Menunggu Lois

Oleh Denny Prabowo



Lois bukan namamu. Tapi merek sebuah celana jeans, yang akan kaukenakan pada perjumpaan kita. Di sebuah halte. Depan kantor walikota. Kemarin lusa kau mengatakannya. Melalui jasa pesan singkat yang kaukirimkan ke nomor telepon genggamku.

Besok lusa kita bertemu
di halte depan walikota
Sender: Lois +628881750920
Sent: 26 Sep 2006 02:35:14


Hanya itu kalimat yang kaukirimkan. Aku terdiam. Sepertinya ada yang kurang. Kita belum pernah berjumpa sebelumnya. Jadi, bagaimana cara kita saling mengenali saat bertemu nanti?

Aku menekan tombol OK. Mencoba menghubungi telepon genggammu. Nada sambung. Disusul nada tunggu. Tak juga kau menerima teleponku. Sudah lama kita berhubungan. Sekedar mengucap ’halo’ saja sepertinya kau enggan. Mungkin suaramu terlalu seksi. Sampai-sampai kau berpikir, aku akan menghayal yang bukan-bukan setiap kali mendengar suaramu sehingga kau lebih memilih SMS sebagai sarana komunikasi kita. Kau memang tak sepenuhnya salah. Aku memang selalu membayangkan suaramu yang serak-serak basah keluar dari bibirmu yang juga basah. Tapi aku tak pernah menghayalkan yang bukan-bukan tentang dirimu. Sungguh, kau terlalu sempurna dalam pikiranku untuk kuperlakukan seperti itu.

Akhirnya, aku menyerah. Kau tetap tak mau menerima teleponku. Aku segera memilih menu Pesan pada telepon genggamku. Menuliskan beberapa kata:

Bagaimana cara aku mengenalimu?
Sent to: Lois +628881750920


Tak cukup lama aku menunggu. Datang SMS balasan darimu.
Aku menggunakan celena jeans
LOIS warna biru
Sender: Lois +628881750920
Sent: 26 Sep 2006 02:59:26


Bujug buneng! Bagaimana cara aku mengetahui seseorang memakai celana jeans Lois? Apa aku harus memeriksa satu per satu orang yang berseliweran di halte itu dengan celana jeans biru, dan menanyakan apa merek jeans yang dikenakannya? Kalau begitu, berapa banyak orang yang nantinya akan kutanyakan? Bukankah jeans sudah menjadi pakaian dari bermacam kalangan? Ah. Tapi berapa banyak gadis bersuara serak-serak basah, dengan bibir yang juga basah, yang akan berada atau sekedar lewat di halte itu dengan mengenakan celana jeans warna biru? Tak cukup banyak kurasa. Jadi aku masih mungkin menduga-duga dirimu. Meski kita belum sekalipun bertemu. Aku pasti bisa mengenalimu.
***

Angkot D02 merapat ke bahu jalan. Berhenti di depan kantor walikota. Dua lembar seribuan kusodorkan sebagai bayaran. Belum lagi supir itu menginjak pedal gas dan berlalu, seorang polisi memarkir sepeda motornya di depan angkot itu. aku mengayun langkah menyeberangi jalan raya. Masih sempat kulihat raut kesal sopir angkot menyerahkan SIM kepada petugas polisi yang mencegatnya. Entah apa kesalahannya.

Tak cukup banyak yang menunggu angkutan di halte itu. Selain dua pasang anak SMA yang terlihat seolah ingin mempertontonkan kemesraan mereka, seorang cowok berambut merah kecokelat-cokelatan atau cokelat kemerah-merahan sempat tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumnya. Jalas sekali kau belum datang. Sebab tak ada seorang pun di tempat itu yang bisa kucurigai sebagai gadis bersuara serak-serak basah dengan bibir yang juga basah, mengenakan celana jeans merek Lois warna biru. Selain cowok yang tadi tersenyum kepadaku, tak seorang pun di tempat itu yang mengenakan celana jeans.

Sebuah angkot DO5 berhenti di depan halte. Sopirnya berteriak-teriak memanggil penumpang, “Tayam! Tayam! Tayam!”. Tapi tak ada yang beranjak dari bangku beton tempat kami duduk di halte itu. angkot pun berlalu.

Masih ada lima belas menit, sebelum waktu yang telah disepakati. Cukup bagiku untuk mempersiapkan diri sebelum kedatangan dirimu. Jujur saja, sudah lama aku menunggu saat ini. Telah banyak sketsa kugoreskan di ruang imajinasi untuk menghidupkanmu dalam pikiranku. Tapi tak juga mampu memuaskan hasrat akan sebuah pertemuan.

Aku terkenang pada perkenalan kita. Sebuah kebetulan. Tapi adakah kebetulan di dunia ini? Bukankah takdir telah ditulis bagi kita oleh Yang Mahakuasa? Jadi perkenalan kita pun bisa diduga telah direncanakan sebelumnya. Oleh siapa? Tuhan tentunya. Jadi aku patut berterima kasih kepada-Nya, karena telah memperkenalkan aku dengan seorang gadis yang kubayangakan memiliki suara serak-serak basah dengan bibir yang juga basah, dirimu, dengan cara yang kupikir juga luar biasa. Aku ingin mendengar suaramu yang kubayangkan serak-serak basah berbicara mengucap namaku.

***

Aku baru saja berpikir untuk mabuk-mabukan. Sebuah kebiasaan buruk yang lazim dilakukan waktu baru putus cinta. Begitulah. Klise, memang. Setelah 2 tahun berpacaran dengan anak SMA, aku harus kembali merasakan patah hati. Rupanya gadis SMA itu punya gandengan baru di sekolahnya. Padahal aku sudah terlanjur menganggap dia gadis lugu yang jauh dari pikiran licik. Karena begitu wajah serta sikap yang ditunjukannya selama menjalin cinta denganku. Pada kenyataannya, dari teman-teman sekolahnya, aku mengetahui kalau dia punya cinta di mana-mana. Ah, wajah memang tak bisa dijadikan ukuran sebuah kesetiaan.

Tapi baru saja kutuang bir ke dalam gelasku, ringtone Hp-ku menyalak, seperti seekor anjing yang siap mengusir pencuri dari rumah tuannya. Aku yang sedang menuang minuman sambil melamunkan wajah mantan pacarku terlonjak. Kaget. Pasti adikku yang mengganti ringtone SMS di Hp jadi suara anjing yang sedang menggonggong. Ada new message di inbox Hp-ku dari nomer yang tak ada dalam phonebook. Aku penasaran. Jangan-jangan dari mantan pacarku yang mau ngajak balikan. Begini bunyi pesan itu:

I LUV U
Sender: +628881750920
Sent: 24 Jul 2006 00:02:35

Aku langsung me-reply SMS itu.

Kamu mo ngajak balikan?
Knpa gak SMS pake no sendiri?
Atw kamu udh ganti no lagi?
Sent to: +628881750920


Tak berapa lama datang balasan dari nomer yang sama.

Balikan? Kpn kita putus?
Sender: +628881750920
Sent: 24 Jul 2006 00:10:45


Bujug buneng! Selain punya wajah lugu, ternyata dia memiliki bakat sebagai aktris. Atau jangan-jangan memang dia selebritis? Ah, aku memang tak pernah peduli dengan acara infotainment. Sudah lama aku tidak menonton televisi. Bosan. Acaranya benar-benar kampungan! Meskipun aku bangga jadi orang kampung, tapi aku punya selera yang tidak kampungan.

Begitulah. Setelah beberapa kali bertukar SMS, aku baru tahu kalau ternyata SMS itu bukan dari mantan pacarku. Rupanya kau salah mengirimkan SMS. Tapi gara-gara itu kita jadi sering bertukar SMS. Sekedar menyapa. Atau bercerita apa saja. Perkenalan denganmu membuat aku lupa dengan perasaan sakit hatiku. Kau seperti obat merah yang membunuh bakteri-bakteri pada luka di hatiku.

Tapi lucunya, hampir satu bulan lebih kita berkenalan, sampai aku menunggumu di halte ini, aku belum tahu siapa namamu. Panggil saja aku LOIS, begitu balasan SMS yang kaukirimkan waktu aku menanyakan siapa namamu. Aku pikir Lois nama panggilanmu. Tapi ternyata, itu nama merek celana jeans yang sering kamu kenakan pada setiap kesempatan. Hm... seorang gadis bersuara serak-serak basah dengan bibir yang juga basah mengenakan celana jeans merek Lois... ah, lagi-lagi aku menorehkan sketsa dirimu dalam lembar-lembar imajinasiku.

***

Waktu pertemuan yang telah kita sepakati sudah berlalu sejak dua jam lalu. Aku mulai gelisah. Jangan-jangan kau tidak akan datang. Sejak tadi, tak ada seorang gadis pun di halte itu yang mengenakan celana jeans. Tiga puluh menit lalu ada gadis berjilbab yang mengenakan jeans. Tapi bukan celana, melainkan rok panjang. Itu pun belum tentu merek Lois. Entah apa mereknya. Aku tak coba menanyakannya, sebab kau mengatakan mengenakan celana, bukan rok panjang. Jadi aku yakin gadis berjilbab itu bukan dirimu.

Ah, aku mulai curiga kalau kau hanya mempermainkan aku saja. Bukan kenapa-kenapa, sedari tadi telepon genggamu tak juga bisa kuhubungi. Beberapa SMS yang kukirimkan pun masih panding sampai saat ini. Wajar saja kan kalau aku berpikiran kau sengaja mempermainkan aku? Tapi aku terbiasa berpikir positif. Jadi segera kubuang jauh-jauh pikiran buruk itu. Kau terlalu sempurna dalam pikiranku, untuk sekedar kuduka selicik bekas pacarku. Mungkin kau terjebak kemacetan. Bukankah kemacetan adalah hal yang biasa di kota ini? Atau kau harus mengerjakan ujian perbaikan di kampusmu, karena nilaimu di bawah rata-rata?

Hm... kira-kira seperti apa ya dirimu? Selama ini aku memang membayangkan suaramu yang serak-serak basah dengan bibir yang juga basah. Tapi aku belum memiliki gambaran sempurna tentang wajahmu. Kalau rambutmu, rasanya labih pas jika bergelombang dengan kepanjangan melebihi punggung. Rambut semacam itu cocok sekali dengan suaramu yang kubayangkan serak-serak basah dengan bibir yang juga basah. Lalu seperti apa ya wajahmu?

”Lagi nunggu orang ya?” tegur seseorang yang duduk tak jauh dariku. Ternyata cowok bermbut merah kecokelat-cokelatan atau cokelat kemerah-merahan yang tadi tersenyum kepadaku. Rupanya sejak tadi dia masih ada di halte ini. Wajah cowok itu sangat bersih. Warna rambutnya itu jelas bukan karena terlalu sering terjemur matahari. Meski aku hanya mahasiswa kurang gaul yang tak suka pergi ke kafe apalagi diskotik, aku tahu kalau rambutnya diwarnai oleh pewarna rambut merek ternama.

”Ah, nggak,” kataku, mengalihkan pandang ke sekitar halte. Tukang ketoprak yang waktu aku tiba dua jam lalu masih mangkal dekat halte sudah pergi. Di bangku dekat gerobak tak jauh dari bekas gerobak ketoprak mangkal tadi, aku melihat seorang gadis dengan celana jeans. Aha! Aku segera menghampiri.

”Lois?” jari telunjukku mengarah ke celana jeans yang dikenakannya.

”Siapa? Saya?” kata gadis itu mengangkat wajahnya dari mangkok mie ayam.

”Bukan. Celana jeans kamu. Merek Lois, kan?”

Gadis itu meletakkan mangkuk mienya. Mengangkat ujung belakang kaosnya, untuk melihat apa merek celana jeansnya.

”Sepertinya bukan,” katanya kemudian, ”Saya beli celana ini di emperan depan terminal. Harganya cuma tiga puluh lima ribu. Kamu berminat beli? Nanti saya antarkan. Yang merek Lois juga banyak.”

”Oh, nggak usah. Terima kasih. Saya lagi nunggu seorang gadis bercelana jeans Lois. Tapi bukan yang beli di emperan depan terminal.”

Aku kembali ke halte dengan perasaan kecewa. Bagaimana tidak, gadis yang sedang makan mie itu cukup lumayan meski tak seseksi gambaran dirimu di kepalaku. Mungkin kau benar-benar telah mempermainkan aku.

”Bukan, ya?” tegur cowok berambut merah kecokelat-cokelatan atau cokelat kemerah-merahan.

”Apanya?”

”Orang yang ditunggu.”

”Bukan.”

”Nih,” Cowok itu menyodorkan sebuah minuman kaleng dengan gerakan tangan yang segemulai penari-penari kraton. Gerakan tubuhnya lebih luwes dari seorang gadis sekalipun.

”Terima kasih.” Aku menerima minuman kaleng yang diberikannya. Tak enak menolak. Takut menyinggung perasaannya. Lagipula aku juga memang sedang haus.

Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Cahaya merkuri mengganti ruang remang yang ditinggalkan cahaya matahari, sejak senja yang biasa-biasa saja mengakhiri kembara hari sang mentari. Aku masih duduk di halte depan walikota.

Cowok berambut merah kecokelat-cokelatan atau cokelat kemerah-merahan beranjak dari bangku beton. Berdiri membelakangiku. Menyelipkan tangannya ke saku celana belakang, mengambil dompet warna pink. Ia bermaksud membayar tagihan makanan serta minuman pada pemilik warung yang berdiri persis di samping halte ini.

Seketika itu mataku membeliak lebar. Bukan karena warna dompetnya, melainkan karena merek celana yang nampak ketika ujung bawah kaosnya terangkat, saat dia mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celananya. Cahaya remang di halte ini tak cukup membuat mataku rabun, sehingga tak bisa membaca merek celana yang dikenakannya.

Sejak aku tiba di halte ini, hanya ada dua gadis yang memakai jeans. Yang satu rok panjang. Yang satunya lagi celana jeans tanpa merek yang dibeli di emperan depan terminal. Aku datang ke halte ini untuk bertemu dengan seorang gadis bercelana jeans merek Lois warna biru tua, yang kubayangkan bersuara serak-serak basah dengan bibir yang juga basah. Selain cowok berambut merah kecokelat-cokelatan, atau cokelat kemerah-merahan, tak ada lagi yang kulihat mengenakan celana jeans di halte ini.

Aku benar-benar tidak siap jika harus menerima kenyataan kalau orang yang berhubungan denganku via SMS selama ini bukan seorang gadis, melainkan cowok. Tapi hanya dia satu-satunya yang mengenakan celana jeans warna biru tua dengan merek LOIS!

Apa aku haru bertanya kepadanya?

Rumah Cahaya, 11 Sepetember 2006 
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini