itu sangat wajar.
Sementara itu, Tuti yang melihat hubungan cinta kasih adiknya sebenarnya berkeinginan pula untuk memiliki seseorang kekasih. Apalagi setelah ia menerima surat cinta dari Supomo. ( hlm. 120 )

Meski begitu, pikiran Tuti tak lantas terbungkus oleh perasaannya. Sebagai wanita yang digambarkan selalu mendahulukan pikiran daripada perasaannya, Tuti mampu mengatasi konflik batinnya. Perasaan ingin dikasihi oleh seorang lelaki, tak lantas membuatnya menerima cinta Supomo, rekannya sesame guru di HIS. Lelaki itu pernah menyatakan cintanya kepada Tuti melalui sepucuk surat.

Namun, karena pemuda itu bukanlah idamannya, ia menolak cintanya. Sejak itu hari-harinya semakin disibukkan dengan kegiatan organisasi dan melakukan kegemarannya membaca buku sehinnga ia sedikit melupakan angan-angannya tentang seorang kekasih. (hlm.120)

Kondisi Maria memburuk. Tuti membawa Maria ke rumah sakit. Diagnosis dokter menyatakan, kekasih Yusuf itu menderita TBC. Dokter menyarankan Maria segera dibawa ke RS TBC di daerah Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Namun, kesehatan Maria tak kunjung pulih, meski ia telah satu minggu memperoleh perawatan di sanotarium itu.

Selama dirawat di Pacet, Tuti sering menjenguk Maria. Ia jadi sering berjumpa dengan Yusuf di sana. Tuti dan Yusuf bahkan tinggal di rumah Ratna dan Saleh, sepasang suami istri teman Tuti. Selama Tuti dan Yusuf menemani Maria di Sindanglaya, mereka tinggal di rumah Ratna dan Saleh, rekannya dalam pergerakan. Pada ketika itulah, Tuti seperti ditakjubkan oleh sosok Ratna.

Tetapi sekarang nyata kepadanya, bahwa apa yang pada sebagian teman-teman sepergerakannya hanya tinggal di mulut, di pikiran, dan di perasaan, oleh Ratna dilakukannya sesungguh-sungguhnya. Dengan bersungguh-sungguh ia berdiri di samping suaminya mengerjakan pekerjaan yang telah mereka pikul bersama-sama, dengan bersungguh-sungguh pula ia sebagai suaminya berdaya upaya merapatkan dirinya dan berjasa bagi tempat kediamannya. Tuti telah pernah menghadiri ia mengajar anak-anak perempuan desa membaca dan menulis dan telah pernah pula ia mengikuti bertetamu ke sebuah rumah orang desa, tempat ia mengajar beberapa gadis yang agak besar, menjahit dan merenda dan pengetahuan umum serba sedikit. (hlm. 190—191)

Melalui aktifitas Ratna, Tuti seperti disadarkan bahwa yang terpenting bukan gagasan-gagasan yang hanya dipikirkan, dirasakan, dan diucapkan. Lebih penting dari itu semua adalah terjun langsung mengerjakannya. Hal itulah yang membuat Tuti sampai pada kesimpulan di bawah ini:

Ratna sebagai salah satu tipos perempuan baru yang pergi dengan suaminya yang dicintainya ke tempat-tempat yang jauh terpencil mencari nafkah dan bersama-sama dengan itu, bergerak membawa sinar zaman baru kepada mereka yang beradab-abad terselimuti dalam gelap gulita yang tebal. (hlm. 191)

Melalui tokoh Tuti dan Ratna dalam Layar Terkembang, kita dapat menemukan kriteria-kriteria wanita modern menurut STA, yaitu (1) berpendidikan, (2) lebih mendahulukan pikiran dari perasaan, (3) berperan aktif dalam melakukan perubahan sosial, (4) tidak melupakan kodratnya sebagai wanita, (5) menjadi mitra sejajar bagi suami, dan (6) mampu menungkan gagasan-gagasannya melalui lisan maupun tulisan. Demikianlah pembacaan saya terhadap kedua tokoh wanita dalam novel ini.


Gunung Sahari, 25 Agustus 2010
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini